Free Essay

Pemaparan Dan Analisa Kebijakan Fiskal Periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono

In:

Submitted By wafifannani
Words 2076
Pages 9
PEMAPARAN DAN ANALISA KEBIJAKAN FISKAL PERIODE PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Disusun sebagai Makalah Akhir Mata Kuliah Perekonomian Indonesia

OLEH:
AHMAD MUFTI FANNANI
NPM: 1006689750
UNIVERSITAS INDONESIA
DESEMBER 2012
Gambaran Tujuan Kebijakan dan Peranan Fiskal
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2009
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara. Untuk anggaran belanja Negara sendiri terdiri dari : 1. Penerimaan atas pajak 2. Pengeluaran pemerintah (government expenditure) 3. Transfer pemerintah, yang contohnya seperti pemberian beasiswa atau bantuan-bantuan, yang balas jasanya tidak secara langsung diterima oleh pemerintah.
Faktor utama dari kebijakan fiskal sendiri adalah pajak dan pengeluaran pemerintah. Yang jika tingkat dan komposisi dari kedua factor ini berubah akan mempengaruhi variabel-variabel seperti : * Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi * Pola persebaran sumber daya * Distribusi pendapatan
Di Indonesia, selain tax cut (kesinambungan beban pajak) dan spending increase (kenaikan belanja pemerintah), ada lagi bentuk- bentuk lain dari kebijakan fiskal. Salah satu contohnya adalah BLT (bantuan langsung tunai), tidak sesederhana seperti yang terlihat, sebetulnya penggunaan metode BLT itu memiliki tujuan tersendiri dari pemerintah. Tentu saja tujuan akhirnya adalah untuk memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia dan juga mensejahterakan rakyatnya. Dari BLT ini sesungguhnya pemerintah berharap dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang lalu akan berdampak pada peningkatan daya beli dan maka permintaan akan meningkat, yang akhirnya tercapailah tujuan utamanya yaitu memperbaiki perekonomian Indonesia. Tapi pada kenyataannya memang tidak semulus itu hasil yang di dapat di lapangan. Memang ada hal-hal yang luput dari perhatian pemerintah seperti pendistribusiannya, dan bagaimana cara itu akan sangat rentan oleh kasus korupsi yang tak dapat dipungkiri memang sedang marak di Negara kita ini. Selain itu juga mental masyarakatnya yang sesungguhnya adalah akar awal yang perlu dibenahi. Mendapat uang 100-200 ribu rupiah itu memang cukup membantu, tapi takkan lama dan takkan begitu berkembang.
Contoh lainnya juga bisa proyek-proyek yang diadakan pemerintah. Misalnya, proyek pembangunan infrastruktur. Dalam proyek ini pasti dibutuhkan buruh dan pekerja lain untuk menyelesaikannya. Jadi proyek ini menyerap SDM sebagai tenaga kerja. Maka pendapatan masyarakat juga bertambah.Metode seperti ini terlihat lebih baik, meskipun jika proyek tersebut memang hanya untuk jangka waktu tertentu saja.
Selain itu kostumisasi APBN oleh pemerintah dengan contoh deficit financing, yaitu anggaran dengan menetapkan pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Ketika era Bung Karno, metode ini pernah dilakukan dengan cara banyak meminjam uang kepada bank Indonesia hingga terjadi hiperinflasi. Setelah itu untuk menutup anggaran yang defisit dipinjamlah uang rakyat, namun sayangnya tidak cukup. Sehingga hutang luar negeri pun harus ditempuh. Maka cara ini dinilai tidak efektif. Tapi itu di Indonesia, karena Amerika pernah mengaplikasikan cara ini pada proyek Tenesse Valley nya berhasil. Meskipun pengeluaran pemerintah bertambah, tapi pendapatan masyarakat juga naik, sehingga yang terjadi adalah pendorongan kegiatan ekonomi menjadi lebih bergairah.
Masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan per kapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan yang terjadi.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. (sumber: Badan Pusat Statistik)
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negeri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Namun, selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada jalur yang benar. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro-growth (dan kemudian ditambahkan dengan pro-environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya, hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini tentu imbas dari strategi SBY yang pro-growth yang mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sektor riil yang tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Melalui langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara US$ 14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS 4,0-4,5 triliun.

Gambaran Tujuan Kebijakan dan Peranan Fiskal
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014
Secara singkat, kebijakan fiskal adalah kebijakan yang menyangkut perencanaan anggaran pendapatan dan pengeluaran pemerintah sebagai alat dalam mengontrol dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Adapun bagian-bagian dari perencanaan anggaran tersebut secara garis besar adalah pengeluaran, penerimaan, dan hutang Negara. Dalam hal ini, penerimaan datang dari domestik dan juga dari investasi asing.
Pada pemerintahan Megawati, yang menjadi pakem dalam menetapkan kebijakan fiskal adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi; menghasilkan perencanaan dan kebijakan fiskal yang lebih ‘berhati-hati’. Pada masa pemerintahannya, SBY mengusung rencana yang berbeda. Pemerintahan SBY melihat fiskal sebagai potential stimulus pada pertumbuhan ekonomi. Lewat Saldo Akhir Lebih (SAL) dari anggaran, sisi fiskal dapat menjadi penggerak sektor riil, mendongkrak PDB, dan kemudian menekan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Untuk mengkaji lebih lanjut tentang tujuan dan haluan peran fiskal dalam pemerintah SBY periode 2010-2014, akan digunakan tiga dokumen perencanaan: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 dan RAPBN 2013, dengan sedikit merujuk ke tujuan pemerintahan lainnya.
Pada RPJMN 2010-2014, ditekankan poin konsolidasi fiskal sebagai pendorong perekonomian. Konsolidasi ini dicapai dengan perbaikan struktur pendapatan Negara, pengendalian resiko fiskal dengan mengontrol penanganan defisit Negara (berkaitan dengan utang Negara), dan efektivitas pengeluaran dan alokasi belanja pemerintah. Konsolidasi ini diharapkan dapat menurunkan resiko perekonomian dan kemudian menjadi motor investasi dalam perekonomian. Investasi yang bertambah kemudian diharapkan akan menambah SAL dalam penerimaan pemerintah yang kemudian dapat difungsikan untuk menjadi stimulus perekonomian (lewat belanja infrastruktur dan lain sebagainya). Peran stimulus fiskal ini juga ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, menurunkan tingkat PHK dengan meningkatkan subsidi listrik, pajak, dan lain-lain.
Poin lain dalam RPJMN 2010-2014 adalah desentralisi fiskal; kepentingan desentralisasi alokasi anggaran ke daerah-daerah. Pemerintah mentargetkan alokasi yang adil, dan tersinkronisasi antara perencanaan perekonomian nasional dan daerah. Pemerintah juga bertujuan untuk meningkatkan daya saing daerah, disamping memperbaiki infrastruktur daerah. Poin ketahanan fiskal yang inklusif dan kontinu.
Salah satu movement penting dalam perombakan perencanaan fiskal dalam periode kepemimpinan SBY adalah diluncurkannya RAPBN 2013. Dalam pidato pengantar RAPBN 2013, presiden SBY kembali menyampaikan tujuannya untuk mewujudkan stimulus fiskal.
Presiden SBY menyampaikan, dengan respon terhadap kondisi stabilitas ekonomi dunia yang tidak stabil, dan dengan asumsi berikut: Pertumbuhan ekonomi 6,8 persen, Laju inflasi 4,9 persen, Suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 5 persen, Nilai tukar rupiah adalah Rp 9.300 per dolar AS, Harga minyak US$ 100 per barel, Lifting minyak 900 ribu barel per hari; pemerintah memasang tujuan “Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan Melalui Upaya Penyehatan Fiskal”.
Adapun strategi utama yang digunakan adalah dengan mengendalikan defisit anggaran pada tingkat aman dan menurunkan rasio utang per PDB dalam tingkat yang managable. Hal ini terkait kuat dengan upaya mempertahankan ketahanan ekonomi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan sumber pendapatan secara optimal, melaksanakan disiplin anggara, menciptakan kebijakan pemerintah yang prudent, dan APBN sebagai stimulus pembangunan.
Perencanaan yang dikemukakan dalam RAPBN 2013 memang terdengar sangat ideal. Apalagi didampingi dengan fakta bahwa perekonomian Indonesia memang berkinerja baik dan tetap berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi positif dalam kemelut instabilitas ekonomi global. Adapun kritisasi yang disampaikan salah satunya dari Armida S. Alisjahbana (Ketua BAPPENAS) yang menyampaikan bahwa tanpa peningkatan keuntungan ekspor, akan sulit bagi Indonesia untuk mencapai rate pertumbuhan ekonomi yang ditujukan. Hal ini sesuai dengan pengakuan SBY bahwa memang pertumbuhan ekspor Indonesia cenderung menurun. Kritisasi ini mengangkat bagaimana stimulus fiskal dari dalam negri (APBN) belum tentu cukup untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi nasional.
Analisis Komparasi Kebijakan Fiskal
Dua Periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Menilik dari sajian data dan analisa di atas berdasarkan dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009 dan 2009-2014), dapat disimpulkan secara sederhana bahwa tak banyak perubahan kebijakan fiskal yang dilakukan oleh Presiden kita. Seperti telah dijelaskan di atas, pada era pertama SBY menjabat Presiden Republik Indonesia, beliau langsung melakukan gebrakan kebijakan ekonomi yang berbeda dibanding pendahulunya, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Didukung oleh menteri-menterinya yang kompeten dan berkualitas, kebijakan pemerintah telah mulai menunjukkan hasil yang cukup memuaskan.
Memang pada periode presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, perekonomian Indonesia memang masih berada pada periode transisi setelah dihantam krisis moneter yang cukup parah pada 1998. Sehingga patut dimaklumi jika pada masa itu kebijakan fiskal pemerintah RI lebih berorientasi pada stabilitas dan ketahanan ekonomi negara. Ketika SBY menjabat sejak tahun 2004, dapat dikatakan kondisi perekonomian kita telah cukup pulih dan siap untuk melangkah ke tahap berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa SBY berada di tempat dan waktu yang tepat, ditambah ia dapat memaksimalkan kesempatan tersebut untuk membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik.
Terlepas dari kondisi negara di luar ekonomi (politik, sosial, keamanan, budaya) yang cukup memprihatinkan, kinerja pemerintahan SBY baik di periode pertama maupun kedua patut diacungi jempol. Meskipun masih patut dipertanyakan kesenjangan kesejahteraan antara satu keluarga di Indonesia dengan keluarga lainnya. Terlepas juga dari kebijakan kontroversial dan tidak populer mengenai kenaikan harga BBM yang cukup signifikan selama masa pemerintahannya, namun tindakan tersebut patut dimaklumi untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dari kondisi yang lebih buruk. Karena jika kebijakan kenaikan BBM tersebut tidak dilakukan, niscaya kas negara bisa bangkrut untuk mensubsidi BBM yang memang mahal dikarenakan kenaikan harga minyak dunia serta ketidakstabilan perekonomian negara-negara maju dunia yang terjadi pada tahun 2008.
Kebijakan-kebijakan seperti MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Perkembangan Ekonomi Indonesia) dan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang berorientasi pada rakyat dan percepatan pembangunan daerah tertinggal patut diapresiasi oleh kita semua. Kebijakan pemerintah tak lagi selalu berpusat pada pusat-pusat ekonomi nasional di kota-kota besar (Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya) namun sudah mulai menyentuh akar rumput di pelosok-pelosok Indonesia. Namun hal yang sekali lagi perlu diperhatikan adalah pemerataan kesejahteraan antara keluarga satu dengan keluarga lainnya.
Akhir kata, tidak terdapat terlalu banyak perbedaan kebijakan fiskal pada periode pertama dan kedua SBY menjabat. Sejauh ini semua telah mengarah ke jalur yang benar dan yang perlu kita lakukan adalah terus mengawal pemerintah dalam menjalankan programnya serta mengawasi penyimpangan-penyimpangan yang masih terjadi. Semoga kedepannya Tuhan memberkati kita semua dan rakyat Indonesia.

Daftar Pustaka 1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 - 2014, http://www.deptan.go.id/pug/admin/satlak/perpres2010_5.pd 2. BAPPENAS: Tanpa Perbaikan Ekspor Pertumbuhan Ekonomi Sulit Tembus 7%, Http://Www.Bisnis.Com/Articles/Bappenas-Tanpa-Perbaikan-Ekspor-Pertumbuhan-Ekonomi-Sulit-Tembus-7-Percent 3. Pidato Presiden Pada Penyampaian RAPBN 2013 Tanggal 16 Agustus 2012, http://setkab.go.id/berita-5391-pidato-presiden-tanggal-16-agustus-2012.html

Similar Documents