Free Essay

Self Regulation Pada Industry Perapotekan

In:

Submitted By winda
Words 2194
Pages 9
Pengaturan Jarak Pendirian Apotek: Suatu Mekanisme Self-Regulation pada Industri Apotek WINDA WERDHININDAH

Pengaturan Jarak Pendirian Apotek:
Suatu Mekanisme Self-Regulation pada Industri Apotek.

I. Latar belakang
Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980, Apotek adalah tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan, yang berfungsi sebagai Sarana Farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, dan penyerahan obat atau bahan baku obat dan Sarana penyalur perbekalan Farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
Berdasarkan data Intercotinental Medicine Service (IMS), pertumbuhan pasar farmasi sektor apotek di Indonesia pada tahun 2012 adalah sebesar 6,5 %, lebih rendah dibanding pertumbuhan total pasar farmasi yang mencapai 15,9 % maupun pertumbuhan sektor apotek pada tahun 2011 yang mencapai 9,7 %. Walaupun begitu, porsi pasar farmasi apotek terhadap total pasar farmasi meningkat dari 9,7 % pada tahun 2011 menjadi 10,42 % pada tahun 2012 (Annual Report PT. Kimia Farma, 2011; Annual Report PT. Kimia Farma Apotek, 2012).
Berdasarkan data Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), asosiasi profesi apoteker, pada tahun 2012 terdapat 38.000 apoteker dengan pertumbuhan setiap tahun sekurang-kurangnya 4000 apoteker (IAI, 2012).
Tingginya jumlah lulusan apoteker mendorong pertumbuhan jumlah apotek di Indonesia setiap tahunnya. Saat ini pengelolaan apotek di Indonesia masih didominasi oleh jaringan apotek seperti Apotek Kimia Farma dan Apotek K24. Menurut data Kementerian Kesehatan RI, pada tahun 2012 terdapat 10.784 apotek di seluruh Indonesia yang terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali, yaitu sebanyak 59,66 %. Dari angka tersebut, jumlah apotek Kimia Farma mencapai 412 apotek dan apotek K24 mencapai 305 apotek, berturut-turut 3,8 % dan 2,8 % (Annual Report PT. Kimia Farma Apotek, 2012; situs K24, 2013). Tingginya tingkat ekspansi kedua merk apotek tersebut dan tiadanya regulasi pemerintah yang mengatur sebaran pendirian apotek mendorong IAI selaku organisasi profesi menerapkan pengaturan jarak dalam pendirian apotek baru untuk melindungi keberlangsungan apotek mandiri yang sudah lebih awal berdiri pada lokasi tertentu.
Peraturan tersebut awalnya hanya merupakan peraturan organisasi profesi dengan menitikberatkan pada penegakan kode etik profesi, yang tidak diakomodir ataupun diakui oleh pemerintah sebagai penerbit ijin apotek. Penerapan peraturan tersebut pun tidak dilaksanakan oleh seluruh cabang IAI, dan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu seperti Yogyakarta, Solo, dan Purwokerto. Seiring berjalannya waktu, organisasi profesi di beberapa daerah berhasil memperjuangkan peraturan tersebut sehingga disahkan oleh pemerintah setempat, seperti di Kabupaten Bantul melalui Peraturan Bupati Bantul Nomor 49 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Bantul Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Apotek Di Kabupaten Bantul dan di Kota Bogor melalui Peraturan Walikota Bogor Nomor 62 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Bogor Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Apotek Dan Pedagang Eceran Obat (Toko Obat), yang keduanya mengatur pendirian dan penyelenggaraan apotek baru berjarak pada radius paling sedikit 500 (lima ratus) meter dari apotek yang sudah ada. Hal ini membatasi ruang gerak perusahaan ritel apotek untuk melakukan pengembangan.
Menarik untuk ditelusuri lebih dalam mengenai pengaturan jarak apotek sebagai industry self-regulation dan sebagai strategi non-market industri apotek yang melibatkan asosiasi profesi, pemerintah, dan pelaku usaha, serta dampaknya terhadap pemilihan strategi market pelaku usaha untuk dapat terus meningkatkan performa perusahaan.

II. Industry Self-Regulation
Industry self-regulation adalah sebuah proses regulasi dimana sebuah organisasi pada tingkat industri menetapkan aturan dan standar yang berkaitan dengan perilaku perusahaan dalam suatu industri. (Gunningham & Rees, 1997).
Industry self-regulation umumnya muncul sebagai respon atas lemah atau terlalu kuatnya regulasi pemerintah dalam suatu industri, yang merupakan upaya industri untuk mengatur industri itu sendiri atau mencegah munculnya regulasi dari pihak pemerintah atau pihak lainnya yang dapat memberatkan industri tersebut, memperbaiki opini publik, mempertahankan kelangsungan suatu industri, atau untuk memberikan competitive advantage bagi industri (Gupta & Lad, 1983; Vass & Bartle, 2005; Sharma et al, 2010).
Rees (1988) membedakan self-regulation berdasarkan tingkat keterlibatan pemerintah, yaitu pertama, voluntary self-regulation, dimana baik pembuatan maupun penegakan peraturan dilakukan oleh perusahaan didalam industri, tanpa keterlibatan langsung dari pemerintah. Kedua adalah pengelolaan penuh self-regulation (mandated full self-regulation), dimana berkebalikan dengan voluntary self-regulation, pada tipe ini pemerintah terlibat penuh dalam penegakan, pengawasan, hingga penilaian efektivitas pemberlakukan peraturan. Tipe ketiga adalah pengelolaan bersama atas self-regulation (mandated partial self-regulation), dimana pemerintah dan perusahaan dalam industrisecara bersama-sama menegakkan dan mengawasi self-regulation. Gunningham & Rees (1997) pun menyimpulkan bahwa antara self-regulation dan regulasi pemerintah tidak berdiri sendiri-sendiri namun merupakan satu rangkaian. Hal ini berimplikasi bahwa industry self-regulation dapat berlangsung bila perusahaan dalam suatu industri bersedia untuk bekerja sama satu sama lain.
Industry self-regulation menjadi pilihan karena memiliki keunggulan seperti cepat diaplikasikan, fleksibel, dan sensitive terhadap perubahan kondisi pasar, dan biaya yang diperlukan lebih rendah bila dibandingkan dengan regulasi yang berasal dari pemerintah. Karena penetapan standar dan identifikasi pelanggaran menjadi tanggung jawab praktisi dengan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang industri terkait, maka dapat dinyatakan bahwa penerapan standar tersebut akan lebih praktis dan pengawasannya akan lebih efektif. Seluruh perusahaan dalam industri pun dapat saling mengawasi satu sama lain sehingga dapat meningkatkan keberhasilan internalisasi tanggung jawab kepatuhan. Selain itu, karena self-regulation mengusung standar etika perilaku yang melampaui aturan hukum, maka diharapkan dapat secara signifikan meningkatkan standar perilaku pelaku usaha (Gunningham & Rees, 1997).
Terdapat dua pembeda dalam industry self-regulation, yaitu economic self-regulation dan social self-regulation. Economic self-regulation berkaitan dengan control pasar atau aspek lain dari kehidupan ekonomi, sedangkan social self-regulation bertujuan untuk melindungi masyarakat atau lingkungan dari konsekuensi berbahaya dari industrialisasi (Hawkins & Hutter, 1993).
Industry self-regulation dapat menemui kegagalan ketika pemain besar dalam suatu industri tidak turut serta dalam implementasi industry self-regulation, lemahnya penegakan standar sehingga memungkinkan perusahaan dalam suatu industri untuk terus mengutamakan kepentingannya dan mengorbankan kepentingan konsumen, standar tidak dapat diaplikasikan secara luas, rusaknya kredibilitas akibat tiadanya transparansi dan pendapat ilmiah yang objektif, serta kurangnya tolok ukur dan tujuan evaluasi sehingga menyebabkan ambiguitas dalam menafsirkan, baik kepatuhan dan dampaknya (Sharma et al, 2010; Wilde, 2009; Hawkes, 2005).
Dalam penerapan industry self-regulation umumnya diperlukan institusi perantara yang memiliki posisi yang baik untuk mendorong terciptanya lingkungan dan praktik-praktik yang beretika dalam suatu industri, dikarenakan kegiatan kerja dapat berjalan dengan efektif bila diatur oleh organisasi yang berhubungan cukup dekat sehingga memahami fungsi kerjanya. Disinilah asosiasi industri berperan sebagai institusi perantara yang diharapkan mampu memoralisasi kehidupan industri dan komersial (Durkheim 1933; Cladis 1993; Gunningham & Rees, 1997). Durkheim menyatakan bahwa untuk dapat memoralisasi lingkungan industri, asosiasi industri harus dapat menegakkan kerangka kerja normative (moralitas industri) terhadap seluruh anggotanya dan tak kalah pentingnya, membangun system untuk memastikan efektifitasnya.
Namun asosiasi industri dan perannya dalam self-regulation dapat menimbulkan pengaruh buruk dalam penetapan harga dan perilaku anti-kompetitif lain yang bersembunyi dibalik tabir industry self-regulation, dan disisi lain mereka didorong oleh kepentingan tawar kelompok dimana perusahaan berkonspirasi menentang kepentingan publik (dan berusaha untuk menghindari peraturan pemerintah) dengan membuat standar yang mementingkan diri sendiri, dan hanya memenuhi standar terendah (Gunningham & Rees, 1997).

III. Industry Self-Regulation sebagai Non Market Strategi pada Level Industri Apotek.
Isu non-market yang diangkat dalam makalah ini adalah pengaturan jarak dalam pendirian apotek baru oleh organisasi profesi (Issue), yang melibatkan institusi organisasi profesi sebagai asosiasi industri (Institution), yang kemudian mempengaruhi regulasi pemerintah dan perilaku pelaku usaha (Interest), dan informasi tersebut diketahui secara baik oleh seluruh regulator dan pelaku usaha, dan mempengaruhi implementasi pengembangan usaha di industri apotek (information).
Pengaturan jarak dalam pendirian apotek baru oleh organisasi profesi merupakan bentuk industry self-regulation yang didorong oleh lemahnya regulasi pemerintah dalam industri apotek. Organisasi profesi yang berperan sebagai institusi perantara antara pelaku usaha dengan pemerintah, mencoba mengatur sebaran pendirian apotek dengan menerapkan persyaratan pengaturan jarak yang menjadi dasar pemberian rekomendasi organisasi profesi, yang merupakan salah satu kelengkapan dokumen ijin pendirian apotek.
Kemunculan issu ini berawal dari kepentingan apotek stand-alone yang terdesak oleh ekspansi pengembangan jaringan apotek besar yang memiliki permodalan kuat, sehingga dikhawatirkan tidak dapat bersaing dan mempengaruhi keberlangsungan usaha mereka. Organisasi profesi yang berperan menjembantani permasalahan-permasalahn yang belum diatur seccara jelas oleh pemerintah, menerapkan pengaturan jarak pendirian apotek yang merujuk sebagai implementasi kode etik apoteker yaitu pada Bab III pasal 10 Kode Etik Apoteker yang menyatakan bahwa setiap apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Kode etik bisa dianggap sebagai koridor moral dalam bersaing. Sangsi terhadap pelanggaran kode etik adalah lebih kepada sangsi moral. Hal ini menunjukkan isu non market ini muncul dikarenakan adanya keprihatian moral terhadap lingkungan industri, dan bila dikaitkan dengan pembagian jenis industry self-regulation menurut Hawkins & Hutter (1993), maka termasuk dalam tipe economic self-regulation, karena berkaitan dengan kontrol pasar atau aspek lain dari kehidupan ekonomi.
Isu ini berdampak kuat terhadap industri dikarenakan pada penerapan self-regulation, pemerintah dan organisasi profesi perusahaan dalam industri secara bersama-sama menegakkan dan mengawasinya, dan mengkategorikannya sebagai mandated partial self-regulation. Pada beberapa daerah peraturan asosisasi industri ini pun sudah dilegalkan oleh pemerintah setempat, menjadikannya tak hanya merupakan kode etik, namun juga memiliki dasar hukum yang kuat, seperti di Bogor dan Bantul, dan juga terdapat daerah yang sudah menyatakan bahwa tidak akan ada pendirian apotek baru di daerah tersebut, seperti yang berlaku di Purwokerto.
Yang harus menjadi perhatian dalam penerapannya adalah pengawasan secara konsisten dan pembinaan terhadap pengelolaan apotek yang sudah berdiri, sehingga pelayanannya tetap memenuhi standar yang berlaku. Hal ini merujuk pada pernyataan Gunningham & Rees (1997) bahwa asosiasi industri dan perannya dalam self-regulation dapat menimbulkan pengaruh buruk dalam perilaku anti-kompetitif yang bersembunyi dibalik tabir industry self-regulation. Dalam tahap ini pemerintah memegang peranan penting menjaga terciptanya keseimbngan, sehingga mencegah gagalnya strategi non market tersebut (Wolf, 1987).

IV. Dampak Self Regulation terhadap Strategi Market pada Level Bisnis Apotek
Menurut Wolf (1987), pembenaran utama munculnya intervensi kebijakan publikadalah kegagalan pasar.Timbulnya pengaturan jarak pada pendirian apotek pun dapat menjadi indikasi kegagalan pasar untuk mengatur kompetisi yang ada didalamnya, sehingga tidak tercipta pasar persaingan sempurna. Diperlukan intervensi pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar tersebut.
Bila dilakukan analisa menurut Five Forces Competition Model, pengaturan jarak pendirian apotek baru dapat dikategorikan sebagai strategi market untuk meningkatkan hambatan masuknya pemain baru dalam kompetisi usaha.
Menghadapi perubahan situasi lingkungan usaha tersebut, pelaku usaha dapat melakukan strategi market antara lain sebagai berikut: a. Melakukan akuisisi terhadap apotek-apotek di daerah yang menerapkan pengaturan jarak pada pendirian apotek, seperti Purwokerto, Bogor, dan Bantul. b. Melakukan pengembangan jaringan apotek di daerah yang belum menerapkan pengaturan jarak pada pendirian apotek dan memiliki potensi pasar dan pertumbuhan ekonomi yang baik, seperti Balikpapan, Makassar, dan lain-lain. c. Memperluas jangkauan layanan di setiap titik jaringan apotek sehingga dapat memperoleh pangsa pasar yang lebih besar dan memperbesar penguasaan porsi pasar, missal dengan menerapkan delivery service. d. Mengembangkan layanan non-store, seperti e-commerce. e. Melakukan differensiasi produk, seperti melengkapi layanan apotek dengan layanan klinik, swalayan farmasi, laboratorium klinik, optik, dan layanan kesehatan ataupun non kesehatan lainnya.

V. Kesimpulan
Agar industry self regulation dapat berperan secara optimal dan efektif, selain keterlibatan sektor private (asosiasi industri) juga diperlukan peran publik, yaitu pemerintah dalam penerapan dan pengawasannya. Begitu pula halnya dalam penerapanan strategi market dan non market. Diperlukan keterlibatan bersama antara asosiasi industri dan pemerintah untuk mencegah kegagalan market dan non market suatu industri.

VI. Daftar Pustaka
Cladis Mark SA. Communitarian Defense of Liberalism: Emile Durkheim and Contemporary Social Theory. Stanford, Calif.: Stanford Univ. Press. 1993.
Durkheim E. The Division of Labor in Society. Trans. by G. Simpson. New York: Macmillan,1933
Gunningham N, Rees J. Industry self-regulation: an institutional perspective. Law Policy. 1997;19(4):363–414.
Gupta A.K, Lad L.J. Industry Self-Regulation: An Economic, Organizational, and Political Analysis. The Academy of Management Review, 1983. 8(3): 416-425
Hawkes C. Self-regulation of food advertising: what it can, could and cannot do to discourage unhealthy eating habits among children.Nutr Bull. 2005;30:374–382
Hawkins K. Hutter B.M. The Response of Business to Social Regulation in England and Wales: An Enforcement Perspective. Law & Policy, 1993. 15: 199±217.
Ikatan Apoteker Indonesia, Strategi dan Kebijakan Umum Program Kerja 2012, 2012, www.ikatanapotekerindonesia.net
Peraturan Bupati Bantul Nomor 49 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Bantul Nomor 25 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Apotek Di Kabupaten Bantul
Peraturan Walikota Bogor Nomor 62 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Bogor Nomor 19 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Apotek Dan Pedagang Eceran Obat (Toko Obat)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PEraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1965 tentang Apotik.
PT. Kimia Farma Apotek, Annual Report Tahun 2012.
PT. Kimia Farma, Annual Report Tahun 2011. www.kimiafarma.co.id
Rees J. Reforming The Workplace: A Study of Self-Regulation in Occupational Safety. Philadelphia: Univ. of Pennsylvania Press, 1988.
Situs Apotek K-24, http://apotek-k24.com/location
Sharma et al. The Food Industry and Self-Regulation: Standards to Promote Success and to Avoid Public Health Failures. American Journal of Public Health. 2010; 100(2):240-246
Vass P, Bartle I. Self-regulation and The Regulatory State ~ A Survey of Policy and Practice. Research Report 17, The University of Bath. 2005.
Wilde P. Self-regulation and the response to concerns about food and beverage marketing to children in the United States. Nutr Rev. 2009;67(3):155–166.
Wolf C., Market & Non-Market Failures: Comparison & Assesment. Journal of Public Policy. 1987. 7 (1):43-70.

Similar Documents