Free Essay

Menilik Asa Sang Pamong Desa

In:

Submitted By diazdiaz
Words 6796
Pages 28
MENILIK ASA SANG PAMONG DESA (Studi Kasus Motivasi Kerja Perangkat Desa di Kabupaten Boyolali)

Diaz Haryokusumo (C2A007040) Andriyani, SE., MM

ABSTRACT
Rural officer as a person who responsible for goverment task in village, has an importent role to determine the success of society development, because village become a focus object of national development in regional autonomy system. However, in the middle of so many claims in this profession, there is so many problems, especially problems about the prosperity and clarity of their status. The aim of this research is for identify the internal factors that influences motivation of rural officer. The internal factors include working value, the attitude, and the ability that the rural officer have. This research uses qualitative method where the process of collecting data is conducted with interview. The object in this research is the employee who work in village goverment administration with status as a non-civil servant in some district in Boyolali. The result of this research explain that work motivation of rural officer influenced by work values, individual attitudes, and individual ability. Key words: Qualitative, Rural officer, Motivation, Value, Attitude, Ability.

2

1. PENDAHULUAN Pemerintah sebagai penyelenggara roda pemerintahan diamanatkan oleh UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Susunan pemerintahan dibagi menjadi pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang terdiri dari berbagai tingkat, yaitu tingkat provinsi, kabupaten/kota. Undang-Undang No. 32/2004 membentuk pemerintahan desa sebagai bagian terkecil Pemerintahan Daerah. Bantuk eksistensi pemerintah desa dipertegas dalam Peraturan Pemerintah No. 72/2005 yang khusus mengatur tentang desa. Implikasi dari peraturan ini adalah bentuk pengakuan desa sebagai ujung tombak pemerintahan yang secara hierarki merupakan bagian dari pemerintah terendah dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, dan memiliki beban pertanggungjawaban yang sama atas apa yang telah diamanahkan oleh UUD 1945. Menurut catatan Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) pada tahun 2008, terdapat 63.712 desa di Indonesia, atau lebih dari 78% rakyat Indonesia berada dalam naungan pemerintah desa. Pemerintahan Desa diharapkan dapat menjadi unit terdepan dalam pelayanan kepada masyarakat, serta menjadi tonggak strategis untuk keberhasilan semua program karena secara normatif, masyarakat akar-rumput (grass root) seperti halnya masyarakat pedesaan sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat Desa (Kumalasari, 2010). Proposal Perspektif Perangkat Desa dalam Sistem Pemerintah Desa yang disusun oleh Pengurus Pusat Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Tahun 2010, menjelaskan bahwa sudah selayaknya pemerintah desa yang dijalankan oleh perangkat desa ditunjang dengan perangkat sistem peraturan maupun peralatan yang dapat mendukung tugas mereka. Tetapi apabila Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Desa dicermati, banyak terdapat aturan-aturan yang menghambat Perangkat Desa dalam mengemban tugasnya. Hambatan itu berupa status kepegawaian perangkat desa yang tidak jelas karena bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta tidak adanya standarisasi sistem penggajian sehingga tingkat kesejahteraan perangkat desa menjadi minim.

3

Minimnya kesejahteraan perangkat desa dalam jangka waktu yang lama berpengaruh langsung terhadap minimnya standar pelayanan maupun rendahnya semangat melayani masyarakat terhadap tugas administratif sebagai wakil pemerintahan yang diamanahkan. Pada umumnya mereka bekerja apa adanya (taken for granted) sesuai dengan kebiasaan perangkat sebelumnya (Muflich, et al, 2007). Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow meletakkan kebutuhan fisiologis di urutan pertama yang dibutuhkan seseorang dan mengasumsikan bahwa orang akan berusaha memenuhi kebutuhan secara fisiologis terlebih dahulu. Pemenuhan kebutuhan bersifat fisik ini sangat berkaitan erat dengan pemberian kompensasi yang sesuai dan wajar kepada pekerja untuk dapat memenuhi kesejahteraan hidup (Justicia, 2001). Terpenuhinya kesejahteraan pekerja dengan baik dan kompensasi yang cukup akan memacu prestasi dan kinerja pekerja tersebut (PortalHR.com, 27 Juli 2011). Muflich (2007), menjelaskan para perangkat Desa juga tidak memperoleh pendidikan dan latihan yang sistematis dan berkelanjutan sebagaimana diberikan negara kepada PNS. Perangkat Desa memperoleh pembekalan awal mengenai tupoksi dan tugas-tugas administrasi oleh pihak Kecamatan yang dikoordinasi oleh Bupati atau Walikota setempat, tetapi setelah itu tidak memperoleh diklat teknis. Terkadang sebagian Perangkat Desa memperoleh diklat teknis (misalnya administrasi, perencanaan, pendataan, keuangan) jika ada proyek diklat dari pemerintah yang datangnya tidak menentu. Disebabkan miskinnya pembinaan, maka kapasitas (pengetahuan, wawasan dan keterampilan) perangkat Desa sangat terbatas. Padahal faktor pengetahuan dan pemahaman akan job proccedure sangat mempengaruhi keberhasilan dari kinerja (Kosasoh dan Budiani, 2007). Akibatnya tingkat kualitas pelayanan Pemerintah Desa yang merupakan pelaksana langsung dan bersentuhan langsung dengan masyarakat menjadi minim. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah memungkinkan dengan keberadaan sosial ekonominya yang tidak jelas diatur oleh pemerintah, serta tingkat kesejahteraan yang tidak mendapatkan jaminan dapat

4

menjalankan tugas sesuai dengan harapan masyarakat maupun harapan pemerintah itu sendiri? Menurut Mulyana (2007), seseorang melakukan tindakan lebih karena didasari oleh suatu motivasi, dimana motivasi tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Triatmanto dan Sunardi (2001) mendefinisikan motivasi sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motivasi intrinsik menjadi faktor dominan yang mempengaruhi perilaku seseorang (Prianto, 2006; Ratnawati, 2004). Menurut Ratnawati motivasi adalah suatu yang intern. Motivasi kerja intrinsik secara positif melibatkan pengalaman berharga yang dialami pekerja dari pekerjaannya. Berkaitan dengan motivasi bekerja Perangkat Desa yang termasuk unsur pelayanan publik, Francois (2002) menyatakan bahwa para pekerja di sektor pelayanan publik mengesampingkan gaji atau pendapatan sebagai motivasi mereka (not-profit oriented). Para pekerja sektor pelayanan publik melakukan pekerjaan ini karena menganggap pekerjaan ini penting untuk dilakukan dan berarti untuk mereka (Prendergast, 2008; Francois dan Vlassopoulos, 2007). Motivasi intrinsik dalam melakukan pelayanan ini disebut dengan motivasi prososial (pro-social motivation). Pekerja dengan motivasi pro-sosial tidak akan terpengaruh oleh kekuatan dari insentif (Francois dan Vlassopoulos, 2007). Hasil penelitian Subyantoro (2009) menemukan korelasi yang positif dan signifikan hubungan antara karakteristik pribadi seseorang yang terdiri dari kemampuan, nilai, sikap, dan minat terhadap motivasi kerja seseorang. Melihat kondisi ini, menarik kiranya untuk mengkaji lebih dalam mengenai motivasi kerja perangkat desa dan faktor yang melatarbelakangi motivasi tersebut. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian untuk mengetahui: 1) Motivasi kerja perangkat desa; 2) Nilai yang mendasari motivasi kerja; 3) Sikap kerja perangkat desa; 4) Kondisi kemampuan perangkat desa. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini berudul “Menilik Asa Sang Pamong Desa (Studi Kasus Motivasi Kerja Perangkat Desa di Kabupaten Boyolali)”.

5

2. TELAAH TEORI 2.1 Motivasi Kerja Secara teknis, istilah motivasi berasal dari kata Latin movere, yang berarti “bergerak”. Robbins (2001) mendefinisikan motivasi sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual. Definisi motivasi mengemukakan bahwa motivasi berhubungan dengan: (1) arah perilaku; (2) kekuatan respons; (3) ketahanan perilaku, atau berapa lama orang itu terus-menerus berperilaku menurut cara tertentu (Gibson, et al, 1984). Terdapat tiga elemen kunci di dalam definisi motivasi yaitu: usaha (effort); tujuan organisasi (organizational goals); dan kebutuhan (needs) (Sofyandi dan Garniwa, 2007). Gambar 2.1 Proses Awal Motivasi

Sumber: Gibson, et al (1984) Untuk memahami perilaku pribadi maupun organisasi, motif dasar motivasi harus dikenal dan dipelajari dan berfungsi sebagai latar belakang dan dasar untuk pendekatan motivasi kerja yang lebih relevan (Luthans, 2009). Lebih lanjut Luthans menyimpulkan bahwa kunci untuk memahami proses motivasi bergantung pada pengertian dan hubungan antara kebutuhan, dorongan, dan insentif. Menurut Tampubolon (2008) Kebutuhan berhubungan dengan kekurangan yang dialami oleh seseorang pada waktu tertentu, kekurangan ini mungkin dapat bersifat fisiologis, psikologis, atau kebutuhan sosiologi. Dengan

6

demikian dapat dikatakan, bahwa seseorang yang memiliki motivasi itu sesungguhnya berada dalam keadaan tegang (in a state tension). Untuk membebaskan ketegangan itu, diperlukan usaha. Semakin besar ketegangan yang ada, semakin besar usaha yang dikeluarkan. Terdapat berbagai macam teori motivasi yang dikemukakan oleh berbagai ahli kajian motivasi. Salah satunya adalah Clayton Alderfer yang mengungkapkan teori kebutuhan yang disebut Teori ERG. Alderfer mengungkapkan ada tiga kelompok kebutuhan yaitu: keberadaan (existance); keterikatan (relatedness); dan pertumbuhan (growth). David McClelland mengemukakan teori bahwa motivasi erat hubungannya dengan konsep belajar. Teori dari kebutuhan itu, antara lain sebagai berikut:1) Kebutuhan akan prestasi (need for Achievement), adalah dorongan untuk melampaui, dalam mencapai sesuatu, kaitannya dengan suatu standar tertentu; 2) Kebutuhan akan Afiliasi (need for Affiliation), yaitu hasrat untuk bersahabat, dan memiliki hubungan yang akrab dengan sesama; 3)Kebutuhan akan Kekuasaan (need for Power), merupakan kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana akan berperilaku seolah-olah tidak dipaksa. Berkaitan dengan motivasi pekerja di sektor pelayanan publik, Francois dan Vlassopoulos (2007), menyebutnya dengan istilah motivasi pro-sosial (prosocial motivation). Baron (2006) menyatakan bahwa perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well being orang lain. Aspek-aspek dalam motivasi pro-sosial meliputi tindakan berbagi, menolong, memberi, dan bekerjasama. 2.2 Nilai Faktor internal yang dianggap mempengaruhi kinerja pegawai adalah tentang nilai-nilai yang dianut oleh para pekerja itu sendiri (Prianto, 2006). Dari penelitian yang dilakukan Prianto, terdapat pengaruh langsung antara nilai-nilai yang dianut para pegawai dengan motivasi kerja mereka. Nilai-nilai yang dianut para pegawai merupakan variabel utama yang menentukan kinerja.

7

Robbins (2001) memberikan pengertian nilai sebagai keyakinan dasar bahwa suatu modus perilaku atau keadaan akhir eksistensi yang khas lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan modus perilaku atau keadaan akhir eksistensi kebaikan atau lawannya dan dasar untuk memahami sikap dan motivasi. Nilai dapat dibedakan menjadi: 1) Nilai ekonomi, yang berarti materi, atau berdasarkan kebendaan; 2) Nilai personal, yang diarahkan kepada perkembangan indibidu; 3) Nilai sosial, yaitu memberi makna akan kehadirannya dikomunitas tertentu; 4) Nilai moral-spiritual, yang memandang pekerjaan sebagai ibadah kepada Tuhan (Harefa, 2011). Nilai juga sangat dipengaruhi oleh budaya disekitarnya (Rizkian, 2011). Budaya Jawa sebagai nilai budaya dan kearifan lokal kaya akan nilai-nilai dapat mempengaruhi dan dijadikan sebagai pedoman etika, pandangan hidup, serta falsafah hidup (Sartini, 2009). Beberapa nilai-nilai dalam kebudayaan Jawa tersebut diantara lain adalah: a. Hamangku, hamengku, hamengkoni. Hamengku diartikan harus berani bertanggung jawab terhadap kewajiban, hamnegku diartikan harus bernai nggrengkuh (mengaku sebagai kewajibanny), dan hamnegkoni berarti berani melindungi dalam berbagai situasi. b. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Mempunyai arti dalam bekerja harus bersungguh-sungguh dan ikhlas, tanpa memikirkan imbalan. c. Weweh tanpa kelangan, sugih tanpa banda. Mempunyai arti memberi tanpa harus kehilangan sesuatu, dan kaya tanpa harta. d. Mulat sarira hangrasa wani. Selalu menginstropeksi diri atau mawas diri. 2.3 Sikap Menurut Gibson, et al (1995), sikap (attitude) adalah kesiap-siagaan mental, yang dipelajari dan diorganisasi melalui pengalaman, dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain, obyek, dan situasi yang berhubungan dengannya. Sikap merupakan bagian hakiki dari kepribadian seseorang.

8

Moorman dan Blakelt (1998) mengemukakan kemauan saling membantu terhadap sesama, kemauan untuk mengambil inisiatif, dan kecenderungan untuk bersikap loyal dipengaruhi oleh nilai-nilai pada budaya yang dianut. Sikap hidup yang ditulis oleh Sartini (2009) merupakan cara seseorang memberi makna terhadap kehidupannya. Sikap hidup ini diperlihatkan untuk diri sendiri, atau untuk orang lain yang berstatus sosial lebih tinggi seperti pimpinan, atasan, atau orang tua. Sikap hidup yang terdapat dalam masyarakat Jawa sangat memperhatikan sikap-sikap hidup yang sederhana, penuh tanggung jawab, sangat menghargai perasaan orang lain, berbudi bawa leksana serta selalu rendah hati. (Sartini, 2009). Tipe sikap yang dikutip oleh Robbins (2001) mengkonsentrasikan pada tiga sikap, yaitu kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen pada organisasi. a. Kepuasan kerja Kepuasan kerja merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu, sedangkan seseorang yang tak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif. b. Keterlibatan kerja Sampai tingkat mana seseorang memihak pada pekerjaannya, berpartisipasi aktif didalamnya, dan menganggap kinerjanya penting bagi harga diri. Karyawan dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat akan memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis pekerjaan itu. c. Komitmen pada organisasi Aspek ini didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu. 2.4 Kemampuan Menurut Robbins (2001), kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Perihal kemampuan biasanya sangat berkaitan sekali dengan perbedaan karakteristik individu, atau

9

yang disebut skill dan ability. Kedua istilah tersebut dalam bahasa Indonesia diartikan sama, yakni kemampuan (Tampubolon, 2008). Lebih lanjut, Tampubolon memberikan pengertian untuk skill sebagai keterampilan seseorang yang berkaitan dengan menyelesaikan tugas secara cepat dan tepat. Sedangkan ability adalah kemampuan yang berkaitan dengan kinerja seseorang. Robbins (2001) membagi kemampuan-kemampuan keseluruhan dari seorang individu tersusun dari dua perangkat faktor, yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. a. Kemampuan Intelektual Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Tujuh dimensi yang paling sering dikutip yang menyusun kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman (comprehension) verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan ingatan. b. Kemampuan Fisik Kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan serupa. Gambar 2.2 Faktor Pembentuk Motivasi

Sumber: diadaptasi dari Subyantoro (2009) dan dikembangkan dalam penelitian ini.

10

3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), disebut juga sebagai metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya, dan disebut sebagai metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif (Sugiyono, 2009). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena sifat masalah penelitian itu sendiri yang mengharuskan menggunakan penelitian kualitatif. Fenomena penelitian yang terkandung dalam penelitian seperti tentang kehidupan, riwayat, perilaku sosial, dan gerakan sosial membutuhkan analisis kualitatif dengan penjelasan yang mendalam. Selain itu metode penelitian kualitatif diperlukan dalam penelitian ini untuk memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena yang seringkali menjadi sesuatu yang sulit untuk diketahui atau dipahami. Melalui metode penelitian kualitatif, diharapkan dapat digunakan untuk mencapai dan memperoleh suatu cerita, pandangan langsung dari objek yang diteliti dan dari para narasumber mengenai segala sesuatu yang sudah maupun yang dapat diketahui mengenai informasi tertentu. 3.1 Fokus Penelitian Terlalu luasnya masalah yang diteliti pada penelitian kualitatif, memerlukan pembatasan studi dan masalah yang diteliti. Pembatasan masalah ini disebut fokus penelitian (Basrowi dan Suwandi, 2008). Pembatasan dalam penelitian kualitatif lebih didasakan pada tingkat kepentingan, urgensi dan fasibilitas masalah yang akan dipecahkan, selain juga faktor keterbatasan tenaga, dana, dan waktu. Suatu masalah dikatakan penting apabila masalah tersebut tidak dipecahkan melalui penelitian, maka akan semakin menimbulkan masalah baru. Masalah dikatakan urgent (mendesak) apabila masalah tersebut tidak segera dipecahkan melalui penelitian, maka akan semakin kehilangan kesempatan untuk mengatasi. Masalah dikatakan feasible apabila

11

terdapat berbagai sumber daya untuk memecahkan masalah tersebut (Sugiyono, 2009). Fokus penelitian pada penelitian ini adalah motivasi Perangkat Desa berstatus non-Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di beberapa wilayah Desa di Kabupaten Boyolali berikut faktor-faktor yang melatarbelakanginya. 3.2 Subjek Penelitian Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Purposive sampling didasarkan pada pilihan penelitian tentang aspek apa dan siapa yang dijadikan fokus pada saat situasi tertentu dan dilakukan secara terus-menerus selama penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan responden, tetapi disebut sebagai narasumber (Sugiyono, 2009). Subjek dalam penelitian ini adalah para Perangkat Desa (baik Kepala Urusan, Sekretaris Desa, mapun Kepala Dusun) yang berstatus pegawai non PNS yang sekaligus menjadi bagian dari narasumber dalam penelitian ini. Sedangkan sampel yang terpilih berjumlah 8 orang yang bertugas di Desa Selodoko, Desa Candi, Desa Ngenden, dan Desa Kaligentong di wilayah Kabupaten Boyolali. Kriteria subjek penelitian yakni Perangkat Desa yang mempunyai masa kerja minimal 2 tahun dan berstatus non Pegawai Negeri Sipil (PNS). Angka minimal 2 tahun masa kerja dipilih dengan alasan agar homogenitas latarbelakang narasumber lebih terfokus. 3.3 Sumber Data Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2007), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sedangkan sumber data lainnya bisa berupa sumber tertulis (sekunder), dan dokumentasi seperti foto. Data penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan, baik dalam bentuk observasi maupun wawancara kepada informan. Sumber data primer dalam penelitian ini melalui wawancara dengan Perangkat Desa yang berada dalam di lingkungan wilayah Kabupaten Boyolali. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari

12

sumber-sumber sekunder, dalam hal ini adalah selain yang dilakukan secara langsung. Data tambahan yang dimaksud meliputi dokumen atau arsip yang didapatkan dari berbagai sumber, foto pendukung yang sudah ada, maupun foto yang dihasilkan sendiri, serta data yang terkait dalam penelitian ini. 3.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1) Wawancara, adalah percakapan dengan maksud tertentu, antara 2 pihak yaitu pewawancara sebagai pemberi pertanyaan dan yang diwawancarai sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2007); 2) Observasi, yaitu cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompokan secara langsung (Basrowi dan Suwandi, 2008); 3) Dokumentasi, adalah cara pengumpulan data yang menghasilkan catatancatatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti (Basrowi dan Suwandi, 2008). 3.5 Teknik Analisis Data Langkah-langkah analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstraksian dan pentrasformasian data kasar dari lapangan; 2) Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan; 3) Dalam penelitian ini, keabsahan data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2007). setelah data lapangan diperoleh melalui observasi, wawancara, maupun studi dokumentasi, dan responden telah mengisi data kuesioner yang dibutuhkan, maka data yang ada tersebut diangkat dan dilakukan audit trail yaitu memeriksa keabsahan data sesuai dengan sumber aslinya. Tujuan membercheck adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data berarti data tersebut valid, sehingga semakin kredibel atau dipercaya (Sugiyono, 2009).

13

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum 4.1.1 Gambaran Umum Desa Candi Desa Candi yang terletak di sebelah Selatan Desa Urutsewu Kabupaten Boyolali ini merupakan desa yang 60% klasifikasi masyarakatnya didominasi oleh masyarakat jenis antara perkotaan dan pedesaan.Memiliki uraian topografi yang terdiri dari 5 pedusunan dan 28 pedukuhan dengan jumlah penduduk pada tahun 2009 tercatat sebesar 7.327 jiwa. Luas wilayah sebesar 399,6515 Ha, dengan porsi terbesar berbentuk lahan perkebunan (tegalan) seluas 174 Ha dan sisanya berbentuk bangunan dan lainlain, masing-masing seluas 130 Ha dan 5 Ha. Luasnya lahan perkebunan membuat Desa Candi mempunyai potensi strategis di bidang pertanian, namun pengelolaannya yang masih tradisional menjadikannya kendala dalam berkembang. Dari segi pertumbuhan ekonomi, tercatat ada perkembangan yang positif dimana jumlah keluarga miskin pada tahun 2006 sebanyak 508 KK sedangkan pada tahun 2007 sebanyak 419 KK. Masih tingginya angka kemiskinan ini menjadikan masalah penanggulangan kemiskinan menjadi puncak skala prioritas upaya pembangunan perekonomian di wilayah Desa Candi. Potensi ekonomi tercatat dari bidang peternakan menjadi pencatat angka terbesar sebesar Rp 30.000.000,-/kg/tahun, disusul industri pengrajin rumahan, dan pertanian sebesar Rp 9.000.000,-/kg/tahun. Jumlah penduduk menurut pendidikan didominasi dengan tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) tercatat sebanyak 2.460 orang dengan jenis mata pencaharian utama masyarakatnya sebagai petani dan peternak. 4.1.2 Gambaran Umum Desa Selodoko Gambaran umum letak geografis Desa Selodo berbatasan dengan Desa Ngenden di sebelah utara, Desa Sidomulyo di sebelah selatan, Desa Paguyuban di sebelah timur dan Desa Candi di sebelah Barat. Kondisi dibagi menjadi 3 wilayah kadus dan 16 dukuh yang secara keseluruhan wilayahnya termasuk dataran tinggi dengan ketinggian kurang lebih 600 meter di atas permukaan laut. Desa Selodoko digolongkan sebagai wilayah lembab dan mempunyai kondisi tanah yang pada

14

umumnya termasuk jenis tanah aluvial yang sangat cocok untuk jenis tanah pertanian, tetapi cukup labil sehingga mengakibatkan banyak jalan di Desa Selodoko yang cepat rusak. Karakteristik lingkungan yang didominasi dengan dataran rendah yang terdiri dari tanah basah dan kering mempunyai potensi potensi pengembangan usaha pertanian dan pengembangan tanaman pangan lahan kering seperti palawija. Luas wilayah Desa Selodoko peruntukannya didominasi sebagai tegalan atau kebun seluas 105 Ha dan tanah sawah seluas 62 Ha serta bangunan seluas 89 Ha. Pelayanan pemerintah desa dibidang kegiatan pengembangan ekonomi mengacu pada prinsip pelaksanaan ekonomi kerakyatan mengingat masyarakat Desa Selodoko yang mayoritas mata pencahariannya sebagai petani maka pemerintah desa banyak berkonsentrasi pada sektor pertanian. Penduduk Desa Selodoko pada tahun 2007 tercatat berjumlah 3.177 jiwa yang didominasi oleh angka usia produktif berkisar antara 25-55 tahun dengan jumlah 1.887 jiwa. Jenis mata pencaharian utama warganya adalah petani dengan jumlah petani pemilik tanah sebesar 1.748 orang dan petani penggarap tanah sebanyak 846 orang. Pola sosial yang berkembang di wilayah Desa Selodoko adalah kehidupan masyarakat pedesaan. Dalam struktur ini, budaya dan nilai-nilai tradisi masih terjaga. Masyarakat di wilayah Desa Selodoko mempunyai sifat untuk bergotong royong dan kesetiakawanan yang tinggi. Aspek pemberdayaan masyarakat menjadi prioritas utama dalam pengembangan sosial budaya masyarakat. Proses pemberdayaan masyarakat yang utama adalah dengan cara mengembangkan dan mempertahankan setiap partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dan fokus kepada masalah pengentasan kemiskinan yang menjadi prioritas utama pembangunan masyarakat. 4.1.3 Gambaran Umum Desa Kaligentong Desa Kaligentong merupakan salah satu bagian dari satuan kerja wilayah Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali yang berbatasan dengan Kabupaten Semarang di sebelah Utara, Desa Urutsewu di sebelah Timur, Desa Gladagsari di sebelah Selatan, dan Desa Kembang di sebelah Barat. Dengan luas wialayah sebesar 350 Ha, kawasan Desa Kaligentong didominasi dengan tanah kering

15

berupa perkebunan (tegal) seluas 235 Ha dan bangunan seluas 111 Ha. Desa Kaligentong dihuni oleh 5.667 jiwa penduduk yang tersebar di 4 pedusunan dan 32 pedukuhan. Klasifikasi masyarakat Desa Kaligentong secara sosial budaya didominasi oleh masyarakat pedesaan sebesar 40% dengan jenis mata pencaharian terbesar warganya bekerja sebagai petani dan peternak. Hal ini dikarenakan potensi lahan pertanian yang besar dan potensi kekayaan sumber daya air sebagai penyedia utama air penunjang pertanian. Namun pemanfaatan potensi pertanian ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal karena kendala pengelolaan lahan pertanian yang masih menggunakan sistem tradisional. Selain dari segi pertanian dan peternakan, potensi ekonomi lainnya yang terdapat di desa Kaligentong adalah industri rumahan tempe dan makanan ringan Fokus permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Desa Kaligentong adalah masalah angka kemiskinan yang masih besar tercatat terdapat 338 keluarga miskin pada tahun 2009 , rendahnya tingkat pendapatan desa untuk pembiayaan penyelenggaraan dan pembangunan masyarakat, serta masih banyaknya warga usia produktif yang belum bekerja. Untuk itu prioritas pembangunan oleh Pemerintah Desa Kaligentong diarahkan pada penanggulangan kemiskinan, peningkatan 4.1.4 kesehatan masyarakat, pengembangan pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Gambaran Umum Desa Ngenden Desa Ngenden adalah salah satu bagian wilayah kerja dari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Wilayah Desa Ngenden berbatasan langsung dengan Desa Badran di sebelah utara, Desa Selodoko di sebelah selatan, Desa Candi di sebeblah barat, dan Desa Jetis di sebelah timur. Menurut penggunaannya, luas wilayah Desa Ngenden mayoritas digunkan sebagai lahan pertanian sawah seluas 93 Ha serta 24 Ha berbentuk lahan tegalan dengan luas pemanfaatan untuk bangunan sebesar 29.000 m2. Desa Ngenden terletak di dataran tinggi dengan luas bentang lahan dataran sebesar 182 Ha. Pencatatan terkahir jumlah penduduk Desa Ngenden tahun 2007 berjumlah 5.894 jiwa dan didominasi oleh kelompok usia produktif (14 – 49

16

tahun). Struktur mata pencaharian utama penduduk adalah subsektor pertanian ladang, dan 257 orang sebagai buruh tani. Selain itu juga didominasi dengan subsektor peternakan dengan jumlah pemilik ternak sebanyak 380 orang. Data desa menunjukkan jumlah pemilih lahan pertanian dan ladang banyak, tetapi struktur pemilikan tanah menunjukkan angka terbesar pemilik tanah mencatat sebanyak 200 orang memiliki tanah kurang dari 0,1 Ha. Kualitas angkatan kerja apabila dirinci menururt tingkat pendidikannya sebagian besar masyarakat Desa Ngenden adalah tamatan Sekolah Dasar dan SLTP. Data menunjukkan tingkat pendidikan warga masyarakat yang masih minim berakibat pada timbulnya masalah kesejahteraan dan tingginya angka kemiskinan. Hal ini membuat sektor kesejahteraan masyarakat dan program pengentasan kemiskinan menjadi prioritas utama program pembangunan Pemerintah Desa Ngenden. 4.1.5 Profil Narasumber Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian teahadap motivasi kerja perangkat desa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Alasan utama peneliti dalam memilih narasumber yang ada dalam penelitian ini adalah status kepegawaian narasumber. Narasumber yang dipilih adalah narasumber yang telah bekerja sebagai perangkat desa, tetapi belum memiliki status kepegawaian yang jelas. Narasumber dengan status kepegawaian yang tidak jelas ini harus menghadapi berbagai masalah yang sangat berpotensi menghambat pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada narasumber, khususnya masalah kesejahteraan.adapun nama-nama narasumber yang ada pada penelitian ini adalah:

17

Tabel 4.1 Data Narasumber Kode R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 Nama Nara Sumber Yohanes Suryadi Marjuki Suroso Sutarno Badrus, S.Ag Sunarno Jino Sardi Waluyo Jabatan Kaur. Pemerintahan Desa Selodoko Kaur. Kesra Desa Kaligentong Kaur. Pemerintahan Desa Candi Kaur. Umum Desa Ngenden Sekretaris Desa Candi Sekretaris Desa Selodoko Kaur. Pemerintahan Desa Ngenden Kepala Dusun Desa Kaligentong

Sumber: Data yang diolah

4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan Teori motivasi yang diungkapkan oleh McClelland disebutkan bahwa motivasi merupakan serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Nilainilai yang dianut oleh para pekerja ini merupakan variabel utama yang menentukan kinerja (Prianto, 2006). Nilai yang dianut dan dipercaya oleh seseorang akan melandasi semua tingkah laku seorang individu untuk sebisa mungkin dapat memenuhi harapan nilai tersebut. Yang dimaksud dengan nilai adalah keyakinan dasar yang dianut oleh seseorang yang menjadi pedoman dalam berperilaku. Nilai mencerminkan apa yang baik dan diinginkan (Mas’ud, 2010). Pada penelitian ini, ditemukan beberapa nilai yang diyakini dan dianut oleh para narasumber, yang menjadi dasar dalam bertindak. Hasil penelitian menunjukkan kesamaan nilai yang mendasari kerja para narasumber, yaitu tidak ada narasumber yang menempatkan nilai ekonomis sebagai prioritas utama nilai kerja, walaupun tidak dipungkiri narasumber mengakui bahwa pekerjaan dilakukan pasti memiliki unsur finansial atau ekonomi. Kesamaan kedua adalah nilai ibadah serta nilai pengabdian dan tanggung jawab kepada masyarakat merupakan jenis

18

nilai yang paling sering disebut oleh narasumber. Hasil jawaban dari seluruh narasumber menitikberatkan pada nilai melayani dan membantu orang lain, yang disini berkaitan dengan warga masyarakat desa setempat yang dilayani sehari-hari selama bertugas.Nilai-nilai yang dikemukakan narasumber didukung oleh prinsip hidup mayoritas narasumber yaitu adanya keinginan untuk dapat memberikan kontribusi kepada lingkungan disekitarnya. Risiko imbal jasa yang tidak menjanjikan juga telah disadari penuh oleh para pamong desa sebelum menggeluti pekerjaan ini. Para perangkat desa mengetahui bahwa pengabdian menjadi unsur utama dalam pekerjaan melayani masyarakat, bukan terus-menerus berfokus untuk mensejahterakan diri sendiri, melainkan untuk mensejahterakan orang lain. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh nilai budaya Jawa dalam kehidupan kerja narasumber, peneliti menanyakan kepada narasumber apakah nilai budaya membawa dampak ataupun menjadi dasar pertimbangan bagi narasumber untuk bertindak dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Hasil wawancara menyatakan bahwa, para narasumber tidak menerapkan nilainilai-nilai Jawa secara praktis dalam dunia kerja. Nilai dari budaya Jawa yang mayoritas melekat pada diri narasumber dalam melaksanakan pekerjaan adalah nilai dan norma dalam pergaulan sosial, kesantunan, unggah-ungguh di masyarakat, karena pamong desa sendiri memiliki lingkungan kerja yang mayoritas bersinggungan langsung dengan masyarakat. Hasil wawancara penelitian ini memperlihatkan bahwa pengaruh suku atau etnis khususnya nilai budaya Jawa tidak menjadi faktor utama yang berpengaruh dalam nilai yang melandasi kehidupan kerja narasumber, tetapi menjadi faktor penguat nilai lainnya. Narasumber menempatlkan nilai budaya Jawa sebagai instrumen dalam menjalani kehidupan kerja sehari-hari, pedoman bagaimana untuk bersikap, dan rujukan bagaimana untuk berinteraksi sosial dalam masyarakat. Walaupun dari pengakuan para narasumber tidak secara praktis menerapkan filosofi-filosofi jawa didalam kehidupan kerjanya, tetapi dari hasil observasi peneliti menunjukkan hal yang sebaliknya. Pengamatan peneliti menunjukkan bahwa secara spontan maupun tidak sadar sebenarnya para narasumber telah menerapkan budaya jawa

19

khususnya unsur kolektivisme yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan sosial. Nilai utama yang melandasi kehidupan kerja para narasumber adalah keinginan untuk membantu orang lain, keinginan agar pribadinya bermanfaat bagi warga masyarakat, dan nilai ibadah serta rasa syukur kepada Tuhan sebagai nilai yang menyertainya. Menurut Robbins (2001), sikap merupakan pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan tidak menguntungkan, mengenai objek, orang, atau peristiwa. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya dapat dilihat dari kepuasan kerja yang dirasakan, keterlibatan kerja, dan komitmen pada pekerjaan yang digeluti. Kepuasan kerja merujuk pada sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan yang dirasakan oleh seorang pekerja akan menimbulkan sikap positif pekerja terhadap pekerjaannya. Peneliti juga memberi fokus pada keterlibatan kerja para perangkat desa. Keterlibatan kerja melihat sejauh mana seseorang berperan aktif dalam pekerjaannya dan melihat kepedulian seseorang dalam pekerjaan yang mereka anggap penting bagi dirinya. Untuk mengetahui keterlibatan kerja para perangkat desa, peneliti ingin mengtahui apakah narasumber memiliki pekerjaan lain yang berpotensi mengganggu pekerjaan sebagai perangkat desa, baik itu berpotensi mengurangi konsentrasi kerja, mengurangi jam kerja, maupun menjadikan pekerjaan perangkat desa sebagai alternatif pekerjaan saja. Fokus kerja karyawan yang tidak berkonsentrasi penuh di satu jenis pekerjaan berpotensi menurunkan produktivitas dan semangat kerja. Menurut Nasution (2010), kesejahteraan karyawan akan sangat berpengaruh kepada semangat kerja karyawan yang nantinya dapat mempengaruhi kualitas kinerja karyawan. Hal yang sama dikemukakan oleh Armansyah (2002), yang menyatakan pembayaran yang cukup akan mendorong besarnya komitmen seseorang kepada orgaisasi, sehingga tidak memikirkan hal lain untuk memenuhi kebutuhan hidup serta tidak memiliki keinginan-keinginan untuk melakukan tindakan penyelewengan wewenang dan kekuasaan. Berdasarkan teori serta fakta bahwa sebagian besar narasumber memiliki pekerjaan sambilan, memberikan gambaran bahwa potensi rendahnya komitmen

20

perangkat desa terhadap pekerjaannya sangat mungkin terjadi. Peneliti menguji komitmen narasumber sebagai perangkat desa dengan menanyakan apakah narasumber memiliki keinginan untuk beralih profesi ke pekerjaan lainnnya yang lebih baik secara finansial atau penghasilan. Sebagian besar narasumber menyatakan tetap ingin melayani masyarakat dan setia dengan profesinya sebagai perangkat desa. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa para narasumber memiliki sikap kerja yang positif terhadap pekerjaannya. Hal ini ditunjukkan dengan kepuasan kerja yang telah dirasakan oleh sebagian besar narasumber. Munculnya ketidakpuasan juga lebih dikarenakan narasumber yang merasa masih kurang maksimal dalam mengerjakan tugas dan kewajibannya, dan imbalan jasa maupun sudah penghasilan tidak menjadi fokus tolak ukur kepuasan bagi para narasumber, melainkan kepuasan didapatkan ketika dapat melayani dan bekerja dengan warga masyarakat menjadi aspek yang dominan dalam mengukur kepuasan. Narasumber juga memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi, memiliki kepedulian terhadap pekerjaannya, dan mempunyai usaha lebih dalam usaha menyelesaikan tugas serta tanggung jawabnya. Apabila dilihat dari tingkat loyalitasnya, komitmen yang tinggi dibuktikan narasumber dengan tidak serta merta memiliki keinginan untuk pindah ke pekerjaan yang memiliki penghasilan yang lebih besar. Kalaupun ada keinginan untuk pindah, berbagai faktor menjadi pertimbangan sebelum memutuskan untuk pindah, dan faktor utamanya adalah pekerjaan yang baru harus tetap memiliki unsur pelayanan kepada masyarakat serta sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Hasil observasi pada narasumber, keadaan dimana penghasilan yang jauh dari nominal ideal yang diterima sebagai perangkat desa sudah identik dengan profesi ini. Narasumber seakan sudah terbiasa dengan kondisi ini, dan sudah mempertimbangkan risiko ekonomi yang harus dirasakan karena keterbatasan penghasilan sebelum bekerja sebagai perangkat desa. Khusus perangkat desa di Boyolali, kondisi kesejahteraan perangkat desa sudah mulai membaik pada tahun 2007 dengan keluarnya Peraturan Daerah (Perda) No.14 tahun 2006 tentang kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa yang memuat bahwa

21

Pemerintah Kabupaten Boyolali memberikan gaji kepada perangkat desa sebesar Upah Minimum Kabupaten (UMK) senilai Rp 805.000,- per bulan. Kondisi ini dinilai sudah jauh membaik apabila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya yang harus ditanggung perangkat desa yang hanya mengandalakan tanah bengkok yang diberikan untuk dikelola dan dijadikan penghasilan. Motivasi diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan (Triatmanto dan Sunardi, 2001). Motivasi ini akan mengarahkan tindakan dan perilaku seseorang dalam usaha pencapaian tujuannya. Sumber semangat yang lebih dari materi mutlak diperlukan apabila menilik dari perbandingan beban tugas yang harus dipikul oleh para perangkat desa dengan minimnya penghasilan yang didapat. Pergagkat desa dikenal dengan pekerjaan yang mempunyai jam kerja selama 24 jam, karena tempat pelayanan yang tidak dibatasi oleh tempat seperti kantor. Warga masyarakat dapat dengan leluasa meminta pertolongan dari perangkat desa walaupun sang pamong sudah tidak pada jam kerjanya dan tidak berada pada tempat kerjanya. Hasil penelitian juga menunjukkan sikap kerja yang positif dari narasumber terhadap pekerjaannya. Hal ini disimpulkan dari tingkat kepuasan kerja yang telah dirasakan narasumber, melalui kebahagiaan dari kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat. Keterlibatan kerja memiliki nilai positif karena narasumber memiliki fokus kerja pad tugas dan tanggung jawabnya. Narasumber juga memiliki loyalitas yang tinggi kepada pekerjaan, karena dari hasil penelitian, menunjukkan potensi tingkat turn over (perpindahan kerja) yang relatif sangat kecil. Miskinnya pembinaan serta pelatihan dan pengebanganmenyebabkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan perangkat desa sangat terbatas. Bagi mereka yang tidak memiliki inisiatif untuk terus belajar secara mandiri, akan terus mengalami ketertinggalan pengetahuan. Padahal faktor pengetahuan dan pemahaman akan job proccedure sangat mempengaruhi keberhasilan dari kinerja (Kosasoh dan Budiani, 2007). Hal ini menyebabkan pelayanan yang dapat

22

dilakukan oleh perangkat desa sebagai ujung tombak upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi sangat terbatas. Melihat keadaan di lapangan, peneliti menilai bahwa kemampuan perangkat desa yang ada masih belum mampu menunjang kinerja dan tugas perangkat desa secara maksimal, karena keterbatasan tingkat pendidikan serta tidak adanya peran aktif pemerintah untuk memberikan program pelatihan dan pengembangan secara terprogram dan berkesinambungan. Perangkat desa masih mengandalkan kemampuan pengelolaan administratif secara sederhana dan mengedepankan kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat dalam berbagai forum pertemuan tanpa dukungan aktif inovasi dan kreativitas kerja.Upaya peningkatan kemampuan mengandalkan niat dan keinginan serta upaya pribadi dari para perangkat desa yang memiliki kesadaran akan pentingnya mendapatkan perkembangan informasi dan pengetahuan. Seluruh narasumber sebenarnya menyadari akan arti penting peran intelktualitas dalam kehidupan kerja mereka, tetapi berbagai keadaan menghadang para perangkat desa untuk mendapatkan jenjang pendidikan yang lebih baik. Pamong desa muda terkendala biaya, sedangkan pamong desa lainnya terkendala usia. Sudah sepantasnya pemerintah memberikan fokus khusus pada faktor pengembangan perangkat desa apabila masyarakat desa sebagai bentuk mayoritas penduduk dapat terangkat kesejahteraannya dan dapat dilayani dengan sebaik-baiknya. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan tingkat kemampuan yang dimiliki narasumber masih rendah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan akhir para perangkat desa mayoritas adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dan minim mengikuti program pelatihan dan pengembangan. Usaha peningkatan kemampuan lebih diarahkan kepada pendidikan non-formal oleh pribadi narasumber, misalnya dengan membaca, aktif di kegiatan organisasi sosial, maupun dengan mengikuti berbagai pelatihan. Hasil penelitian menunjukkan narasumber dengan masa kerja diatas 10 tahun memiliki tingkat motivasi yang lebih rendah untuk meningkatkan kemampuannya dibandingkan narasumber yang memiliki masa kerja dibawah 10 tahun.

23

Hasil pengamatan peneliti, motivasi dan tindakan narasumber yang secara aktif melakukan usaha peningkatan kemampuan dilatarbelakangi oleh masa kerja narasumber. Para narasumber dengan masa kerja kurang dari 10 tahun relatif memiliki usaha yang lebih untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka. Berbanding terbalik, narasumber dengan masa kerja lebih dari 10 tahun memiliki kecenderungan untuk menerima apa adanya kemampuan yang telah dimiliki, dan seperti telah berada di comfort zone dalam bekerja. Tidak ada kegairahan atau semangat untuk secara aktif meningkatkan kemampuan karena merasa kemampuan yang ada selama ini telah dapat menjalankan tugas dengan baik. Pentingnya tercipta kesejahteraan ditengah masyarakat yang dirasakan semua narasumber membuat para narasumber bertahan dengan kondisi yang ada walaupun semua narasumber berpendapat sama tentang kondisi kerja saat ini yang belum menunjang pekerjaan mereka untuk melayani warga masyarakat. Tetapi semua kondisi kekurangan ini tidak menyurutkan semangat semua narasumber karena mereka dapat menerima berbagai kekurangan yang ada. Kesimpulan dari penelitian ini menempatkan motivasi prososial sebagai motif utama yang melandasi semangat kerja para perangkat desa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Motif prososial ini dalam kerangka keinginan para narasumber untuk dapat berkontribusi dalam usaha pembangunan masyarakat, pengabdian terhadap warganya, sikap rela berkorban yang ditunjukkan, dan tidak menempatkan faktor finansial sebagai ukuran kepuasan dan keberhasilan dalam kerja, walaupun tidak dipungkiri niat untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan penghasilan selalu ada dalam diri narasumber.ini, tetapi bukan merupakan motif tunggal. Narasumber memiliki motivasi kerja yang tinggi diindikasikan dari rasa senang, puas, dan ketulusan yang dirasakan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.

24

5. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis hasil yang dilakukan dalam penelitian ini, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Nilai utama yang melandasi kehidupan kerja para narasumber adalah keinginan untuk membantu orang lain, keinginan agar pribadinya bermanfaat bagi warga masyarakat, dan nilai ibadah serta rasa syukur kepada Tuhan sebagai nilai yang menyertainya. Motif sosial adalah motif yang sangat kuat melandasi kehidupan kerja Perangkat Desa. Nilai sosial berupa rela berkorban dan menerima dengan ikhlas keadaan yang serba kekuarangan untuk dapat membantu orang lain. Nilai budaya Jawa ditempatkan sebagai instrumen dalam menjalani kehidupan kerja seharihari, pedoman bagaimana bersikap dan berinteraksi sosial dalam masyarakat. Pengaruh suku atau etnis khususnya nilai budaya Jawa tidak menjadi faktor utama yang berpengaruh dalam nilai yang melandasi kehidupan kerja Perangkat Desa, tetapi menjadi faktor penguat nilai lainnya. 2. Perangkat Desa memiliki sikap kerja yang positif terhadap pekerjaannya. Hal ini ditunjukkan dengan kepuasan kerja yang telah dirasakan. Keadaan ketika dapat melayani dan bekerja dengan warga masyarakat menjadi aspek yang dominan dalam mengukur kepuasan. Imbalan jasa maupun sudah penghasilan tidak menjadi fokus tolak ukur kepuasan. Perangkat desa memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi, memiliki kepedulian terhadap pekerjaannya, dan rasa loyalitas terhadap pekerjaan dibuktikan dengan tidak serta merta memiliki keinginan untuk pindah ke pekerjaan yang memiliki penghasilan yang lebih besar. 3. Kemampuan perangkat desa belum mampu menunjang kinerja, dikarenakan keterbatasan tingkat pendidikan serta tidak adanya peran aktif pemerintah untuk memberikan program pelatihan dan pengembangan secara terprogram dan berkesinambungan. Hal ini mengakibatkan terbatasnya kualitas kerja dan program pelayanan kepada masyarakat,

25

tetapi tidak serta merta berpengaruh secara langsung dalam menurunkan semangat melayani dari perangkat desa. 4. Motivasi sosial menjadi motif yang paling kuat bagi perangkat desa dalam menjalankan tugasnnya. Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh, maka diajukan beberapa saran yang dapat berguna bagi pihak-pihak terkait: 1. Pemerintah sebagai penanggung jawab utama pembangunan harus mempunyai program terpadu usaha peningkatan kualitas, pelatihan dan pengembangan perangkat desa yang dilakukan secara berkesinambungan, mulai dari perekrutan, pengembangan soft skill dan hard skill, serta ditunjang dengan fasilitas dan peralatan pembinaan masyarakat yang memadai. Apabila diperlukan, pemerintah dapat memberlakukan sistem jenjang karier pada perangkat desa dan pengawasan prestasi kerja secara berkala guna bahan evasluasi. 2. Diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan dan kesejahteraan aparatur perangkat desa, karena selama ini tidak ada peraturan khusus yang mengatur dan menerangkan kedudukan perangkat desa dengan jelas. 3. Secara aktif melibatkan pihak ketiga dalam upaya peningkatan dan pembangunan masyarakat desa dan perangkat desa.

26

DAFTAR PUSTAKA Baron, Robert. A. 2006. “Prosocial Behaviour”. http://smile.solent.ac.uk, diakses tanggal 18 Agustus 2011. Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Francois. Patrick. 2002. “Not for Profit Provision of Public Services”, Paper at Royal Economic Society Conference 2002, University of Warwick. Diakses tanggal 24 Juli 2011, dari CMPO Working Paper Series. Francois, Patrick dan Michael Vlassopoulos. 2007. “Pro-social Motivation and the Delivery of Social Services”, Paper presented at CESifo Area Conference on Employment and Social Protection (ESP). Diakses tanggal 23 Juli 2011 dari http://www.tru.ac. Gibson, James. L. 1984. Organisasi dan Manajemen Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Harefa, Andrias. 2007. “Aku Bekerja, Maka Aku Ada”. http://www.pembelajar.com, diakses tanggal 20 Juli 2011. Hasibuan, Melayu SP. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Justicia, Adhi Sas. 2001.”Faktor-Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Karyawan (Divisi Produksi PT. Kutai Timber Indonesia, Probolinggo, Jawa Timur)”. Diakses tanggal http://www.eprints.ipb.ac.id. Kosasih, Natalia dan Sri Budiani. 2007. “Pegaruh Knowladge Management Terhadap Kinerja Karyawan”, Jurnal Manajemen Perhotelan Vol. 3, No. 2 September . Diakses tanggal 22 Juli 20011, dari http://www.petra.ac.id. Luthans, Fred. 2009. Perilaku Organisasi Edisi Bahasa Indonesia. Ed.1. Yogyakarta:ANDI. Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ed. Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya. 23 Juli 2011, dari

27

Muflich, Ayip. 2007.”Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa”. Diakses tanggal Juli 2011, dari http://www.forumdesa/org/. Pengurus Pusat Persatuan Perangkat Desa Indonesia. 2010. Perspektif Perangkat Desa Dalam Sistem Pemerintahan Desa. Diakses tanggal 28 Juli 2011, dari http://www.ppdi.org.id. Prandergast, Canice. 2008. “Work Incentives, Motivation, and Diakses tanggal 24 Juli 2011, dari http://www.aeroweb.org. Prianto, Agus. 2008.”Berbagai Variabel Antesenden yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai”. Jurnal Eksekutif, Vol. 5, No. 2, Agustus. Ratnawati, Intan. 2004.”Upaya Pemberdayaan Karyawan: Suatu Pendekatan Untuk Menumbuhkan Motivasi Kerja Intrinsik”. Jurnal Studi Manajemen dan Organisasi, Vol. 1, No. 1, Januari. Rizkian. 2011.”Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Motivasi dan Perilaku”. http://www.rizkian.blogspot.com, diakses tanggal 2 Agustus 2011. Robbins, Stephen. P. 2001. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi versi Bahasa Indonesia Ed.10. Jakarta: Prenhalindo Sartini, Ni Wayan. 2009.” Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan”, Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra LOGAT Vol. V, No. 1 April. Sofyandi, Herman dan Iwa Garniwa. 2007. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu Subyantoro, Arief. 2009.”Karakteristik Individu, Karakteristik Pekerjaan, Karakteristik Organisasi dan Kepuasan Kerja Pengurus yang Dimediasi oleh Motivasi Kerja (Studi Pengurus KUD di Kabupaten Sleman)”. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 11, No. 1. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suhartapa. 2008.”Motivasi Psikologis dan Penerapannya Terhadap Peningkatan Prestasi Kerja”. Jurnal Ekonomi Janavisi, Vol. 11, No. 1, April. Susetio, Wasih. 2007. “Konsep Walfare State dalam Amandemen UUD 1045: Implementasinya dalam Peraturan Perundang-Undangan (Beberapa Tinjauan dari Putusan MKRI)”, Jurnal Lex Jurnalica Vol. 4 No. 2. Identity”, American Economic Review: Papers & Procedings, Vol. 98 No. 2.

28

Tampubolon, Manahan. P. 2008. Perilaku Organisasi. Ed.2. Bogor:Ghalia Indonesia. Triatmanto, Boge dan Sunardi. 2001.”Analisis Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Karyawan Pada Hotel Berbintang di Kabupaten dan Kodya Malang”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. VII, No. 2, Semptember.

Similar Documents