Free Essay

Pertemuan Rutin Di Luar Kelas Sebagai Penawar Kegalauan Siswa Baru Program Bipa

In:

Submitted By vidi
Words 3023
Pages 13
Pertemuan Rutin di Luar Kelas Sebagai Penawar Kegalauan Siswa Baru Program BIPA
Vidi Sukmayadi
Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia
Vidi_owen@yahoo.com

Saripati
Bagi siswa BIPA yang datang dan belajar di Indonesia untuk pertama kalinya, gegar budaya, rasa frustasi dan kegalauan hati adalah hal yang wajar sebagai suatu proses transisi. Para siswa harus menghadapi tak hanya tantangan akademis, namun juga tantangan untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang benar-benar baru. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengadakan pertemuan khusus secara rutin yang mampu mengakomodasi rasa galau siswa yang diakibatkan oleh berbagai hal bersifat non-akademis selama berada di Indonesia. Selain itu pertemuan tersebut juga harus menyoroti perkembangan dan proses belajar mengajar yang tengah berlangsung. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis melakukan studi kasus pada siswa-siswa BIPA yang baru pertama kali datang ke Indonesia dan belum memiliki keterampilan berbahasa Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mengetahui opini para siswa BIPA mengenai dampak pertemuan rutin tersebut terhadap kemajuan belajar mereka. Tujuan berikutnya adalah untuk melihat kemajuan akademis siswa BIPA pascapertemuan tersebut yang didasari dari opini siswa dan nilai akademis pada tengah dan akhir semester. Hasil studi ini menunjukkan bahwa para siswa merasa bahwa pertemuan rutin tersebut bermanfaat bagi proses belajar, pengalaman bahasa, dan adaptasi budaya mereka.

Kata kunci: siswa BIPA,siswa baru, gegar budaya, opini siswa, luar kelas

I. Pendahuluan Siswa BIPA baru adalah berkah. Acapkali penulis bercakap dengan rekan penggiat BIPA yang menyampaikan segala keluh kesah dan masalah dengan pengajaran BIPA level dasar pada siswa baru. kegelisahan kerap melanda dan seringkali muncul ucapan " yang sabar ya", " siap-siap berjuang" ataupun ujaran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan muncul manakala harus berhadapan dengan siswa baru BIPA dengan keterampilan bahasa Indonesia yang biasanya masih sangat terbatas. Namun bagi penulis, menghadapi siswa baru BIPA adalah suatu kesempatan dan kehormatan. Siswa Baru BIPA yang baru pertama kali menjejakkan kakinya di bumi pertiwi ini memiliki keunikkan tersendiri. walaupun mereka berpengalaman sebagai pembelajar di pendidikan tinggi negara masing-masing, siswa baru program BIPA umumnya belum memahami sepenuhnya budaya Indonesia dan sangat rawan terkena gegar budaya. senada dengan hal tersebut Kaufka (2010) menyatakan bahwa pembelajar dewasa yang baru pertama kali menginjakkan kakinya dalam lingkungan hidup dan belajar yang berbeda dipastikan akan melewati fase "ternganga" pada tahun pertamanya. untuk itu para siswa baru sering merasa resah dan terkadang menghadapi kesulitan beradaptasi yang pada ujungnya dapat mempengaruhi proses belajar mereka. masalah dari studi ini adalah telaah metode untuk meringankan kegalauan siswa BIPA yang baru pertama kali belajar di Indonesia melalui peningkatan hubungan interaksi antara siswa dan pihak pengelola program dan instruktur BIPA. proses pelaksanaan metode tersebut itulah yang akan ditelaah dalam studi ini. Sebagai instruktur yang menangani siswa BIPA yang baru datang, kita dapat membantu membimbing mereka dalam beradaptasi, karena para siswa tersebut masih merasa asing dengan lingkungan sekitarnya (terutama siswa dari kawasan benua yang berbeda).Instruktur tersebut akan mampu menyaksikan transformasi penguasaan bahasa Indonesia serta sikap mereka terhadap budaya di Indonesia. Namun di saat yang sama kita juga harus tetap waspada, bukan berarti siswa baru akan terjamin transformasi bahasanya. Siswa yang baru pertama kali belajar di negara asing memiliki hambatan akademik dan non-akademik yang harus mereka hadapi di enam bulan pertama (Kaufka, 2010)

PENDEKATAN Studi ini adalah hasil pengalaman langsung di lapangan selama menjadi pengelola program BIPA. Sebagai kerangka konseptual, penulis menggunakan pendekatan studi kasus dalam payung paradigma kualitatif untuk mengkaji proses belajar dan penerimaan siswa terhadap program BIPA yang didapat. Analisisnya bersifat Idiografik bukan nomotetik. Sehingga hasil studi ini tidaklah untuk dikuantifikasikan dan tidak akan digeneralisasikan kepada seluruh siswa baru BIPA yang ada di Indonesia. Penelitian studi kasus atau penelitian lapangan (field study) dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya (given). Subjek penelitian dapat berupa individu, kelompok, institusi atau masyarakat. Penelitian case study merupakan studi mendalam mengenai unit sosial tertentu dan hasil penelitian tersebut memberikan gambaran luas serta mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subjek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya (Danim, 2002 ). Pengertian yang lain, studi kasus bisa berarti metode atau strategi dalam penelitian, bisa juga berarti hasil dari suatu penelitian sebuah kasus tertentu.Dalam konteks tulisan ini, penulis lebih memfokuskan pada pengertian yang pertama yaitu sebagai metode penelitian. Studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi pihak luar. Pada intinya studi ini berusaha untuk menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan, mengapa keputusan itu diambil, bagaimana diterapkan dan apakah hasilnya. (Salim, 2001).
Dengan kata lain, penulis memfokuskan kajiannya pada kasus yang terjadi pada pengalaman belajar siswa BIPA tahun pertama serta pengelolaan program BIPA terkait yang ada di institusi penulis. Subjek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya.

METODE DAN PROSEDUR STUDI
Studi kasus ini dilakukan pada tahun ajaran BIPA 2011 -2012 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan yang mengadakan program BIPA dengan UPI International Scholarship (ISA). ISA adalah program beasiswa yang ditawarkan kepada pemelajar asing yang berkeinginan mengenal bahasa dan budaya Indonesia. Siswa asing kemudian ditempa selama enam bulan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Program ini digalang untuk mempromosikan dan meningkatkan ketertarikan pada bahasa dan budaya Indonesia di antara generasi muda negara lain selain itu, program tersebut adalah salah satu bentuk dan upaya UPI dalam mewujudkan visinya menjadi a world class university. secara garis besar, program ISA dilaksanakan selama enam bulan mereka akan mengikuti pelatihan bahasa Indonesia pada level Dasar 1,2 dan 3. masing-masing level memiliki ujian kelulusan guna mengukur kelayakan siswa untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih lanjut.
Pada tahun ajaran tersebut, terdapat 19 siswa dari tujuh negara. Adapun semua siswa program ISA diberikan nama panggilan dengan nama yang sudah umum di Indonesia guna memudahkan pengajar dan siswa untuk saling menyapa dan mengenal, adapun nama yang diberikan tentunya atas persetujuan siswa bersangkutan, nama panggilan Indonesia beserta asal negara mereka NO | NAMA INDONESIA | ASAL | No. Reg | 1 | Hasim | Bosnia | 11033 | 2 | Inna | Bulgaria | 11034 | 3 | Cinta | China | 11035 | 4 | Yuda | China | 11036 | 5 | Hani | China | 11037 | 6 | Ika | China | 11038 | 7 | Desi | China | 11039 | 8 | Rahim | Iran | 11040 | 9 | Kartini | Jepang | 11041 | 10 | Rina | Jepang | 11042 | 11 | Yeni | Korea | 11043 | 12 | Arafat | Thailand | 11044 | 13 | Hanif | Thailand | 11045 | 14 | Saleh | Thailand | 11046 | 15 | Lilis | China | 11047 | 16 | Rio | Jepang | 11048 | 17 | Chandra | China | 11076 | 18 | Bagus | China | 11077 | 19 | Jelita | China | 11078 |
Tabel 1. data siswa program ISA 2011-2012, sumber: basis data Balai Bahasa UPI 2012
Sebagai bagian dari kurikulum untuk program tersebut. Penulis merancang tiga kali pertemuan di luar kelas untuk bertatap muka dan saling berbagi informasi dan opini yang berkaitan dengan proses belajar siswa ISA. Pertemuan pertama dilakukan di awal perkuliahan, pertemuan kedua dilakuan ditengah semester dan yang terakhir dilaksanakan sebelum ujian akhir dan presentasi karya tulis para siswa. Guna mengetahui opini siswa terhadap pertemuan rutin tersebut serta mengetahui bagaimana pertemuan tersebut dapat membantu proses belajar mereka, penulis melakukan wawancara tak terstruktur (terbuka) dalam bentuk percakapan informal dan sebagai data sekunder, penulis juga memberikan questioner kepada semua siswa.

PELAKSANAAN

A. Pertemuan Pertama
Pelaksanaan pertemuan pertama cukup sederhana. Pertemuan ini dapat dikatakan sebagai pertemuan “tak kenal maka tak sayang”, isi pertemuan lebih menekankan pada isu-isu non akademis yang berkaitan dengan kepribadian, motivasi dan proses adaptasi mereka. Pertemuan ini dilaksanakan di luar kelas (di kantor penulis atau di ruang tengah sekolah bahasa) dengan suasana yang santai diselingi minum teh dan kopi bersama. Penulis melaksanakan pertemuan ini secara empat mata atau dapat juga dilaksanakan secara berkelompok yang dibagi berdasarkan negara asal siswa BIPA. Tujuan utama dari pertemuan pertama ini adalah: 1. Membangun ikatan hubungan dan kepercayaan dengan mengenali mereka dalam ranah personal dan agar siswa juga dapat mengenali penulis tak hanya sebagai seorang pengajar ataupun koordinator program, tetapi juga secara personal. 2. Memastikan agar siswa mengetahui di mana dan kapan mereka bisa bertemu dengan penulis dan guru lain yang mengajar di kelas mereka. Selain itu, penulis juga menyatakan kepada siswa BIPA secara empat mata bahwa penulis sangat terbuka untuk berkorespondensi dan bersedia membantu siswa jika mereka mengalami permasalahan baik isu akademis maupun non-akademis. 3. Memastikan bahwa siswa mengetahui tujuan dari pelatihan BIPA yang mereka ikuti serta mengenalkan sedikit mengenai budaya Indonesia serta situasi belajar dan regulasi yang ada di universitas bersangkutan. Sebagai seorang instruktur, tidak dapat disangkal bahwa setiap guru menginginkan siswanya berkembang dalam proses belajarnya. Namun isu non-akademis seperti motivasi dan gegar budaya dapat pula menjadi pemicu atau penentu kemajuan belajar siswa sehingga apa yang menjadi permasalahan dan kegalauan siswa memiliki posisi penting dalam proses belajar. Siswa baru umumnya merasa galau karena posisi psikologis mereka yang terombang-ambing antara area negara asal dan area kehidupan belajar di tempat baru serta pengaruh dari interaksi sosial-interpersonal dalam kaitan dengan proses transisi siswa di lingkungan baru (Palmer, 2009). satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan meringankan kegalauan siswa baru dengan memberikan atmosfer kekeluargaan serta fleksibilitas di sekolah atau institusi tempat mereka belajar. Atmosfer tersebut dibentuk dengan memposisikan pengajar sebagai mentor sekaligus keluarga yang dapat mengisi kekosongan mereka. Kaufka (2010 ) menyatakan bahwa kesuksesan mahasiswa baru terletak tak hanya pada kemampuan mereka berorganisasi dan mengatur waktu, tetapi juga pada proses sejauh mana mereka mengenali pengajar mereka. Siswa BIPA berasal dari berbagai negara sehingga memiliki berbagai profesi dan tujuan belajar berbeda. Oleh karena itu, pengajar BIPA harus memerhatikan karakteristik siswa yang menjadi tanggung jawabnya (Muliastuti & Sulastri, 2005). Berdasarkan dari pertemuan ini, terlihat bahwa kegalauan siswa BIPA terfokus pada gegar budaya dalam tiga hal utama yaitu budaya lingkungan setempat, bahasa Indonesia yang mereka duga akan sangat sulit dipelajari, serta hal-hal yang berkaitan dengan sistem belajar di institusi penulis. percakapan yang dibangun pada pertemuan ini menggunakan bahasa Inggris, tetapi bagi yang bisa berbahasa melayu (seperti siswa dari Thailand selatan) penulis menggunakan bahasa Indonesia. adapaun jika siswa bersangkutan tidak dapat berbahasa Inggris, maka penulis mencari pengajar atau civitas akademik yang mempu berbahasa asing lainnya untuk turut terlibat menjadi penengah. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada kesempatan tersebut juga menyinggung beberapa hal mengenai pribadi siswa. Supaya siswa merasa lebih nyaman dan terbuka, penulis menceritakan dulu sedikit tentang informasi pribadi penulis, hanya saja perlu tetap ditekankan bahwa pertemuan ini bukan untuk membahas pribadi penulis. pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat juga berperan sebagai analisis kebutuhan dan kurang lebih meliputi: * kabar siswa * proses transisi siswa * keadaan keluarga dan negara siswa * motivasi belajar bahasa Indonesia * tempat tinggal siswa di Indonesia * teman-teman siswa di Indonesia * kesukaan siswa * pelajaran atau hasil yang diinginkan * permasalahan yang melanda * dll Pertemuan pertama ini dilaksanakan dengan penekanan bahwa siswa merasa bahwa ia memiliki suara yang akan didengarkan dan ia tidak sendirian. Sebagai penutup, penulsi memaparkan kembali tujuan dari pertemuan tersebut dan memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan perkulihaan BIPA yang akan mereka jalani sekaligus memberikan kepastian bahwa penulis dan pengajar lainnya terbuka terhadap permasalahan mereka dan siap membantu.

B. Pertemuan Kedua Pelaksanaan pertemuan ini dilaksanakan pada tengah semester. penulis mengalami bahwa setelah pertemuan pertama, siswa BIPA cenderung lebih cair dan lebih sering untuk bertemu atas kemauan mereka sendiri. Bahkan sebagian dari siswa datang menemui koordinator program secara rutin per minggu untuk berkonsultasi atau hanya berlatih bahasa Indonesia. Pertemuan ini sifatnya tidak diwajibkan untuk datang, hanya dianjurkan saja. Perbedaan dengan pertemuan pertama, pertemuan kali ini tidak terfokus dalam satu waktu, tetapi siswa dibebaskan menentukan kapan mau datang karena mereka menjadwalkan atas kemauan mereka sendiri. sehingga pertemuan ini tidak terlalu memakan banyak waktu sekaligus dan dapat lebih intensif berbicara dengan siswa karena tidak ada tekanan waktu selama mereka datang pada waktu-waktu yang telah disepakati di pertemuan pertama. Tujuan dari pertemuan kali ini lebih ditekankan pada kemampuan akademis mereka, dalam hal ini kemampuan berbahasa Indonesia. pertemuan dilakukan dalam bahasa Indonesia dan menganjurkan mereka untuk menjelaskan apa yang akan mereka presentasikan di akhir program serta kesiapan mereka untuk ujian tengah semester. namun penulis tetap terbuka jika siswa ingin "curhat" mengenai isu non-akademis. Bagi pribadi penulis pertemuan ini sangat bermanfaat bagi pengelolaan program, karena dalam pertemuan ini muncul berbagai masukan konstruktif mengenai kegiatan belajar mengajar pada program BIPA-ISA tersebut, seperti halnya yang disampaikan salah seorang siswa dalam wawancara terbuka setelah pertemuan pertama dan kedua.

saya senang sekali dengan adanya pertemuan ini, karena saya datang terlambat satu bulan dan sempat frustasi, karena kesulitan mengikuti pelajaran. namun dalam pertemuan itu saya bisa bicara banyak mengenai masalah ini, bahkan pengelola memberikan kelas tambahan bagi saya dan teman saya sehingga kami bisa belajar dan mengejar teman-teman yang lain (Rio).

Selain itu dalam pertemuan kedua ini juga dapat memberikan solusi bagi masalah non-akademis, seperti siswa yang mengalami masalah dengan keluarga di negara asalnya sehingga akhirnya ia mengundurkan diri dari program dan kembali ke negara asalnya. Dengan kata lain, siswa BIPA program ISA merasa tercerahkan dengan adanya pertemuan empat mata tersebut dan dapat berkontribusi setidaknya pada motivasi belajar dan mulai bisa meringankan kegalauan siswa BIPA. B. Pertemuan ketiga

Pertemuan ini adalah yang terakhir yang dirancang secara resmi. Pertemuan dijadwalkan setelah mereka melakuakn ujian akhir dan sebelum melakukan ujian presentasi akhir. Hal ini dilakukan di akhir karena setelah pertemuan pertama dan kedua, siswa umumnya sudah nyaman dengan kondisi di tempat belajar dan tidak sungkan untuk datang ke kantor dan mengeluarkan unek-uneknya baik yang berkaitan dengan akademis ataupun tidak.
Pelaksanaan pertemuan ini ditujukan untuk menerima masukan , perasaan mereka sekaligus sebagai wahan evaluasi program dari sudut pandang siswa. Pelaksanaan pertemuan ini dilaksanakan di dalam kelas tetapi di luar jam belajar. Semua siswa menghadiri pertemuan ini terkecuali siswayang hanaya mengikuti program ini untuk tiga bulan.
Pertemuan ini juga dijadikan sarana gladi resik sebelum siswa melakuakn presentasi akhirnya di depan civitas akademik universitas beserta jajaran pimpinannya.
Dari pertemuan serius tapi santai ini, penulis dapat mengambil saripati dan berbagai saran konstruktif guna menyusun serta memutakhirkan program untuk kedepannya. Saat tersebut adalah saat yang membahagiakan karena di sanalah seorang guru dapat menyaksikan perkembangan siswa dalam proses penerimaan bahasa dan pemahaman budaya Indonesia.

TEMUAN Ketiga pertemuan luar kelas tersebut diasumsikan dapat bermanfaat bagi proses belajar siswa BIPA. Studi kasus yang penulis lakukan tidaklah banyak (16 orang) karena jumlah siswa BIPA di Indonesia masih terus berkembang. Dari 19 siswa, yang dapat dijadikan responden adalah 16 siswa. Hal tersebut terjadi karena tiga orang siswa hanya mengambil program selama tiga bulan saja. Berikut adalah data dari intensitas kehadiran siswa dalam setiap pertemuan Pertemuan | Siswa yang hadir | Persentase | Pertama | 16 | 100% | Kedua | 16 | 100% | Ketiga | 15 (tiga orang selesai program dan satu siswa mengundurkan diri) | 94% | c Tabel di atas tadi menunjukkan bahwa pertemuan tersebut ditanggapi dengan cukup positif oleh semua siswa BIPA. Hal tersebut dikarenakan atmosfer dan suasana belajar yang sudah dapat diterima siswa atau bahkan sudah dianggap nyaman oleh siswa. Sebagaimana dipaparkan oleh salah seorang siswa
Kalau ada pertemuan itu baik sekali karena bisa konsultasi untuk presentasi dan bicara tentang rencana liburan bersama teman-teman dan guru di sini (Hani)

Berkaitan dengan hasil wawancara terbuka dengan siswa BIPA-ISA mengenai sikap mereka terhadap ketiga pertemuan yang mereka alami, berikut adalah hasil yang telah penulis klasifikasikan

1. Waktu pelaksaan | 4. kontribusi pada proses belajar | * Tidak ada masalah (12) * Pelaksanaan Setiap bulan (2) * Sebaiknya semua guru ikut (2) | * Merasa nyaman dan dapat membantu mengembangkan kemampuan bahasa (12) * Membantu meningkatkan kepercayaan diri untuk bicara (3) * Netral (1) | 2. Kedekatan inter-personal | 5. Hubungan dengan teman sekelas | * Merasa dianggap dan diperhatikan (7) * Menjadi lebih dekat dengan guru dan koordinator program (4) * Bagus untuk tambahan latihan bahasa (3) * Penting untuk saling mengenal antara guru dan siswa (2) | * Lebih baik karena ada banyak diskusi mengenai hal akademis dan non akademis (8) * Menjadi lebih paham budaya Negara lain (4) * Biasa saja (2) | 3. Motivasi belajar | | * Bertambah karena bisa bertanya kembali tentang pelajaran di kelas (14) * Biasa saja/ netral (2) | |
Tabel 3. Opini siswa terhadap pertemuan rutin yang ditawarkan serta dampak pada proses belajar mereka, sumber: diolah dari lapangan
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar dari siswa beropini bahawa kegiatan pertemuan tersebut perlu dilakukan dan dapat meningkatkan motivasi belajar. Terlebih lagi, 75% siswa merasa bahwa kegiatan pertemuan itu memberikan kontribusi yang membantu dalam menciptakan suasana nyaman untuk belajar. Sehingga secara garis besar dapat dipaparkan bahwa siswa BIPA-ISA dengan jelas merasa bahwa kegiatan pertemuan rutin ini membantu mereka dalam proses belajar mereka dan pengalaman hidup mereka selama di Indonesia.
Sebagaimana penulis paparkan sebelumnya, penelitian ini bersifat Idiografik bukan nomotetik. Sehingga hasil studi ini tidaklah untuk dikuantifikasikan dan tidak akan digeneralisasikan kepada seluruh siswa baru BIPA yang ada di Indonesia. Walaupun begitu, hasil temuan studi ini dapat dijadikan landasan awal untuk menjalin hubungan interpersonal dengan siswa BIPA guna menjadi salah satu alternatif solusi penawar kegalauan siswa. Temuan ini senada dengan apa yang dinyatakan Nagahashi (2006) bahwa program belajar yang kooperatif sangat efektif dalam mengurangi kegelisahan siswa dalam berbahasa asing. Terlebih lagi dengan suasana lingkungan belajar yang suportif dan kondusif, kemampuan berbahasa siswa akan cepat berkembang.

KESIMPULAN
Sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya, studi ini menunjukan bahwa siswa menghargai hubungan personal dengan pihak kampus (pengajar dan/atau pengelola program). Pengajaran yang baik disertai interaksi berkualitas diantara siswa dan pihak kampus dapat mengurangi kegalauan siswa dalam belajar bahasa Indonesia. Pertemuan empat mata di luar jam belajar dapat dijadikan salah satu metode untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa bersangkutan.
Selain itu, data temuan menunjukkan bahwa pertemuan rutin di luar kelas dapat menjadi langkah awal bagi siswa untuk belajar, beradaptasi, melatih toleransi dan membangun kepercayaan mutualisme antara siswa, pengajar dan pengelola program melalui kegiatan saling berbagi kisah yang tak harus selalu berkaitan dengan isu akademis. Sehingga bagi penulis, menangani siswa baru BIPA melalui interaksi yang berkualitas dapat menambah kenikmatan disela kesibukan yang melanda

Daftar Pustaka
Kaufka, Beth. (2010). Beyond Classroom. Journal of the Scholarship of Teaching and Learning. hlm 26-33

Mulyana, Deddy (2003). Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma abru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Rosdakarya. Bandung.

Muliasari dan Sulastri (2005). Panduan Pengajaran Membaca untuk Siswa BIPA. Dikutip dari situs: http://www.saujana.sg/portals/0/penyerapan/pengajaran%20membaca.pdf\

Nagahashi, Lee (2006). Techniques for Reducing Foreign Language Anxiety: Results of An Intervention Study. Akita University.

Palmer, Mark, Paula O’kane (2009). Betwixt Spaces: Students Accounts of Turning Point Experiences in the First-year Transition. Studies in Higher Education.

Shanley, Mary Kay dan Julia Johnston. (2008). 8 things first-year students fear about college. Journal of College Admission, hlm 3 – 7.

Similar Documents