Free Essay

Mengenali Kontibusi Ibnu Khaldun Terhadap Pemikiran Ekonomi

In:

Submitted By adisusilo
Words 5403
Pages 22
Amwaluna, Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah. Vol. 1. No. 1. Januari 2009. Hal. 61-75

Mengenali Kontribusi Ibnu Khaldun terhadap Pemikiran Ekonomi

Adi Susilo Jahja
ABFII Perbanas, Jakarta

Abstrak
Para pemikir Barat umumnya kurang mengenal kontribusi pemikir muslim terhadap ilmu pengetahuan. Mereka menyebutkan adanya Great Gap pemikiran ekonomi sepanjang 500 tahun yaitu antara berakhirnya kekuasaan Roma hingga kebangkitan Eropa Barat. Namun akhirnya pandangan tersebut dikoreksi. Ibnu Khaldun, pemikir yang hidup pada abad ke 14 merupakan orang yang telah mengemukakan sejumlah gagasan jauh sebelum orang Barat menyatakannya. Kontribusi terpenting dari pemikiran Ibnu Khaldun adalah penggunaan konsep ekonomi bersama-sama dengan disiplin ilmu lain seperti sosiologi, politik, norma-norma dan keyakinan untuk membangun model yang selaras dan lengkap dalam rangka menjelaskan jatuh bangunnya suatu peradaban. Makalah ini bermaksud menelusuri sumbangan pemikiran Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi modern melalui studi kepustakaan. Melalui tulisan ini diharapkan dapat dikenali pemikiran Ibnu Khaldun yang memiliki relevansi hingga saat ini.

PENDAHULUAN
Mengaitkan pemikiran ulama Islam dengan pemikiran ekonomi Barat modern merupakan hal yang penting untuk mendapatkan interpretasi yang lebih baik terhadap teks hasil pemikiran para ulama, menelusuri hubungan antara pemikiran para ulama Islam dengan para pemikir Barat dalam rangka meningkatkan pemahaman hubungan antara Islam dengan Barat (Oslington, 1990), serta mengenali kontribusi para pemikir Islam terhadap ilmu pengetahuan. Para penulis sejarah pemikiran ekonomi cenderung mengabaikan kontribusi para sarjana Muslim dalam bidang ini. Umumnya mereka mengawali pembahasan dari masa filosof Yunani dan pemerintahan Romawi, kemudian mengutip pendapat para pendeta Kristen yang hidup pada awal era Kristen. Selanjutnya mereka lompat ke masa abad pertengahan ketika Eropa keluar dari kegelapan, melewatkan masa senjang selama lebih dari lima ratus tahun (Islahi, 2004). Dalam bukunya, History of Economic Analysis (1954), Schumpeter menyebutkan terjadinya "Great Gap" yang merupakan periode yang steril dan tidak produktif. Pandangan ini dianut pula oleh Douglass North dalam pidato penganugerahan Nobel pada Desember 1993 dengan mengatakan: "long hiatus between the end of the Roman Empire in the West and the revival of Western Europe approximately 500 years later" (Chapra, 2004; North, 1993). Sun (2004) mengemukakan bahwa thesis "Great Gap" ini kemudian dibantah antara lain oleh Essid (1987), Ghazanfar (2000), dan Hosseini (1998). Pada periode tersebut dalam dunia Islam terjadi gerakan intelektual menerjemahkan karya-karya yang berasal Yunani. Sejarawan Phillip Hitti mengatakan bahwa penemuan kembali mazhab Aristotelian serta renaisans Eropa tak akan terjadi tanpa kontribusi intelektual para sarjana Islam yang mereka lakukan ketika Eropa mengabaikan pemikiran dan ilmu pengetahuan Yunani (Sun, 2004). Belakangan North (1996) mengoreksi kalimatnya dengan mengatakan “Following the demise of Rome in the West there was a long hiatus until the beginning of revival in the tenth century. With Mohammed came expansion of the Muslim world in North Africa and beyond." Penyelidikan yang lebih dalam terhadap tulisan para ilmuwan yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika Utara yang hidup pada abad pertengahan menemukan kekayaan pengetahuan teoritis dalam bidang ilmu kemanusiaan, perilaku dan sosial. Para ilmuwan tersebut antara lain adalah Abu Yusuf (abad ke 8), Abul-Fadl Al-Dimishqi (abad ke 9), Al-Farabi (abad ke 10), Al-Ghazali (abad ke 11), Nasiruddin Tusi (abad ke 13), Ibnu Taimiyah (abad ke 14), dan Ibnu Khaldun (abad ke 14). Abdurrahman Ibn Khaldun dari Tunisia (1332-1406), yang merupakan diplomat, hakim, politisi, sosiolog, dan ekonom merupakan sosok yang terkenal. Pendekatan Ibnu Khaldun yang rasional terhadap penalaran ekonomi, kemampuan abstraksinya serta kepeloporannya dalam mengembangkan model-model ekonomi dinilai menonjol dibandingkan dengan ilmuwan lain pada masanya (Soofi, 1995), Bibliografi pertama tentang Ibnu Khaldun muncul di Eropa pertama kali tahun 1697 di Bibliothèque Orientale d'Herbelot, Paris. Ibnu Khaldun diperkenalkan kepada Barat pada awal abad 19, ketika beberapa tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh Silvestre de Sacy pada tahun1806. F. Rosenthal menerjemahkan Muqaddimah kedalam bahasa Inggris tahun 1958. Dalam bidang ekonomi, atas upaya yang dilakukan terutama oleh Abdul Qadir (1941), Nashat (1944), Issawi (1950), Spengler (1964), Boulakia (1971), Essid (1987), dan Kuran (1987), telah membuat nama Ibnu Khaldun semakin dikenal (Abdalla, 2004; Soofi, 1995). Abdul Qadir adalah orang pertama yang menulis makalah dalam bahasa Inggris, yang berjudul “The Social and Political Ideas of Ibn Khaldun”, sementara Nashat adalah Ph.D pertama yang menulis tentang Ibnu Khaldun. Disertasinya berjudul “Pemikiran Ekonomi dalam Mukadimah Ibnu Khaldun” ditulis dalam bahasa Arab, pada Universitas Kairo Mesir (Islahi, 2004). Makalah ini bermaksud menelusuri sumbangan pemikiran Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi modern melalui studi kepustakaan. Hal ini dilakukan dengan mempelajari pendapat-pendapat para penulis tentang pemikiran beliau. Melalui tulisan ini diharapkan dapat dikenali pemikiran Ibnu Khaldun yang masih memiliki relevansi hingga kini.

SOSOK DAN PEMIKIRAN EKONOMI IBNU KHALDUN
Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun Waliyuddin Hadhramim dikenal sebagai Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732H/27 Mei 1332M, berasal dari keluarga yang berpengaruh. Leluhurnya datang dari Yaman kemudian tinggal di Spanyol pada awal pemerintahan Islam abad ke 8. Namun setelah Sevila jatuh, mereka pindah ke Tunisia. Ibnu Khaldun mendapatkan pendidikan yang baik di bidang syariah, logika, filsafat, tata bahasa dan susastra; semuanya itu telah membentuk dirinya menjadi negarawan. Ia pernah memegang peran penting dalam perpolitikan di Afrika Utara dan Spanyol sehingga ia bisa menulis analisis dan penilaian tentang peristiwa yang terjadi. Ia bekerja pada penguasa Tunisia, Fez, Granada dan Biaja. Terakhir, ia bekerja di Mesir selama 24 tahun sebagai pejabat tinggi yaitu Rais Qadhi (Hakim Agung) dari mazhab Maliki serta sebagai dosen di Universitas Al Azhar. Ibnu Khaldun wafat pada tanggal 25 Ramadhan 808H/19 Maret 1406M (Hakim, 2007). Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam sedang mengalami kemunduran dan disintegrasi. Kekhalifahan Abbasiyah berakhir setelah terjadinya kekerasan, pembakaran dan penghancuran Baghdad dan sekitarnya oleh pasukan Mongol pada tahun 1258, tujuh puluh lima tahun sebelum Ibnu Khaldun lahir. Dinasti Mamluk (1250-1517) yang berkuasa saat Ibnu Khaldun menuliskan karya-karyanya, mempercepat keruntuhannya karena terjadinya korupsi dan pemborosan, kecuali sebentar saja pada awal masa kekuasaannya. Sebagai muslim yang taat, ia menginginkan perubahan. Namun ia menyadari bahwa sebagai ilmuwan hal ini tidak bisa dilakukan tanpa mengambil pelajaran dari sejarah sehingga dapat menentukan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pertumbuhan dan penurunan peradaban. Maka lahirlah kitab Muqaddimah yang diselesaikan tahun 1377 (Chapra, 1999). Muqaddimah berarti pendahuluan, yang merupakan pendahuluan dari tujuh jilid buku yang berjudul “Kitabul Ibar wa Diwanul Mubtada wa Khabar fi Ayyamil Arab wal ‘Ajm wal Barbar wa man ‘Asharahum min Zawi Sulthan al Akbar” (Kitab Pelajaran dan Catatan Sebab-Akibat dalam Sejarah Arab, Persia, dan Barbar serta Para Penguasanya). Kitab ini menjelaskan dasar-dasar yang menyebabkan kemajuan atau kemunduran suatu dinasti (daulah) dan peradaban (umran). Namun di dalamnya juga terkandung banyak pembahasan tentang ekonomi, sosiologi, dan politik (Chapra, 1999). Menurut Al-Hamdi (2006), Ibnu Khaldun menggunakan sejarah sebagai alat analisis untuk melakukan deduksi dan membuat penjelasan tentang masalah-masalah sosial ekonomi. Ia memiliki pemahaman yang mendalam tentang hukum sebab akibat untuk menemukan hukum alam yang mengatur masyarakat. Dalam bidang ekonomi, Ibnu Khaldun menulis banyak tentang hal-hal yang dikemudian hari menjadi landasan bagi teori ekonomi modern mulai dari ekonomi mikro hingga perdagangan internasional. Hampir sepertiga isi Muqaddimah mengandung konsep-konsep sosial ekonomi (Hakim, 2007). Boulakia (1971) mengemukakan bahwa Ibnu Khaldun merupakan orang yang telah mengemukakan sejumlah gagasan jauh sebelum orang Barat menyatakannya. Ia telah menemukan konsep pembagian pekerjaan sebelum Smith, prinsip nilai buruh sebelum Ricardo, mengelaborasi teori populasi sebelum Malthus dan menegaskan pentingnya peran negara dalam ekonomi sebelum Keynes. Berikut ini adalah beberapa gagasan ekonomi Ibnu Khaldun dari segi penawaran, permintaan, pasar, dan peran pemerintah dalam perekonomian.

PENAWARAN
Produksi
Ibnu Khaldun berpandangan bahwa nilai setiap produk sama dengan jumlah tenaga kerja yang terkumpul di dalamnya (Boulakia, 1971). Al-Hamdi (2006) mengemukakan, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa nilai berasal dari tenaga kerja, sebagaimana dikatakannya: “… maka ketahuilah, bahwa modal yang digunakan dan dicari seseorang, bila diperoleh dari pertukangan, merupakan nilai yang terealisasi dari kerjanya.” (Khaldun, 2008:449). Dalam bagian lain dikatakannya, “Maka jelaslah, semua atau sebagian besar penghasilan dan keuntungan, menggambarkan nilai kerja manusia” (Khaldun, 2008:450). Maka nilai tiap produk sama dengan jumlah pekerjaan yang dilakukan untuk mewujudkannya. Dengan demikian Ibnu Khaldun adalah penganjur teori nilai tenaga kerja. Pandangan ini dianut oleh Baeck (1994), Spengler (1964), maupun Islahi (2004) (Al-Hamdi, 2006). Namun Ali (2006) berpandangan lain. Patut dicatat bahwa teori nilai tenaga kerja menyatakan bahwa tenaga kerja merupakan faktor fundamental dari produksi. Namun pernyataan bahwa tenaga kerja merupakan adalah faktor utama dari produksi, tidak menunjukkan bahwa ia penganut teori nilai tenaga kerja. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa “Keuntungan bisa juga datang tidak dengan usaha, sebagaimana hujan menumbuhkan tanaman, dan lain sebagainya” (Khaldun, 2008:448). “Dalam jenis pertukangan tertentu, harga bahan mentah harus diperhitungkan, umpamanya kayu dan benang dalam pertukangan kayu dan pertenunan. Sekalipun demikian, nilai kerja tetap lebih besar dari bahan mentahnya, karena kerja dalam kedua pertukangan ini mengambil bagian terbanyak. Dalam pekerjaan lain dari pertukangan pun, nilai kerja harus ditambahkan kepada biaya produksi; sebab dengan tidak adanya kerja maka tidak akan ada produksi” (Khaldun, 2008:450). Dengan demikian Ibnu Khaldun menekankan pada pentingnya tenaga kerja tetapi juga mengakui keberadaan faktor produksi yang lain.

Organisasi Produksi dan Pembagian Kerja
Dalam berbagai literatur sejarah pemikiran ekonomi dikemukakan bahwa konsep pembagian kerja merupakan temuan Adam Smith. Namun Ibnu Khaldun telah membahas konsep ini dengan menggunakan tiga tingkatan kegiatan ekonomi, yaitu tingkat industri, masyarakat dan tingkat internasional sebagai berikut (Al-Hamdi, 2006). Ibnu Khaldun menganalisis pembagian kerja pada tingkat industri dengan mengkhususkan pembahasan pada perkembangan ketrampilan sebagai cara untuk meningkatkan produksi. Ketrampilan itu ada dua macam, yaitu yang sederhana dan yang lebih kompleks. Namun ia menjelaskan bahwa perkembangannya itu didasarkan atas tingkat peradaban. Dikatakannya, “Bila peradaban telah berkembang pesat, dan kemewahan merupakan tuntutan, ia telah mencakup kehalusan dan perkembangan lebih lanjut dari pertukangan” (Khaldun, 2008:477-478). Artinya bila masyarakat berkembang, akan meningkatkan permintaan produk kerajinan tangan yang berbeda serta produk-produk yang berhubungan dengannya. Ibnu Khaldun (2008:488-489) menunjukkan bahwa ada beberapa ketrampilan yang penting bagi peradaban seperti kerajinan kayu dan pembuatan pakaian. Penggunaan hasil produksi tersebut amat tergantung pada tingkat kemajuan peradaban. Dicontohkannya, orang Badui menggunakan kayu untuk tiang dan pasak tenda, membuat tandu untuk tempat wanita di atas onta, lembing, busur dan panah untuk senjata. Namun orang-orang yang hidup menetap menggunakan kayu untuk atap rumah, palang pintu maupun kursi. Setiap bentuk produk merupakan hasil kerajinan tangan. Orang yang melakukan hal ini adalah tukang kayu, dan mereka penting bagi sebuah peradaban. Bila peradaban menyebar dan berkembang, masyarakat akan meminta produk dalam kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi, sehingga dibutuhkan teknik-teknik yang lebih maju. Kemudian ia menerangkan tentang bagaimana membagi kerja kedalam beberapa bagian yang dilakukan oleh orang yang berbeda. Misalnya dalam membuat pintu atau kursi. Untuk itu diperlukan seseorang yang memiliki keahlian dalam membentuk potongan kayu dan membubutnya, kemudian mengumpulkan potongan kayu tersebut dalam susunan simetrik tertentu kemudian merangkainya menjadi suatu kesatuan. Hal ini menunjukkan betapa Ibnu Khaldun telah menjelaskan pembagian dalam proses membuat produk oleh orang yang berbeda untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk tersebut. Empat ratus tahun kemudian Adam Smith menjelaskan hal yang mirip dengan apa yang diterangkan Ibnu Khaldun dengan menggunakan contoh pembuatan jarum. Yaitu, seseorang mengambil kawat besi, yang lain meluruskannya, orang ketiga memotong, orang keempat menajamkannya, orang kelima membuat kepala pada bagian jarum. Penjelasan Ibnu Khaldun sejalan dengan pengertian modern tentang pembagian pekerjaan, yaitu pembagian proses maupun pekerjaan menjadi beberapa bagian, setiap bagian dilakukan oleh orang yang berbeda. Penjelasan Ibnu Khaldun berbeda dengan contoh Smith tentang pembuatan jarum, dimana Ibnu Khaldun mengaitkan proses produksi dengan keahlian yang dibutuhkan oleh jenis-jenis pekerjaan dalam proses produksi. Dalam menjelaskan pembagian kerja tingkat masyarakat, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa individu tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dengan usahanya sendiri. Ia menulis, “... tak seorang pun dengan sendirian dapat memperoleh sejumlah gandum yang dibutuhkannya untuk makanan. Namun, bila enam atau sepuluh orang, terdiri dari tukang besi dan tukang kayu untuk membuat alat-alat, dan yang lain bertugas menjalankan sapi, mengolah tanah, mengetam hasil tanaman dan seluruh kegiatan pertanian lainnya, … Pekerjaan yang terkombinasi menghasilkan lebih banyak daripada apa yang dibutuhkan oleh para pekerja.” (Khaldun, 2008:417). Hal ini menunjukkan adanya beberapa tingkatan produksi dan untuk itu diperlukan kerjasama kelompok. Kelompok orang yang bekerja sama akan memberikan hasil yang lebih besar dibanding bila semua dikerjakan sendiri. Dengan demikian melalui pembagian pekerjaan dapat memberikan hasil yang lebih banyak. Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa surplus produksi dapat terjadi bila kebutuhan penduduk terpenuhi. Selanjutnya surplus produksi itu dapat ditukarkan dengan barang-barang lain dengan pihak luar negeri sehingga menciptakan perdagangan internasional. Melalui perdagangan ini masyarakat suatu negeri dapat memupuk keuntungan sehingga kesejahteraannya meningkat (Khaldun, 2008:417-418).

PERMINTAAN
Beik dan Arsyianti (2006) mengungkapkan pembahasan Ibnu Khaldun tentang konsep permintaan. Apabila permintaan terhadap suatu produk meningkat, maka ketrampilan dalam membuat produk tersebut juga akan meningkat dan semakin baik, karena membuat produk tersebut akan memberikan keuntungan baginya. Bila banyak yang membutuhkan ketrampilan tersebut, maka orang akan mempelajari ketrampilan tersebut sebagai mata pencarian (Khaldun, 2008:489). Namun bila ketrampilan tersebut tidak banyak yang meminta, produk hasil ketrampilan tersebut penjualannya akan turun, orang tidak lagi berusaha mempelajari ketrampilan itu, hingga kemudian hari ketrampilan itu akan diabaikan dan dilupakan orang. Inilah makna ucapan Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa harga seseorang tergantung pada keahliannya. Oleh karena itu, ketrampilan yang dikuasai seseorang merupakan ukuran nilai seseorang (Khaldun, 2008:480-481). Permintaan untuk barang tertentu juga tergantung pada sejauh mana barang itu dibeli oleh negara. Sultan dan kelompok yang berkuasa membeli dalam jumlah yang lebih besar dibanding pembeli individual. Ketrampilan juga berkembang manakala permintaan terhadap sutu produk meningkat (Khaldun, 2008:481). Disini nampak bahwa Ibnu Khaldun telah menjelaskan tentang hukum permintaan, tetapi juga konsep yang dalam ekonomi modern disebut permintaan turunan (Hakim, 2006).

MEKANISME PASAR
Menurut Chapra (1999) Ibnu Khaldun telah menjelaskan pengaruh penawaran dan permintaan dalam menentukan harga. Kenaikan dalam permintaan atau penurunan dalam penawaran akan menyebabkan kenaikan harga, sementara penurunan permintaan dan kenaikan penawaran menyebabkan penurunan harga. Ia berpandangan bahwa harga yang amat rendah akan merugikan bagi para pengrajin dan pedagang, menyebabkan mereka keluar dari pasar. Sementara harga yang lebih tinggi akan merugikan konsumen. Dengan demikian harga yang moderat yang berada diantara dua ekstrim merupakan hal yang diinginkan karena memungkinkan para pedagang melakukan usahanya secara menguntungkan sehingga dapat mendatangkan kemakmuran. Ibnu Khaldun (2008:474) mengemukakan, “… kerendahan harga yang melampaui batas merugikan mereka yang berdagang barang-barang tersebut. Kenaikan harga yang melampaui batas juga merugikan, … Kemakmuran akan terjamin dengan sebaik-baiknya oleh harga yang sederhana (moderat) dan cepat lakunya barang di pasar”. Namun harga yang rendah diperlukan untuk barang-barang kebutuhan pokok karena dapat dijangkau oleh orang-orang miskin yang merupakan mayoritas penduduk. “Harga-harga yang rendah bagi hasil pertanian, dan barang-barang lain yang diperdagangkan, terpuji hanya karena kebutuhan akan barang-barang itu sifatnya umum, dan penduduk, kaya maupun miskin, dipaksa harus membeli makanan. Dan orang-orang yang butuh bantuan orang lain merupakan mayoritas di antara penduduk peradaban.” (Khaldun, 2008:474). Harga yang rendah untuk barang-barang pokok itu dicapai bukan dengan menetapkan harga, karena hal ini akan mengganggu dorongan untuk berproduksi (Khaldun, 2008:365). Faktor-faktor yang menentukan penawaran menurut Ibnu Khaldun adalah permintaan, tingkat keuntungan relatif, daya upaya manusia, jumlah tenaga kerja beserta pengetahuan dan keahlian, keadaan yang aman dan damai, perkembangan masyarakat dan kemampuan tekniknya. Sementara faktor-faktor yang menentukan permintaan adalah pendapatan, jumlah penduduk, adat kebiasaan masyarakat, perkembangan dan kesejahteraan masyarakat[1] (Chapra 1999). Merupakan hal yang menarik bahwa konsep permintaan dan penawaran dalam literatur berbahasa Inggris kemungkinan baru dijelaskan tahun 1767 oleh Sir James Steuart (Chapra, 1999; Humphrey, 1992).

PERAN PEMERINAH
Ibnu Khaldun percaya bahwa pemerintah memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui pembelian barang dan jasa melalui kebijakan fiskal terutama pajak dan pembelanjaan pemerintah. Pengeluaran pemerintah dapat mendorong perekonomian melalui efek pengganda, sementara pengenaan pajak dapat mengurangi produksi. Karena pemerintah merupakan pasar yang besar bagi barang dan jasa, maka pengurangan belanja pemerintah bukan saja mengakibatkan melambatnya aktivitas usaha dan penurunan laba namun juga penurunan pendapatan pajak. Makin banyak belanja pemerintah, makin baik dampaknya bagi ekonomi. Pembelanjaan pemerintah diperlukan untuk kepentingan rakyat, menjaga ketertiban, menegakkan aturan, dan menstabilkan politik. Tanpa keteraturan dan stabilitas politik, produsen tidak terdorong untuk berproduksi. (Chapra, 1999). Dampak pajak terhadap insentif berusaha dan produktivitas diterangkan Ibnu Khaldun melalui konsep perpajakan optimum. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa faktor terpenting dalam membuat kemajuan usaha adalah meringankan sedapat mungkin beban pajak, sehingga dapat mendorong pengusaha bekerja lebih keras. Bila beban pajak lebih ringan, orang akan mendapatkan dorongan untuk lebih aktif dalam bekerja. Dunia usaha akan berkembang, akibatnya pendapatan pajak juga akan naik karena lebih banyak orang yang memiliki kemampuan membayar pajak (Chapra, 1999, lihat Khaldun, 2008:348-351). Pada tahun 1978 Jude Wanniski memperkenalkan istilah Laffer curve yang merupakan teori dari Arthur B. Laffer (Laffer, 2004) yang menyatakan bahwa pendapatan pajak akan mencapai titik maksimum bila tarif yang dikenakan dibawah 100 persen. Bila tarif pajak sama dengan nol, tidak ada pendapatan pajak yang diterima oleh pemerintah. Tetapi bila tarif pajak sebesar 100% maka pendapatan pajak juga akan nihil karena tidak ada masyarakat yang mau bekerja kemudian pendapatannya semua untuk membayar pajak. Dengan demikian masyarakat mau bekerja pada tarif antara 0 hingga 100 persen (Lipsey, 1981:448). Laffer sendiri menyatakan bahwa kurva Laffer bukan ditemukan olehnya sendiri, ia mengutip pemikiran dari Ibnu Khaldun dan John Maynard Keynes (Laffer, 2004). Ibnu Khaldun juga menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian. Dikatakannya, pengurangan pengeluaran pemerintah dapat menurunkan pendapatan pajak, yang berakibat pada berkurangnya belanja pemerintah. Karena pemerintah merupakan pasar terbesar, pengurangan belanja pemerintah dapat menyebabkan menurunnya penjualan yang dilakukan oleh dunia usaha sehingga labanya berkurang. Akibat berikutnya adalah berkurangnya penerimaan pajak (Chapra, 1999). Ini sejalan dengan pandangan Keynes pada awal tahun 1930an yang merekomendasikan agar perekonomian tidak diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar; hingga pada batas tertentu peran pemerintah tetap diperlukan (Deliarnov, 1995:151).

EKONOMI DAN PERADABAN
Ibnu Khaldun mengembangkan teori yang komprehensif tentang siklus dinasti, menjelaskan bagaimana terjadinya perubahan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat pada masa kebangunan, puncak, penurunan, dan kehancuran dinasti penguasa (Alrefai & Brun, 1994). Perkembangan peradaban merupakan kontinum dari badawah (gaya hidup suku-suku) pada satu kutub dan hadarah (gaya hidup menetap) pada kutub yang lain. Dalam sistem Badawah, masyarakat kecil terikat bersama oleh ikatan keluarga, budaya dan agama. Lembaga yang tercipta atau terorganisir bersifat sederhana namun efektif dalam mengakomodasi kegiatan ekonomi. Agama mengatur standar perilaku para pemain sementara struktur politik maupun aturan formal biasanya tidak penting (Khalid, 2006). Sebagai hasil dari surplus produksi akibat pembagian kerja dan spesialisasi, maka interaksi dan jaringan ekonomi berkembang. Dengan demikian akan semakin dibutuhkan hubungan yang semakin kuat dan terstruktur sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Soliditas sosial ini dibutuhkan untuk mendorong kegiatan ekonomi, disamping itu hasil yang diperoleh dari kegiatan ekonomi akan memperkuat ikatan sosial sehingga membentuk sinergi. Ibnu Khaldun menggunakan istilah ashabiyah untuk menjelaskan adanya perasaan kelompok dan kekuatan yang timbul dari kesatuan kepentingan sosial, politik dan ekonomi. (Khalid, 2006) Menurut bahasa Arab istilah ashabiyah memiliki dua makna (Chapra, 1999). Yang pertama adalah kebaikan dan kesesuaian dengan konsep persaudaraan dalam Islam. Hal ini mendorong orang bekerjasama atas dasar kesamaan tujuan, menahan hawa nafsu dan memenuhi kewajiban terhadap pihak lain sehingga menciptakan keseimbangan sosial dan merupakan faktor penting dalam mengembangkan peradaban. Arti yang lain adalah loyalitas buta terhadap kelompoknya sendiri. Hal ini menyebabkan seseorang mengunggulkan kelompoknya tanpa peduli apakah kelompoknya itu benar atau salah, sehingga mengakibatkan timbulnya sikap tidak adil, saling benci dan pertentangan. Kedua makna tersebut tercermin dalam ayat Al Qur’an “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. 5:2). Ibnu Khaldun menggunakan kata ashabiyah untuk makna yang pertama (lihat Khaldun, 2008:247-251). Mengutip pendapat Fida, Khalid (2006) menjelaskan beberapa faktor yang memperkuat ashabiyah, sebagai berikut. Pertama adalah kekuasaan. Menurut Ibnu Khaldun, keutamaan suatu masyarakat seringkali dinilai dari susunan struktur kekuasaannya. Potensi dan daya gunanya tergantung pada bagaimana kekuasaan diatur serta kemampuan kekuasaan tersebut menghimpun berbagai kelompok menjadi sebuah kesatuan yang utuh dalam bertindak. Yang kedua adalah kepemimpinan. Perasaan ashabiyah tergantung pada keyakinan dan kepercayaan bahwa pemimpin membangkitkan semangat dan memimpin dengan bijaksana. Sedangkan yang ketiga adalah agama, yang merupakan faktor yang sangat kuat dalam kehidupan sosial dan mendorong kesatuan pemikiran dan tindakan diantara para pengikutnya. Otoritas dalam masyarakat berkembang dari yang berdasarkan moral dan kultural menuju kekuasaan berdasarkan politik. Douglass C. North (1993), berpandangan bahwa formalisasi kekuasaan institusional dipandang sebagai pergerakan dari kutub ekstrim yang satu (tabu, adat istiadat dan tradisi) ke kutub yang lain (konstitusi), yang didorong oleh terjadinya peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja sehingga masyarakat menjadi semakin kompleks. Adapun faktor-faktor yang memperlemah ashabiyah (Fida, dalam Khalid, 2006), yang pertama adalah kemewahan dan korupsi. Orang cenderung pada kehidupan berfoya-foya, memikirkan kepentingannya sendiri sehingga solidaritas sosial berkurang. Terjadi ketidak-adilan ekonomi seperti pelanggaran hak milik, kegiatan ekonomi mencari rente dan lain-lain yang kian hari kian bertambah. Untuk melanggengkan kekuasaan, penguasa menyewa tentara atau menambah struktur birokrasi. Untuk pembiayaannya dilakukan dengan meningkatkan pajak sehingga meningkatkan biaya transaksi usaha. Akibatnya kegiatan usaha menjadi kurang bergairah. Studi Murrel dan Olson (Khalid, 2006) menunjukkan bagaimana institusi yang sedianya dikembangkan untuk mendukung rejim yang otoriter, akan memerlukan informasi yang semakin besar yang diperlukan untuk mengontrol dan mempertahankan diri dari serangan terhadap kekuasaan. Untuk itu maka mesin birokrasi dikembangkan, terjadi kolusi antar kelompok penguasa maupun kolusi penguasa dengan pengusaha, sehingga berkontribusi terhadap mundurnya perekonomian. Kedua, kerap terjadinya penyalah-gunaan kekuasaan akan menyebabkan rakyat tertekan kemudian perilakunya menyimpang menjadi tidak jujur dan tidak amanah. Dalam hal ini Levi (Khalid, 2006) mengemukakan hubungan antara ketiadaan kepercayaan sebagai akibat dari hilangnya ashabiyah dengan kinerja ekonomi. Jika seseorang tidak percaya bahwa pihak lain akan memenuhi janji, maka tak ada alasan yang rasional bagi orang tersebut untuk melakukan kerjasama. Seseorang yang salah dalam mempercayai orang lain, akan menderita kerugian. Ketidak-percayaan akan menyebabkan orang tidak berbuat apa-apa, atau mungkin saja melakukan perbuatan yang positif, namun tindakannya penuh hati-hati terhadap pihak lain yang tidak dipercaya. Ketidak-percayaan dapat menyebabkan seseorang memutuskan untuk tidak mengambil risiko, atau membuat orang tersebut dalam keadaan rentan terhadap risiko. Ketidak-percayaan dapat membuat perasaan takut dikhianati sehingga mendorong seseorang untuk memproteksi dirinya. Karena penyalah-gunaan kekuasaan merupakan sumber terjadinya perselisihan dan frustrasi, para elit penguasa berusaha memelihara stabilitas politik dalam rangka mempertahankan kepentingan ekonomi mereka. Untuk itu mereka membangun birokrasi dan kebijakan untuk melindungi kroni-kroni dan program-program mereka, tentu saja dengan biaya yang tinggi. Akibatnya terjadi ekonomi biaya tinggi yang menyebabkan negara tersebut tidak kompetitif. Inilah yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Menurut Chapra (2006) Ibnu Khaldun telah mengembangkan model yang menjelaskan kemajuan dan kemunduran suatu peradaban atau perkembangan dan penurunan keadaan perekonomian, dimana kedua hal tersebut saling bergantung. Chapra mengutip Ibnu Khaldun (2008:65 & 361) sebagai berikut. (1) Kekuatan sebuah kekuasaan (al mulk) tidak akan bertahan kecuali dengan menjalankan syariah. (2) Syariah tidak dapat dijalankan kecuali melalui kekuasaan (al mulk); (3) kekuasaan tidak akan kuat kecuali melalui manusianya (ar rijal); (4) manusia tidak dapat bertahan kecuali dengan adanya kekayaan (al mal); (5) kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui pembangunan (imarah); (6) pembangunan tidak dapat tercapai kecuali dengan adanya keadilan (al ‘adl); (7) keadilan adalah timbangan (al mizan) Tuhan dalam menilai kemanusiaan; dan (8) kekuasaan dibebankan dengan tanggung jawab atas realisasi keadilan.

Ibnu Khaldun menamakannya sebagai delapan prinsip kebijaksanaan (kalimat hikamiyah), yang satu sama lain saling berpaut erat. Prinsip-prinsip ini bersifat interdisipliner dan dinamis. Penyebab kemunduran suatu peradaban bukan karena satu sebab tetapi disebabkan oleh variabel-variabel sosial, ekonomi dan politik seperti Syariah (S), kekuatan politik (G), manusia (N), kekayaan atau ketersediaan sumber daya (W), pembangunan (g) dan keadilan (j) (Chapra, 2006). Semua variabel itu saling bergantung, satu sama lain saling mempengaruhi. Bila salah satu variabel terpicu, varabel-variabel lainnya dapat bereaksi, dapat pula tidak. Bila variabel lain tidak berreaksi pada arah yang sama, maka kemunduran pada salah satu sektor tidak menyebar ke yang lain, sektor tersebut dapat diperbaiki, atau kemunduran suatu peradaban melambat. Namun bila sektor-sektor yang lain berreaksi dengan arah yang sama, maka kemunduran peradaban menemukan momentumnya melalui reaksi berantai, sehingga sulit membedakan antara sebab dan akibat. Lingkaran sebab-akibat ini digambarkan oleh Chapra sebagai berikut.

Gambar 1. Kalimat Hikamiyah Perhatian utama Ibnu Khaldun adalah menjelaskan maju mundurnya sebuah dinasti (negara) atau peradaban. Menurutnya kekuatan dan kelemahan suatu dinasti tergantung pada kekuatan dan kelemahan otoritas politik. Otoritas politik (G) harus menjamin kepentingan rakyat (N) dengan menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi syariah (S), pertumbuhan dan distribusi kekayaan (W) yang adil. Penyebab kemunduran peradaban bisa bermacam-macam. Bisa karena kurangnya pendidikan sehingga kualitas sumber daya manusia (N) turun, bisa karena kelemahan ekonomi (W) karena diterapkannya sistem ekonomi (S) yang salah, atau nilai-nilai dan lembaga masyarakat yang tidak sejalan dengan nilai-nilai dibutuhkan untuk pembangunan. Nilai-nilai syariah (S) dapat berperan untuk mengaktifkan seluruh faktor peradaban menuju arah yang positif (Chapra, 2006). Untuk itu maka nilai-nilai tersebut dapat diterjemahkan melalui objektivisasi sehingga dapat diintrodusir dan diterima oleh masyarakat luas. Yang dimaksud objektivisasi nilai-nilai Islam adalah proses transposisi konsep atau ideologi dari wilayah personal-subjektif ke ranah publik objektif; dari ranah internal merambah ke wilayah eksternal, agar bisa diterima secara luas oleh publik. Agar dapat diterima di wilayah publik maka nilai-nilai tersebut mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti: kesesuaian dengan konteks dari segi ruang dan waktu; mempunyai hubungan rasional-organik; memenuhi rule of the game; memenuhi prinsip pluralitas dan kehidupan bersama (non-diskriminatif) serta resolusi konflik agar konsep dan ide tadi memenuhi prinsip keadilan publik (Azra, 2008).

SIMPULAN
Ibnu Khaldun merupakan salah satu diantara banyak pemikir Islam yang telah memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang ekonomi. Meski Ibnu Khaldun hidup setelah masa the “the Great Gap”, namun pemikirannya merupakan hasil kristalisasi dari para pemikir Muslim sebelumnya. Thesis the “the Great Gap” tersebut kini telah terbantahkan. Ibnu Khaldun hidup pada masa kemunduran peradaban Islam. Perhatiannya pada maju-mundurnya peradaban bangsa-bangsa menghasilkan pemikiran yang dewasa ini dikaji orang dari berbagai bidang ilmu, termasuk bidang ilmu ekonomi. Ia adalah seorang pengamat yang cermat mengenai fenomena-fenomena ekonomi, sosial, politik dan sejarah pada masanya dan masa sebelumnya. Ia mampu mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan antar variabel-variabel ekonomi serta keterkaitannya dengan variabel-variabel lain. Tulisan ini telah menunjukkan bahwa teori-teori dari para pemikir ekonomi hingga kini ternyata banyak memiliki kemiripan dengan pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun, sehingga Ibnu Khaldun yang selama ini dikenal sebagai father of sociology oleh sebagian pakar diusulkan sebagai father of economics (Al-Hamdi, 2006; Oweiss, 1988; Islahi, 2005, Bartkus & Hassan). Pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi mampu melampaui jamannya, teruji oleh sejarah, dan masih tetap relevan hingga saat ini. Bagi bangsa Indonesia yang sedang berusaha keluar dari krisis multi dimensi, pemikiran Ibnu Khaldun dapat dijadikan inspirasi. Konsep ashabiyah dalam makna yang positif serta kerangka berpikir kalimat hikamiyah kiranya dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya untuk memberi sumbangan pemikiran kepada bangsa Indonesia, demi memajukan peradaban kita. Namun demikian perlu dicatat bahwa penelitian ini terutama bersumber pada pendapat berbagai penulis tentang karya Ibnu Khaldun, disamping itu penulis menggunakan buku Muqaddimah terjemahan bahasa Indonesia sebagai rujukan, sehingga kemungkinan terjadinya bias serta masalah otentisitas merupakan keterbatasan tulisan ini.
---

Daftar Pustaka

Abdalla, Mohamad. 2004. The Fate of Islamic Science Between the Eleventh and Sixteenth Centuries: A Comprehensive Review of Scholarship from Ibn Khaldun to the Present. Humanomics. Patrington. Vol. 20, Iss. 3/4; pg. 26.

Al-Hamdi, Mohamed Talib. 2006. Ibn Khaldun: The Father of the Division of Labor. International Conference on Ibn Khaldun in Madrid , Spain November 3-5, 2006 hold by the Islamic Research and Training Institute in collaboration with Univerisdad Nacional de Education a Distance (UNED), and the Islamic Culture Center of Madrid. Dalam http://www.uned.es/congreso-ibn-khaldun/ponencia.htm

Ali, Salman Syed. August 2006. Economic Thought of Ibn Khaldun (1332—1406 A.D.). IRTI, Islamic Development Bank.

Azra, Azzumardi. PKS. Repubika Kamis, 24 April 2008.

Alrefai, Ahmed & Brun, Michael. 1994 Ibn Khaldun: dynastic change and its economic consequences. From: Arab Studies Quarterly (ASQ). Dalam http://www.encyclopedia.com/doc/1G1-16502941.html

Bartkus, James R. & M. Hassan, Kabir. 2007. Ibn Khaldun and Adam Smith: Contributions to the Theory of the Division of Labor and Modern Economic Thought. International Islamic University Malaysia. International Conference on Ibn Khaldun in Madrid, Spain November 3-5, 2006 hold by the Islamic Research and Training Institute in collaboration with Univerisdad Nacional de Education a Distance (UNED), and the Islamic Culture Center of Madrid. Dalam http://www.uned.es/congreso-ibn-khaldun/ponencia.htm

Beik, Irfan Syauqi & Arsyianti, Laily Dwi. 2006. Ibn Khaldun’s Contribution on Modern Economics Development An Analysis based on Selected Economic Issues. International Conference on Ibn Khaldun in Madrid, Spain. November 3-5, 2006 hold by the Islamic Research and Training Institute in collaboration with Univerisdad Nacional de Education a Distance (UNED), and the Islamic Culture Center of Madrid. Dalam http://www.uned.es/congreso-ibn-khaldun/ponencia.htm

Boulakia, Jean David C. 1971. Ibn Khaldun: A Fourteenth-Century Economist. The Journal of Political Economy, Vol. 79, No. 5., pp. 1105-1118.

Chapra, M. Umer. 1999. Socioeconomic and Political Dynamics in Ibn Khaldun’s Thought. The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 16, No. 4, Winter, pp.17-38.

Chapra, M. Umer. 2004. Book Reviews Published by EH.NET. S.M. Ghazanfar, editor, Medieval Islamic Economic Thought: Filling the Great Gap in European Economics. London: Routledge/Curzon, 2003. xv + 284 pp. ISBN: 0-415-29778-8.

Chapra, M.Umer. 2007. Ibn Khaldun’s theory of development: Does it help explain the low performance of the present-day Muslim world? The Journal of Socio-Economics, doi:10.1016/j.socec.2006.12.051

Deliarnov, 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hakim, Cecep Maskanul. 2007. Ibn Khaldun’s Thought in Microeconomics: Dynamic of Labor, Demand-Supply and Prices. Economics Development An Analysis based on Selected Economic Issues. International Conference on Ibn Khaldun in Madrid, Spain. November 3-5, 2006 hold by the Islamic Research and Training Institute in collaboration with Univerisdad Nacional de Education a Distance (UNED), and the Islamic Culture Center of Madrid. Dalam http://www.uned.es/congreso-ibn-khaldun/pdf/03%20Cecep%20Hakim.pdf

Humphrey, Thomas M. 1992. Marshallian Cross Diagrams and Their Uses Before Alfred Marshall: The Origins of Supply and Demand Geometry. Economic Review. (Federal Reserve Bank of Richmond). Richmond. Vol. 78, Iss. 2; pg. 3, 21 pgs.

Islahi, Abdul Azim. 2004. Contributions Of Muslim Scholars To Economic Thought and Analysis (11-905 A.H./632-1500 A.D.), Islamic Economics Research Centre King Abdulaziz University Jeddah, Saudi Arabia.

Khalid, Haniza. 2007. Comparing Ibn Khaldun and The New Institutional Economics. International Islamic University Malaysia. International Conference on Ibn Khaldun in Madrid, Spain November 3-5, 2006 hold by the Islamic Research and Training Institute in collaboration with Univerisdad Nacional de Education a Distance (UNED), and the Islamic Culture Center of Madrid. Dalam http://www.uned.es/congreso-ibn-khaldun/pdf/05%20Haniza%20Khalid.pdf

Khaldun, Ibnu. 2008. Muqaddimah. Diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha. Cetakan ketujuh, Maret 2008. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Laffer, Arthur B. June 1, 2004. The Laffer Curve: Past, Present, and Future. Backgrounder No. 1765. Dalam www.heritage.org/research/taxes/bg1765.cfm

North, Douglass C. 1993. Economic Performance Through Time– Prize Lecture. Lecture to the memory of Alfred Nobel, December 9, 1993.

North, Douglass C. 1996. Where Have We Been and Where Are We Going? Washington University, St. Louis. Dalam http://129.3.20.41/eps/eh/papers/9612/9612001.html

Oslington, Paul. Economic Thought and Religious Thought: A Comment on Ghazanfar S.M. and Azim Islahi A. (1990) "Economic Thought of an Arab Scholastic: Al Ghazali" History of Political Economy vol 22 pp381-403.

Oweiss, Ibrahim M. Abstracts: Ibn Khaldun, The Father Of Economics. Atlantic Economic Journal; Sep 1988; 16, 3; Abi/Inform Global. Pg. 63.

Soofi, Abdol S. 1995. Economics of Ibn Khaldun Revisited", History of Political Economy, Vol. 27, No. 2:387-404 (1995) Department of Economics, University of Wisconsin. Dalam http://www.uwplatt.edu/~soofi/khaldun2.pdf

Sun, Guang-Zhen. 2004. The Economics of Division of Labor from Xenophon to Hayek (1945): A Review of Selected Literature. Dalam https://www.worldscientific.com/economics/etextbook/5728/5728_chap1.pdf

-----------------------
[1] Ilmuwan lain sebelum Ibnu Khaldun juga sudah menjelaskan tentang peran penawaran dan permintaan. Misalnya, Ibnu Taimiyah (1328) dalam tulisannya mengatakan bahwa kenaikan dan penurunan harga tidak selalu karena ketidak-adilan yang dilakukan oleh beberapa orang. Namun bisa juga disebabkan karena kurangnya output ataupun impor barang yang dibutuhkan. Bila permintaan barang meningkat dan penawarannya menurun maka harga akan naik. Bila permintaan turun dan penawaran meningkat, harga akan turun. Lima adbad sebelumnya, Al Jahiz (864) telah menulis, “segala yang tersedia di pasar akan murah karena banyak, dan akan mahal karena kelangkaan bila ada permintaan untuk itu. Sedangkan apabila terjadi peningkatan penawaran segala sesuatu maka harganya akan murah, kecuali kecerdasan, harganya akan mahal bila jumlahnya meningkat (Chapra, 1999).

-----------------------
[pic]

Similar Documents