Free Essay

the Value of Carbon in Natural and Plantation Forest Based on the Structure of Its Stands (Case in Pt Berau Coal, Berau Residence, Province of East Borneo)

In:

Submitted By oni572391
Words 14804
Pages 60
NILAI KARBON HUTAN ALAM DAN TANAMAN MENURUT STRUKTUR TEGAKANNYA (Kasus di PT Berau Coal, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur)

SKRIPSI

Oleh :

AL FURQANY WIDHA WARDHANA 05/185000/KT/5640

JURUSAN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010

NILAI KARBON HUTAN ALAM DAN TANAMAN MENURUT STRUKTUR TEGAKANNYA (Kasus di PT Berau Coal, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada untuk Memenuhi sebagian dari Syarat-Syarat Guna memperoleh Derajat Sarjana Kehutanan

Oleh :

AL FURQANY WIDHA WARDHANA 05/185000/KT/5640

JURUSAN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010

HALAMAN PERSEMBAHAN

Ucapan terimakasihku untuk ... [Syukur alhamdulillah] kupanjatkan kepada Allah SWT yang menguasai langit dan bumi beserta seluruh isinya, tanpa kurang sedikit pun, yang mengatur hidup dan matiku, yang membuatku berdiri dan tetap bernafas dari perjalanan panjang 22 tahun sejak aku keluar dari rahim ibuku ... izinkan aku untuk membahagiakannya bersama ayahku yaa Rabb ... [Shalawat serta salam] untuk junjunganku, nabiku, yang membawakan cahaya islam kepada dunia yang gelap di dalam bola bernama bumi ini ... Rasulullah Muhammad SAW ... semoga kelak aku dapat menjadi golongan dari umat yang engkau berikan syafaat wahai nabi..

Bapak Ibu , kalian adalah tujuanku untuk hidup di muka bumi ini , tanpa kalian hidupku hampa , disaat ada masalah hanya kalian yang bisa menenangkan aku , skripsi ini aku persembahkan untuk kalian berdua , maafkan aku jika belum bisa membawakan calon menantu yang baik dan sholihah di hari wisuda nanti. Dek Nina, adik yang menjadi teman hidupku sejak usiaku baru beranjak 5 tahun, jangan menyerah ya dik, karena hidup itu selalu ada cobaan dan rintangan, terus semangat sampai kamu bisa mengejar kakak bahkan kamu bisa melebihi aku, teruslah berlari.

Temen2 di Berau: Manto, Partai, Welly, Mas Yudi, Afif, Pak Putu, Pak Deny, Mas Januar, Mas Iwan, Pak Saridi, Pak Maman, Didik, Jamir, Hamroni, dan masih banyak lagi temen-temen yang gak bisa kusebutin satu-satu .. kenangan yang indah walaupun melelahkan., semoga suatu saat dapat bertemu kembali ...

Temen2 kosan Warsidi “U-Cel” Akademi Poker yang seru2: Otmen, Diko, Mukmin, Asrul, Ical, Rendra, Arif ‘Tulang’, Rendi, Adib, Ulung, and Indra . Semoga kalian menjadi temen2 kos terakhirku di jogja .. [uda males pindah2] ...

Genk Tasikmalaya [KKN 2009] : Duma caem, Cha2 gendut, Nana lebay, Yusuf alim, Tikta genit, Mita jengkelin, Wulan imah, Sigit smoker, Mira kembar, Vila gendut juga, Caecil cerewet, Nita kalem, Fika chu, Uqi sotoi ... hahaha ... makasih atas persahabatan yang sempat kita jalanin selama 1,5 bulan di kampong orang sunda ... xixixi ... success for us guyz!

Getas 2008 first group first wave : Milla, Kunto, Alm. Bagus, Fathoni, Wahid, Cici, Indira, Fauzan, Tuwi ... we will be d’best forester in d world , won’t u?

Arek2 HMI [wuakeh] : Dedi, Makmun, Kamto, Kari, Fajri, Mamat, Riza, Adi, Fadli, Ardian, Fahri, Galit, alumni karanggayam 78, dll ... cukup memberikan kesan baik yang enak maupun gak enak ... yang pasti ... MIPA berdarah itu gak akan kulupain seumur hidupku teman ... terus berjuang untuk hijau hitam , demi tegaknya independensi, yakin usaha sampai-lah!!

Temen-temen kehutanan 2001-2007 segala jurusan!!! Yang 2008 kebawah ga ada yang kenal ... wkwkwk ... pesen gua nih ,, jaga korsa rimbawan kita dalam tiap event ... di lapangan maupun di kampus ... indoor maupun outdoor ... kalo ada anak teknik or fakultas lain macem2 ... gerakin massa bareng2.. okeh!!!? SALAM RIMBA!

Taeyeon SNSD ... makasih ya udah nemenin aku selama ngerjain skripsi ini .. mau atau tidak mau, moodku kembali bergairah ketika aku memandangi dirimu..

Onimaru Fans Club dimanapun kalian berada ......... arigatou gozaimaska ....

Dan yang terakhir ... entah tulisan ini bakalan sampai kepada dia atau tidak ... untuk seorang wanita yang nanti hidupnya bergantung padaku sebagai pemimpin bagi dirinya dan anak-anak kami ... dunia dan akhirat ... akhirnya, sampai juga pada masa untuk menggapai dunia baru .. into the new world .. I’ll reach you...........

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apaapa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Al Qur’an Surat Al Baqarah : 255]

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Nilai Karbon Hutan Alam Dan Tanaman Menurut Struktur Tegakannya” untuk memperoleh gelar sarjana. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat. Dengan selesainya penyusunan skripsi ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Mohammad Na’iem, M.Agr.Sc., selaku Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2. Dr. Senawi, MP., selaku Ketua Jurusan Manajemen Hutan. 3. Dr. Ir. Ris Hadi Purwanto, M.Agr.Sc., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan, dan kesabarannya selama proses penyelesaian skripsi ini. 4. Dr. Ir. Ronggo Sadono, selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan, dan kesabarannya selama proses penyelesaian skripsi ini. 5. Oka Karyanto, SP. M.Sc., selaku Dosen Penguji. 6. Rohman, S. Hut, M.Sc., selaku Dosen Penguji. 7. Pak Handoyo dan Bu Adriyanti yang sudah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di Berau. 8. Pak Saridi S. Hut, selaku Superintendent Departemen Enviro Site Binungan PT Berau Coal yang banyak memberikan bimbingan di lapangan. 9. Seluruh karyawan PT Berau Coal Site Binungan, terutama di Departemen Enviro. 10. Teman-teman Fakultas Kehutanan dari berbagai jurusan dan angkatan. 11. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kritik dan saran konstruktif dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaannya. Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, Februari 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................... Halaman Pengesahan ......................................................................................... Halaman Persembahan ....................................................................................... Kata Pengantar ................................................................................................... Daftar Isi ............................................................................................................ Daftar Tabel ....................................................................................................... Daftar Gambar.................................................................................................... Daftar Lampiran ................................................................................................. Intisari ................................................................................................................ Abstract ..............................................................................................................

ii iii iv vii ix xi xii xiii xiv xv

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Pengertian Hutan ............................................................................ 2.2 Reklamasi Lahan Bekas Tambang ................................................. 2.3 Vegetasi Famili Dipterocarpaceae................................................. 2.4 Bahan Tambang (Batubara) ............................................................ 2.5 Komposisi dan Struktur Tegakan ................................................... 2.6 Pemanasan Global .......................................................................... 2.7 Biomassa Tumbuhan ...................................................................... 2.8 Biomass Expansion Factor (BEF) ................................................ 2.9 Karbondioksida (CO2) .................................................................... 2.10 Fotosintesis ...................................................................................

1 1 4 5 5 6 6 8 10 11 12 15 17 18 19 21

BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................... 23 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.1.1 Lokasi Penelitian.................................................................. 3.1.2 Waktu Penelitian .................................................................. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................. 3.2.1 Alat Penelitian ...................................................................... 3.2.2 Bahan Penelitian .................................................................. 3.3 Metode Pengambilan Sampel ....................................................... 23 23 23 23 23 24 25

3.4 Analisis Data ................................................................................. 3.4.1 Estimasi Nilai Karbon .......................................................... 3.4.2 Komposisi dan Struktur Vegetasi ........................................ 3.5 Bagan Alir Penelitian ....................................................................

28 28 29 33

BAB IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................... 34 4.1 PT. Berau Coal .............................................................................. 4.2 Letak, Batas dan Luas Wilayah .................................................... 4.3 Keadaan Curah Hujan ................................................................... 4.4 Jenis Tanah.................................................................................... 34 36 37 39

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 41 5.1 Kondisi lokasi penelitian ................................................................ 5.2 Komposisi Jenis Vegetasi ............................................................... 5.3 Indeks Nilai Penting ....................................................................... 5.3.1 Hutan Alam ........................................................................... 5.3.2 Hutan Tanaman ..................................................................... 5.4 Struktur Tegakan ............................................................................ 5.5 Kandungan Karbon Menurut Struktur Tegakannya ....................... 41 41 44 44 51 53 56

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 62 6.1 Kesimpulan ................................................................................... 62 6.2 Saran ............................................................................................. 62

Daftar Pustaka .................................................................................................... 63 Lampiran ............................................................................................................ 67

DAFTAR TABEL

Komposisi Jenis Vegetasi di Petak Pengamatan Tegakan Tinggal Hutan Alam Blok 7 Site Binungan PT Berau Coal ........................ Tabel 5.2 Komposisi Jenis Vegetasi di Petak Pengamatan Hutan Tanaman Blok 7 Site Binungan PT Berau Coal ............................................. Tabel 5.3 Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Alam pada Tingkat Semai .......... Tabel 5.4 Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Alam pada Tingkat Sapihan ....... Tabel 5.5 Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Alam pada Tingkat Tiang ........... Tabel 5.6 Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Alam pada Tingkat Pohon .......... Tabel 5.7 Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Tanaman pada Tingkat Sapihan . Tabel 5.8 Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Tanaman pada Tingkat Tiang ..... Tabel 5.9 Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Tanaman pada Tingkat Pohon .... Tabel 5.10 Nilai Karbon di Hutan Alam berdasarkan Struktur Tegakannya ... Tabel 5.11 Nilai Karbon di Hutan Tanaman berdasarkan Struktur Tegakannya ......................................................................

Tabel 5.1

41 42 45 46 48 49 51 51 51 59 61

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4

Biomass Expansion Factor .......................................................... Lay out Petak Ukur Penelitian ..................................................... Bagan Alir Penelitian .................................................................. Areal Konsesi Penambangan PT. Berau Coal ............................. Curah Hujan Kab. Berau Pengamatan bulan Januari s/d Juli selama periode 1997-2007 ........................................................... Hari Hujan Pengamatan Bulan Januari s/d Juli selama Periode 1997-2007 .................................................................................... Histogram luas bidang dasar pada masing-masing petak ukur di hutan alam sekunder .................................................................... Luas bidang dasar menurut kelas umur di hutan tanaman .......... Nilai karbon menurut kelas luas bidang dasar di hutan alam ...... Histogram nilai Karbon menurut kelas umurnya di hutan Tanaman ......................................................................................

18 26 33 36 38 39 54 55 57 59

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6.

Hasil Inventarisasi Vegetasi di Hutan Alam ............................... Hasil Inventarisasi Vegetasi di Hutan Tanaman ......................... Rekapitulasi Data Inventarisasi Vegetasi di Hutan Alam ........... Rekapitulasi Data Inventarisasi Vegetasi di Hutan Tanaman ..... Foto-foto Penelitian ..................................................................... Peta Lokasi Penelitian .................................................................

68 83 88 91 94 98

NILAI KARBON HUTAN ALAM DAN TANAMAN MENURUT STRUKTUR TEGAKANNYA (Kasus di PT Berau Coal, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur) Oleh : Al Furqany Widha W1, Ris Hadi Purwanto2, Ronggo Sadono3 INTISARI Biomassa dan karbon merupakan hasil fotosintesis yang tersimpan di dalam jaringan tumbuhan. Nilai keduanya menggambarkan kemampuan kawasan hutan dalam menjalankan fungsi sebagai paru-paru dunia. Lokasi penelitian terdiri dari hutan alam sekunder dan tanaman yang belum diketahui struktur tegakan di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman struktur hutan alam sekunder dan tanaman di kawasan PT Berau Coal, Kalimantan Timur dan mengestimasi kandungan karbon aktual berdasarkan struktur tegakannya. Metode yang digunakan adalah purposive sampling terhadap kawasan hutan di lokasi penelitian. Nilai karbon diperoleh dari kandungan biomassa melalui pendekatan yang dilakukan oleh Brown dan Gaston (1996) dalam Dahlan dkk. (2005). Struktur tegakan hutan alam dikelompokkan melalui pendekatan kelas luas bidang dasar (lbds), sedangkan untuk hutan tanaman terbagi menurut kelas umurnya. Dari hasil penelitian ada empat struktur di hutan alam, yaitu: struktur rendah, struktur sedang, struktur rapat, dan struktur sangat rapat, ada enam struktur di hutan tanaman kawasan PT Berau Coal, yaitu: struktur sangat muda, struktur muda, struktur cukup muda, struktur cukup tua, struktur tua, dan struktur tuae. Nilai karbon di hutan alam berdasarkan struktur tegakannya adalah 495,868 ton/ha untuk struktur rendah, 696,238 ton/ha untuk struktur sedang, 575,61 ton/ha struktur rapat, dan 690,936 ton/ha untuk struktur sangat rapat. Sedangkan nilai karbon di hutan tanaman berdasarkan struktur tegakannya adalah 28,541 ton/ha untuk struktur sangat muda, 23,452 ton/ha untuk struktur muda, 54,494 ton/ha untuk struktur cukup muda, 96,624 ton/ha untuk struktur cukup tua, 119,973 ton/ha untuk struktur tua, dan 200,07 ton/ha untuk struktur tuae. Nilai karbon ditinjau dari struktur tegakannya bergantung pada keragaman jenis, jumlah pohon per hektar, dan luas bidang dasarnya. Kata Kunci : nilai karbon, struktur tegakan

1 2

Mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM Staf Pengajar Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM 3 Staf Pengajar Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM

The Value of Carbon in Natural And Plantation Forest Based on The Structure of its Stands (Case in PT Berau Coal, Berau Residence, Province of East Borneo) By : Al Furqany Widha W1, Ris Hadi Purwanto2, Ronggo Sadono3 ABSTRACT Biomass and carbon was the products of photosynthesis process that was placed in the tissue of plants. Both of them explained the ability of forest region in its function as the carbondioxyde (CO2) absorber. The researched location consisted of natural forest and plantation forest that the structure of its stands was not known yet. The aim of this researched was knowing the structure type of natural forest and plantation forest in region of PT Berau Coal and estimating the actual value of carbon based on its structure of stands Method that used is this researched was purposive sampling about forest region in the researched location. The value of carbon was got from the implied of plants biomass that was found by Brown and Gaston (1996) dalam Dahlan et al. (2005). Stand structure in natural forest was formed through approximation of basal area classification, whereas plantation forest was divided by its age. The resulted of researched was four structures of natural forest, they are low structure, medium structure, dense structure, and very dense structure, then six structure of plantation forest in region of PT Berau Coal, they are very young structure, young structure, young adequate structure, old adequate structure, old structure, and olde structure. The value of carbon based on a stand structure in virgin forest are 495,868 ton/ha for low structure, 696,238 ton/ha for medium structure, 575,61 ton/ha for dense structure, and 690,936 ton/ha for very dense structure. Whereas the value of carbon based on a stand structure in plantation forest are 28,541 ton/ha for very young structure, 23,452 ton/ha for young structure, 54,494 ton/ha for young adequate structure, 96,624 ton/ha for old adequate structure, 119,973 ton/ha for old structure, and 200,07 ton/ha for olde structure. The value of carbon on a stand structure depended on total of various species, amount of trees per ha, and its basal area. Key words: carbon value, stand structure

1

Student of Forest Management, Faculty of Forestry, Gadjah Mada University Lecturer of Forest Management, Faculty of Forestry, Gadjah Mada University 3 Lecturer of Forest Management, Faculty of Forestry, Gadjah Mada University
2

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Hutan berperan sebagai penyerap gas karbondioksida (CO2) melalui proses

fotosintesis. Hasil fotosintesis yang berupa biomassa dan karbon (C) disimpan dalam jaringan tumbuhan. Fotosintesis yang berjalan dengan bantuan energi matahari menyimpan unsur C dari gas CO2 sehingga menghasilkan output berupa oksigen (O2). Fenomena tersebut menjadi hal penting bagi eksistensi lingkungan hidup karena terkait dengan isu di bidang kehutanan dan lingkungan yaitu adanya pemanasan global (global warming). Penyebab pemanasan global adalah adanya akumulasi gas karbondioksida yang berlebih di atmosfer. Di dalam biomassa tegakan hutan, karbon merupakan kandungan dengan persentase mencapai 50 % (Heriansyah,2005). Berkaitan dengan pernyataan di atas, United Nations for Climate Change Convention (UNFCCC) mulai mengembangkan beberapa skema untuk

mengurangi emisi global Gas Rumah Kaca (GRK) yang komponen utamanya adalah karbondioksida yang salah satunya ialah Bali Action Plan. Skema ini bertujuan untuk mendukung negara-negara berkembang dalam upaya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi atau dikenal dengan program Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD). Salah satu emisi terbesar di wilayah tropis adalah deforestasi dan degradasi hutan rawa gambut yang menyimpan cadangan karbon baik di atas maupun di bawah permukaan. Hal

itu disebabkan oleh kombinasi antara penebangan hutan dengan kebakaran dari lahan gambut (Roswiniarti, 2008). Lahan gambut tropis sendiri terdiri dari timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi sempurna, sehingga menyimpan karbon dalam jumlah besar. Kemudian vegetasi yang tumbuh di atasnya akan mengikat karbondioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan menambah simpanan karbon dalam ekosistem tersebut Hutan alam yang terdapat di Pulau Kalimantan didominasi oleh jenis-jenis dipterokarpa. Hutan tersebut pada awalnya merupakan suatu perangkat penting dalam fungsi hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia. Kawasan hutan dipterokarpa ini juga memiliki cadangan batubara yang banyak. Hutan alam tersebut dikonversi menjadi lubang tambang, lahan untuk timbunan tanah, dan lain-lain, sehingga banyak mengurangi luasan hutan alam itu sendiri. PT Berau Coal Kalimantan Timur merupakan perusahaan pertambangan (batubara) dengan wilayah konsesi yang luas. Berdasarkan citra satelit 2000, konsesi PT Berau Coal terbagi dalam beberapa tipe penggunaan lahan. Sebagian besar areal tersebut adalah hutan alam sekunder bekas tebangan pada tahun-tahun sebelumnya oleh aktifitas para pengusaha kayu di Berau (Anonim, 2008b). Wilayah konsesi meliputi area terganggu dan tidak terganggu. Area terganggu terdiri atas tambang aktif, bekas tambang, timbunan, dan reklamasi, sedangkan area tidak terganggu terdiri atas hutan dan non hutan. Alur perubahan fungsi hutan di kawasan ini ialah hutan alam sekunder, tambang aktif, lalu dilakukan reklamasi lahan menggunakan jenis-jenis tertentu menjadi hutan tanaman (Anonim, 2008a). Jenis tanaman meranti (Dipterocarpaceae) mendominasi hutan alam di sekitar

lokasi tambang, sedangkan tanaman pioneer seperti laban (Vitex pubescen), macaranga (Macaranga hypoleuca) dan jabon (Anthocepalus cadamba) serta tanaman herba berupa rumput-rumputan sejenis palawan menandai bekas perladangan masyarakat. Berbeda dengan hutan alam, hutan tanaman dibangun dengan sengaja oleh manusia. Lahan yang digunakan ialah bekas tambang dengan menggunakan topsoil yang disimpan sebelumnya sebagai media tempat tumbuh. Untuk memperbaiki kondisi tanah baik secara fisika maupun biologi maka penanaman tanaman penutup berasal dari jenis kacang-kacangan, serta tanaman pioneer lokal dan eksotik. Penanaman jenis kacang-kacangan diharapkan dapat memperkaya unsur hara dalam tanah dengan penambahan unsur nitrogen, sedangkan spesies lokal dan eksotik diharapkan dapat meminimalkan hilangnya tanah akibat erosi, mempercepat naturalisasi, dan pada saat yang bersamaan dapat memperbaiki struktur tanah (Anonim, 2008b). Vegetasi tingkat pohon hutan tanaman di wilayah penelitian didominasi oleh jenis sengon laut (Paracerianthes falcataria). Dalam perkembangannya, hutan alam sebagai tegakan tinggal dan hutan tanaman sebagai upaya reklamasi lahan bekas tambang harus memiliki kemampuan sepadan untuk menetralkan lingkungan dari emisi yang dilepaskan hasil tambang (batubara) ke atmosfer. Batubara merupakan senyawa yang didominasi unsur C, sehingga mampu melepaskan gas CO2 ke atmosfer dalam proses pembakarannya. Pelepasan tersebut dapat mengakibatkan akumulasi gas CO2 berlebih.

Penggambaran

struktur

tegakan

dapat

direpresentasikan

melalui

kelimpahan jenisnya. Kelimpahan jenis ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan, dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan indeks nilai penting (INP), volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu. Kualitas tegakan juga digambarkan oleh nilai karbon yang ada. Nilai karbon dapat diperoleh dengan menetapkan 50% dari berat biomassanya (Roswiniarti, 2008). Selain metode destructive sampling, biomassa juga dapat diketahui berdasarkan data inventarisasi hutan berupa volume batang pohon (Brown et al, 1989 dalam Brown, 1997). Data volume ini dapat berbicara mengenai dua informasi sekaligus, yaitu: biomassa dan stok karbon.

1.2.

Rumusan Masalah Pelepasan emisi karbon (C) yang terjadi akibat aktivitas pertambangan

batubara tidak dapat terhindarkan. Hal tersebut dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di dunia melalui efek rumah kaca yang dapat ditimbulkannya. Pengelolaan hutan tanaman dan pelestarian hutan alam sekunder dapat menjadi salah satu upaya untuk mengimbangi pengrusakan lingkungan yang sedang melanda. Nilai C suatu jenis tanaman menjadi sangat penting untuk diketahui karena memiliki peran sebagai parameter dalam menginformasikan kemapanan fungsi hutan terutama penyerapan gas CO2.

1.3.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui keragaman struktur hutan alam sekunder dan tanaman di kawasan PT Berau Coal, Kalimantan Timur. 2. Mengestimasi kandungan karbon hutan alam sekunder dan tanaman di kawasan PT Berau Coal, Kalimantan Timur berdasarkan struktur tegakannya. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para stakeholder mengenai kualitas tegakan aktual ditinjau dari struktur tegakan hutan alam sekunder dan tanaman di kawasan konsesi pertambangan PT Berau Coal dan nilai karbon yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat memberikan masukan dalam pengelolaan dan pengembangan hutan dalam jangka waktu kedepan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Hutan
Pengertian hutan yang diberikan Dengler adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologis yang khas serta berbeda dengan areal luarnya (Anonimous, 1997 dalam Irwanto, 2007). Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Menurut Marsono (2004) dalam Irwanto (2007) secara garis besar ekosistem sumberdaya hutan terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: a. Tipe Zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim atau disebut klimaks iklim, seperti hutan tropika basah, hutan tropika musim dan savana. b. Tipe Azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat atau disebut klimaks habitat, seperti hutan mangrove, hutan pantai dan hutan gambut. Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan tropika basah. Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan tropika basah sebagai ekosistem spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara komponen penyusun ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu yang dapat memberikan fungsi tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas biologis yang tinggi, siklus hidrologis

yang memadai dan lain-lain. Secara defacto tipe hutan ini memiliki kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah tersusun oleh partikel lempung yang bermuatan negatif rendah seperti kaolinite dan illite. Kondisi tanah asam ini memungkinkan besi dan almunium menjadi aktif di samping kadar silikanya memang cukup tinggi, sehingga melengkapi keunikan hutan ini. Namun dengan pengembangan struktur yang mantap terbentuklah salah satu fungsi yang menjadi andalan utamanya yaitu ”siklus hara tertutup” (closed nutrient cycling) dan keterkaitan komponen tersebut, sehingga mampu mengatasi berbagai kendala/keunikan tipe hutan ini. Kondisi tanah hutan ini juga menunjukkan keunikan tersendiri. Aktivitas biologis tanah lebih bertumpu pada lapisan tanah atas (top soil). Sanchez memperkirakan bahwa 80% aktivitas biologis tersebut terdapat pada top soil saja. Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hutan tropika basah merupakan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem), karena setiap komponen tidak bisa berdiri sendiri. Disamping itu dijumpai pula fenomena lain yaitu adanya ragam yang tinggi antar lokasi atau kelompok hutan baik vegetasinya maupun tempat tumbuhnya (Irwanto, 2007).

Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat (bervariasi menurut negara) telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1,3 % dari luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi,

meliputi : 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya.

2.2. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Reklamasi adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan, 1997 dalam Tulus, 2008). Ruang lingkup reklamasi lahan meliputi: 1. Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, 2. Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari reklamasi tersebut adalah terciptanya lahan bekas tambang yang kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya (Direktorat Jenderal Mineral Batubara Dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006 dalam Tulus, 2008).

Menurut Sujitno (2007) dalam Tulus (2008), arah dari upaya rehabilitasi lahan bekas tambang ditinjau dari aspek teknis adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah agar stabil dan tidak rawan erosi. Dari aspek

ekonomis dan estetika lahan, kondisi tanah diperbaiki agar nilai/potensi ekonomisnya dapat dikembalikan sekurang-kurangnya seperti keadaan semula. Dari aspek ekosistem, upaya pengembalian kondisi ekosistem ke ekosistem semula. Dalam hal ini revegetasi/reforestisasi adalah upaya yang dapat dinilai mencakup kepada kepentingan aspek-aspek tersebut. Reklamasi hampir selalu identik dengan revegetasi. Upaya revegetasi sebagai bagian dari reklamasi lahan bekas tambang mutlak dilakukan untuk memulihkan lahan dari kerusakan yang terjadi dan membangun keragaman hayati baru, yang akan menjadi tandon stok biodeversiti. Menurut Setiadi (2006) dalam Tulus (2008), tujuan dari revegetasi akan mencakup re-establishment komunitas tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan, perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar, biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air.

2.3. Vegetasi Famili Dipterocarpaceae Dipterocarapaceae merupakan sebuah famili dominan di hutan hujan tropis yang terdiri dari tiga subfamili yaitu : Monotoideae, Dipterocarpoideae, dan Pakaraimeoideae. Penyebaran dari subfamili yang pertama, yang terdiri dari 36 spesies dari dua genus, hanya terbatas di Benua Afrika. Subfamili Pakaraimeoideae terdiri atas satu genus yang hanya terdapat di Republik Guiana, Amerika Selatan. Baru-baru ini Dipterocarpaceae kedua telah ditemukan di

wilayah Araracuara di Kolombia, spesies tersebut belum diberi nama. Subfamili Dipterocarpoideae yang bergetah, terdiri dari 470 spesies dengan 13 genus. Subfamili tersebut tersebar luas di area yang terkenal dalam geografi tanaman sebagai Malesia. Pulau Kalimantan sekarang merupakan pusat dari jenis-jenis Dipterocarpaceae dengan jumlah spesies endemik tertinggi. Kebanyakan anggota dari subfamili Dipterocarpoideae merupakan raksasa hutan dengan tipe bunga yang mahkotanya berada di atas pohon hutan yang lainnya (Smits, 1994). Dipterocarpaceae dapat tumbuh di tanah yang sangat tandus. Namun tipe hutan ini ditemukan terbatas di zona dataran rendah. Di Peninsular Malaysia, tipe hutan Dipterokarpa mulai terlihat dengan jelas di ketinggian 300 meter di atas permukaan laut. Namun berbeda dengan Kalimantan, hutan Dipterokarpa mulai terlihat pada ketinggian 800 meter di atas permukan laut. Dipterocarpaceae merupakan unsur pokok pada hutan hujan dataran rendah di Malesia. Mereka memiliki kemampuan penutupan tajuk sebesar 80%. Penyebaran pohon-pohon Dipterokarpa memiliki tipikal yang merumpun. Beberapa penulis berpikir bahwa tipe penyebaran ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan tebar biji (Smits, 1994).. Dipterocarpaceae merupakan kelompok yang menunjukkan banyak karakter unik yang tidak dimiliki oleh kelompok lain di kawasan hutan hujan tropis. Namun setidaknya masih ada satu famili dari Amerika Selatan yaitu Vochysiaceae, yang menunjukkan banyak kemiripan perilaku morfologi sebagaimana yang dimiliki oleh Dipterocarpaceae, tetapi famili ini tidak pernah

menunjukkan dominasi seperti yang ditunjukkan hutan Dipterokarpa di kawasan hutan Asia Tenggara (Smits, 1994).

2.4. Bahan Tambang (Batubara) Batubara merupakan salah satu jenis bahan bakar untuk pembangkit energi, di samping gas alam dan minyak bumi. Berdasarkan atas cara penggunaannya sebagai penghasil energi diklasifikasikan : a. Penghasil energi primer di mana batubara yang langsung dipergunakan untuk industri misalnya pemakaian batubara sebagai bahan bakar burner; pembakaran kapur, bata, genting; bahan bakar lokomotif; pereduksi proses metalurgi; kokas konvensional; bahan bakar tidak berasap (smokeless fuels). b. Penghasil energi sekunder di mana batubara yang tidak langsung dipergunakan untuk industri misalnya pemakaiannya sebagai bahan bakar padat (briket); bahan bakar cair (konversi menjadi bahan bakar air) dan gas (konversi menjadi bahan bakar gas); bahan bakar dalam industri penuangan logam (kokas). Selain itu batubara dipergunakan bukan sebagai bahan bakar antara lain; sebagai reduktor pada peleburan timah, pabrik ferro nikel, industri besi dan baja; pemurnian pada industri kimia (dalam bentuk karbon aktif); pembuatan kalsium karbida. Secara umum nilai kalor yang dihasilkan 1 ton batubara equivalen dengan 3 bbl. minyak bumi (Sukandarrumidi, 1995).

2.5. Komposisi dan Struktur Tegakan Marsono (1977) menyatakan bahwa komposisi dan struktur tegakan adalah fungsi dari beberapa faktor, yaitu flora di daerah tersebut, habitat, waktu, dan komponen vegetasi. • Flora di daerah tersebut menentukan spesies mana yang mampu hidup di lokasi itu. • Habitat menyeleksi spesies mana yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan di lokasi tersebut. • Waktu menunjukkan lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan suksesi menuju keadaan yang stabil (klimaks). • Komponen vegetasi yang ditentukan oleh adanya kesempatan suatu jenis untuk mengembangkan dirinya. Reksosoedarmo dkk. (1984) dalam Marsono (1977) menyatakan bahwa komposisi vegetasi merupakan keanekaragaman jenis komponen penyusun suatu vegetasi. Komposisi jenis hutan merupakan gambaran dari tingkat penguasaan ruang kehidupan dari masing-masing jenis penyusun di dalam komunitas dan merupakan hasil interaksi dari berbagai komponen kehidupan, baik biotis maupun fisis. Dalam hal ini penyusunnya akan melibatkan unsur-unsur kerapatan individu suatu jenis, luas bidang dasar tiap jenis, frekuensi masing-masing jenis dan kekayaan jenisnya. Anggota penyusun komunitas tumbuhan memiliki bobot yang berbeda, sehingga deskripsi hutan yang menekankan pada komposisi jenis perlu dilengakapi parameter yang menunjukkan bobot jenis penyususnnya, yaitu

parameter kelimpahan. Komposisi jenis vegetasi secara sederhana dapat disajikan dalam bentuk daftar jenis (Kershaw, 1973). Menurut Dansereau (1957) yang dikutip oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), struktur vegetasi diartikan sebagai organisasi individu-individu tumbuhan dalam ruang yang membentuk tegakan, tipe vegetasi atau asosiasi tumbuhan dengan elemen utama bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan lahan. Struktur vegetasi diartikan sebagai susunan tanaman yang mengisi ruangan, baik ruangan vertikal maupun horizontal (Hayammi dan Ruttan, 1971). Struktur vertikal berorientasi pada posisi tajuk dari masing-masing pohon penyusunnya. Sedang struktur horizontal berkaitan dengan tebaran masing-masing pohon penyusunnya. Ini berkaitan erat dengan kompetisi antar individu yang pada akhirnya akan menciptakan dinamisme dalam suatu pertumbuhan vegetasi. Oosting (1956) menyatakan bahwa struktur tegakan dapat dijelaskan dengan struktur kualitatif dan kuantitatif. Struktur kualitatif meliputi persebaran, sosiabilitas, vitalitas,stratifikasi dan periodisitas yang semuanya merupakan hasil observasi dan menggambarkan pengorganisasian dari komposisi serta sudah dievaluasi melalui pengukuran dan perhitungan. Struktur kuantitatif difokuskan pada analisis mengenai kelimpahan atau hubungan kerapatan dengan frekuensi. Dalam analisis ini tiap strata dianalisis secara terpisah. Dalam pengukuran struktur vegetasi secara kuantitatif ini, terdapat tiga parameter penting yang harus diperhatikan, yaitu kerapatan, tutupan (termasuk areal bidang dasar) dan frekuensi (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).

Struktur suatu tegakan berubah-ubah dari tahun ke tahun karena pertumbuhan, kematian, dan penebangan pohon-pohon. Pertumbuhan tegakan merupakan fungsi dari waktu, lingkungan, dan perlakuan. Ketiga faktor tersebut selalu mewarnai tegakan sehingga terjadi dinamika tegakan dari waktu ke waktu yang ditunjukkan oleh pertumbuhan. Untuk mempelajari pertumbuhan tegakan harus diketahui perubahan-perubahan unsur pertumbuhan tegakan (Muddattsir, 1995). Tegakan hutan adalah ruang tumbuh sekelompok pepohonan yang memiliki struktur yang hampir sama dan berasosiasi dengan vegetasi lain dan tunbuh pada tapak dan iklim yang sama. Dinamika tegakan hutan adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur tegakan hutan di dalam kurun waktu, termasuk karakter tegakan sebelum dan sesudah gangguan yang terjadi pada tegakan hutan tersebut. Struktur tegakan adalah distribusi fisik dan sementara dari pohon-pohon dan tanaman lain yang berada dalam tegakan hutan. Distribusi tegakan dapat digambarkan melalui spesies; oleh umur tanaman; termasuk volume tajuk, leaf area index, dan hal lain yang berhubungan atau kombinasi antara hal-hal yang telah disebutkan (Oliver, 1996).

2.6. Pemanasan Global Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperature rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi yang disebabkan oleh aktivitas manusia atau proses alam. Para ilmuwan telah menghitung bahwa temperature rata-rata global

pada permukaan bumi telah meningkat 0,74 ± 0,18 0C (1,33 ± 0,32 0F) selama seratus tahun terakhir (Al-Adnani, 2008). Salah satu penyebab kenaikan CO2 yang merupakan gas rumah kaca terpenting ialah penebangan hutan dan pembakaran biomassanya serta konversi hutan menjadi lahan non hutan. Kondisi seperti ini menyebabkan karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan terlepas ke dalam atmosfer dan kemampuan bumi untuk menyerap gas CO2 dari udara melalui fotosintesis hutan menjadi berkurang. Kemampuan penyerapan gas CO2 dan penyimpanan karbon disebut endapan karbon (carbon sink). Setelah hutan ditebang, sinar matahari dapat langsung mengenai permukaan tanah. Dengan kenaikan suhu itu dekomposisi bahan organik di atas dan di dalam tanah dipercepat, sehingga terlepaslah karbon yang tersimpan dalam bahan organik itu (Soemarwoto, 1992). Pengalihfungsian lahan seperti pembukaan lahan hutan menjadi lahan pertanian dan sebagainya merupakan salah satu penyebab meningkatnya kadar CO2 di atmosfer. Namun, yang menjadi penyebab utama dari meningkatnya kadar CO2 di atmosfer adalah pembakaran bahan bakar fosil (Dale, 1994). Zat pencemar yang ada di udara dapat merusakkan tanaman. Tanaman membutuhkan oksigen untuk pernafasan, sinar matahari untuk asimilasi, dan zat kimia yang lain untuk dihisap melalui akar. Akan tetapi zat pencemar masuk ke dalam pori-pori daun, di sini zat tersebut merusak sel-sel daun dan menutupi jalan sinar matahari. Disamping itu iklim menjadi sangat terpengaruh oleh adanya zat pencemar di udara (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro, 1985).

Menurut Murdiyarso (2003) gas rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan Nitrous oksida (N2O). Diantara ketiga gas tersebut kontribusi terbesar terhadap pemanasan global adalah gas karbondioksida yaitu sebesar 55%. Untuk itu pengurangan gas CO2 sangat penting dilakukan, sebab kenaikan suhu bumi akan berakibat pada perubahan pola hujan yang selanjutnya menyebabkan terjadinya banjir, kekeringan maupun kenaikan permukaan air laut sebagai akibat mencairnya es di daerah kutub. Kenaikan suhu bumi yang diprediksi oleh Hough dkk. (1992) dalam Murdiyarso (2003) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun mendatang kenaikan konsentrasi GRK setara dengan CO2 yang akan menyebabkan peningkatan suhu permukaan bumi sekitar 3 0C. Perubahan ini akan berpengaruh luas terhadap berbagai aspek kehidupan manusia.

2.7. Biomassa Tumbuhan Biomassa adalah total berat bahan-bahan organik hidup dan telah mati yang dihasilkan pada suatu populasi atau pada suatu ekosistem dalam suatu area pada waktu tertentu (Kimmins, 1987 dalam Woeseno, 2002). Menurut Soekotjo (1976) dalam Woeseno (2002), biomassa adalah jumlah bahan organik yang terdapat pada suatu pengukuran dan dinyatakan dalam satuan bobot per satuan luas, misalnya kg/ha. Selanjutnya juga diterangkan bahwa dalam suatu ekosistem hutan, biomassa terdapat pada 5 kelompok utama; 1) jaringan-jaringan atas dan bawah dari tetumbuhan over dan understorey, 2) sisa-sisa batang pokok berkayu

yang telah mati dan tumbang, 3) lantai hutan, 4) tanah mineral, dan 5) jaringanjaringan dari organism heterotrofik (dekomposer dan konsumen). Energi yang diubah oleh proses fotosintesis tidak seluruhnya dikonversi menjadi biomassa, namun sebagian dibebaskan oleh proses respirasi untuk mensuplai energi yang digunakan sebagai aktivitas metabolism tumbuhan (Barbour, dkk., dalam Woeseno, 2002). Gardner, dkk. (1985) dalam Woeseno (2002) juga menyebutkan bahwa berat kering total/biomassa hasil panen merupakan akibat penimbunan hasil bersih asimilasi gas CO2 sepanjang musim pertumbuhan.

2.8 Biomass Expansion Factor (BEF) Biomass expansion factor didefinisikan sebagai perbandingan antara biomassa total di atas tanah dengan biomassa terukur hasil inventarisasi tegakan. Biomassa batang terukur diperoleh dengan mengalikan volume per hektar dengan wood density (WD). Biomass expansion factor dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengetahui nilai biomassa total di atas tanah, namun dengan terlebih dahulu memiliki data volume hasil inventarisasi hutan yang kemudian diubah menjadi data biomassa batang terukur. Biomassa total yang dimaksud disini ialah total bahan organik diatas tanah yang terdapat di bagian pohon seperti daun, ranting, cabang, batang utama, dan kulit kayu, tanpa akar (FAO, 1998 dalam Garzuglia, 2003). Hubungan antara BEF dengan biomassa batang terukur dapat dilihat dari gambar berikut ini.

Biomassa Batang Terukur =x

Biomassa Batang Terukur (ton/ha) Gambar 2.1. Biomass Expansion Factor Rumus untuk mencari nilai BEF ialah: BEF= Exp {3.213-0.506 x Ln (Biomassa Batang Terukur)} untuk Biomassa Batang Terukur ≥ 190 ton/ha 2003) 2.9. Karbondioksida (CO2) Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau, dan sungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua, yang timbul dari berbagai proses alami seperti; letusan vulkanik, pernapasan hewan dan manusia (menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida), dan pembakaran material organik. BEF=1.74 (Garzuglia,

Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya (AlAdnani, 2008).

Karbondioksida dapat diproduksi melalui pembakaran bahan bakar yang mengandung karbon seperti arang, minyak bumi, dan kayu. Gas CO2 tidak beracun, tetapi pada konsentrasi yang terlalu tinggi dalam udara adalah tidak sehat karena merendahkan konsentrasi oksigen dan mempunyai efek fisiologis yang membahayakan (Keenan, dkk. 1984). Tjasjono (1999) menguraikan bahwa karbondioksida merupakan bentuk akhir karbon sebagai hasil bahan bakar fosil yang sempurna dan mempunyai waktu tinggal di atmosfer sekitar 4 sampai 6 tahun sehingga dapat menyebabkan meningkatnya pengaruh efek rumah kaca, oleh karena itu peningkatan konsentrasi karbondioksisa yang semakin bertambah merupakan salah satu faktor penting penyebab perubahan iklim bumi. Gas karbondioksida di atmosfer secara terus menerus dapat dikurangi melalui proses fotosintesis dalam tumbuhan, oleh pembentukan batuan karbonat, dan oleh pembentukan kulit binatang air. Saat ini, konsentrasi CO2 di atmosfer makin meningkat karena aktivitas industri dan pertanian yang tinggi. Keenan dkk. (1984) menyatakan pembakaran bahan bakar yang mengandung karbon menghasilkan 6 x 109 ton per tahun; pengalihfungsian lahan menjadi kawasan non hutan telah mengurangi kapasitas biosfer untuk menggunakan CO2 sekitar 2 x 109 ton per tahun karena lahan garapan kurang efisien dalam fotosintesis daripada lahan berhutan. Tumbuhan hijau menyerap CO2 untuk proses fotosintesis. Hutan yang tersusun atas berbagai jenis pohon dapat menyerap karbondioksida lebih banyak daripada lahan rumput atau lahan dengan tipe vegetasi lain. Gas karbondioksida

bersama beberapa gas lain seperti metana bergabung dengan uap air membentuk suatu lapisan yang menyelubungi bumi, dikenal dengan atmosfer yang berperan dalam mempertahankan kestabilan kehangatan suhu bumi (Soemarwoto, 1992). Pada kondisi normal, sebagian panas yang dipancarkan matahari akan diserap oleh permukaan bumi, sebagian lagi akan dikeluarkan dan beberapa darinya akan dipantulkan kembali ke bumi. Dengan demikian, kehangatan suhu bumi dapat stabil. Namun dalam kondisi lingkungan yang buruk seperti tingginya angka penebangan hutan dan pembakaran bahan bakar fosil akan meningkatkan kandungan CO2 sehingga juga akan meningkatkan efek rumah kaca. Tingginya kandungan CO2 akan membuat selubung bumi menjadi lebih pekat. Akibatnya, panas matahari akan lebih banyak terperangkap di permukaan bumi yang mengakibatkan suhu permukaan bumi akan meningkat (Singer dan Purwanto, 2006).

2.10. Fotosintesis Fotosintesis adalah proses produksi karbohidrat yang berasal dari bahan anorganik melalui transformasi energi matahari menjadi energi kimia. Fotosintesis sering dikatakan sebagai proses kimia satu-satunya di bumi yang sangat penting, hal ini dapat terlihat pada stabillitas konsentrasi oksigen dan karbondioksida atmosfer tergantung pada proses fotosintesis di lautan dan daratan (Suginingsih, 2004).

Lisnawati (2008) menyebutkan bahwa secara sederhana, siklus karbon di atmosfer bumi terdiri dari dua jenis reaksi, yaitu: a. Reaksi ini terjadi misalnya pada pernapasan makhluk hidup atau hampir segala hal yang berhubungan dengan pembakaran. Senyawa karbon + oksigen karbondioksida + energi.

b. Reaksi ini terjadi pada tumbuhan dengan bantuan sinar matahari. Tumbuhan menyerap karbon dari atmosfer dan mengubah karbon menjadi karbohidrat. Karbondioksida + energi oksigen. Darmono (2001) menuliskan hampir semua tumbuhan membuat nutrisi organik yang mereka perlukan melalui fotosintesis. Proses tersebut dilakukan dengan jalan menyerap energi dari sinar matahari yang digunakan untuk reaksi karbondioksida (CO2) dengan air. CO2 didapat dari udara sedangkan air didapat dari tanah atau air disekitarnya. Hasil proses reaksi kimiawi tersebut ialah karbohidrat (C6H12O6) dan unsur nutrisi lain. Dari proses tersebut terlihat bahwa energi radiasi dari sinar matahari diubah menjadi energi kimia yang disimpan sebagai glukosa dan unsur nutrisi lain dalam tanaman. Beberapa produsen, terutama jenis bakteri dapat mengambil bahan anorganik dari lingkungannya dan mengubahnya menjadi bentuk organik tanpa hadirnya sinar matahari. Proses tersebut dinamakan kemosintesis (Darmono, 2001). Kecepatan positif fotosintesis dicatat di pagi hari bila intensitas cahaya melebihi titik kompensasi. Pada awal pagi stomata membuka, suhu rendah, air senyawa karbon +

tersedia penuh, jaringan menjadi turgor, dan kandungan CO2 udara di atas ratarata karena angin dan arus konveksi belum menghamburkan CO2 yang diproduksi pada malam hari oleh tumbuhan, dekomposisi bahan organik, dan respirasi tanah. Kecepatan fotosintesis secara normal bertambah sebanding langsung dengan intensitas cahaya. Sebelum tengah hari fotosintesis telah mencapai maksimalnya dan mulai menurun karena suhu di bawah optimal, potensi air tumbuhan menurun, sebagian stomata menutup, dan kemungkinan hasil fotosintesis terakumulasi (Suginingsih, 2004).

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah konsesi pertambangan PT Berau Coal Kalimantan Timur sebagai berikut: i. Tegakan tinggal hutan alam dipterokarpa di blok 7 site Binungan PT Berau Coal. ii. Hutan tanaman di blok 7 site Binungan PT Berau Coal. 3.1.2. Waktu Penelitian Inventarisasi tegakan dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2009.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: • Rollmeter, Shuunto Kompas, Patok, dan Tali Rafia untuk membuat petak ukur. • • • Pitameter untuk mengukur diameter batang pohon. Spiegel Relaskop untuk mengukur tinggi pohon. GPS receiver untuk mengetahui titik-titik koordinat lokasi penelitian.

3.2.2. Bahan Penelitian a. Data Primer Data primer yang dikumpulkan untuk penelitian ini meliputi : • • • • Jenis pohon Diameter batang setinggi dada (1,3 m) Tinggi total Tinggi batang bebas cabang.

b. Data Sekunder Data sekunder yang diperoleh dari instansi-instansi terkait, meliputi : • • • • • Peta situasi pemantauan dan pengelolaan lingkungan Luasan lahan Berat jenis (wood density) tiap spesies Konstanta konversi biomassa-nilai karbon Data-data pendukung yang lain.

3.3. Metode Pengambilan Sampel Sebanyak dua belas petak pengamatan disebar di lokasi penelitian dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu memilih dengan sengaja daerah yang dinilai sesuai dengan kasus yang akan diteliti. Posisi dari masing-masing petak tersebar sebagaimana yang tampak pada Peta Situasi Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan PT Berau Coal. Terdapat beberapa kriteria untuk pemilihan lokasi petak ukur di lapangan, antara lain:

a. Petak ukur diletakkan tersebar di Blok 7 Site Binungan b. Tegakan yang dipilih memiliki luasan yang cukup dengan kondisi yang baik (tidak ada kerusakan akibat faktor manusia atau alam; stratifikasi tajuk lengkap; kepadatan tegakan yang baik) c. Pembuatan petak ukur diletakkan jauh di dalam tegakan d. Untuk hutan alam yang memiliki topografi berbukit-bukit, petak pengamatan satu dengan yang lain tidak diletakkan pada bukit yang sama atau berdekatan e. Untuk hutan tanaman, posisi petak ukur menyesuaikan kelas umur yang ada karena masing-masing petak mewakili tiap kelas umur yang ada

Metode pengambilan sampel yang dilakukan meliputi: a. Inventarisasi tegakan tinggal hutan alam dipterokarpa yang tersebar di blok 7 site binungan PT Berau Coal: • Terdiri dari 6 ulangan dimana setiap ulangan dibuat petak ukur persegi berukuran 20x20 m untuk inventarisasi pohon, 10x10m untuk inventarisasi tiang, 5x5m untuk inventarisasi sapihan dan 2x2m untuk inventarisasi semai.

2m 5m

10 m

20 m

Gambar 3.1. Lay out Petak Ukur Penelitian. • Variabel pertumbuhan yang diukur berupa diameter batang setinggi dada (DBH), tinggi batang bebas cabang (TBBC), tinggi total pohon, dan jenis pohon. • Pengukuran diameter batang setinggi 1,3 m hanya diterapkan pada vegetasi dengan tinggi dan fenotip yang normal. Untuk semai dan sapihan yang memiliki tinggi dibawah 1,3 m, pengukuran diameter batang dilakukan dengan cara :

i. 10 cm di atas permukaan tanah untuk semai. ii. Pangkal percabangan utama untuk sapihan. • Tingkatan hidup pohon menurut Supriyadi (2005), terdiri dari : 1) Semai (seedling), mempunyai tinggi sampai 1,5 m.. 2) Sapihan (sapling), mempunyai tinggi > 1,5 m dan diameter batang setinggi dada < 10cm. 3) Tiang (poles), mempunyai diameter batang setinggi dada antara 10 – 20 cm. 4) Pohon (trees), mempunyai diameter batang setinggi dada > 20 cm. b. Inventarisasi hutan tanaman yang tersebar di blok 7 site binungan PT Berau Coal • Hutan tanaman dibagi menjadi 3 umur reklamasi, yaitu awal, tengah, dan lanjut. Masing-masing umur reklamasi diambil 2 ulangan dimana setiap ulangan dibuat petak ukur persegi berkuran 20 x 20 m untuk inventarisasi pohon, 10x10m untuk inventarisasi tiang, 5x5m untuk inventarisasi sapihan dan 2x2m untuk inventarisasi semai (lihat Gambar 3.1). Keterangan : Awal Tengah Lanjut = 1-2 tahun = 3-4 tahun = 5-6 tahun

• Variabel pertumbuhan yang diukur berupa diameter batang setinggi dada (DBH), tinggi batang bebas cabang (TBBC), tinggi total pohon, dan jenis pohon.

• Tingkatan hidup pohon menurut Supriyadi (2005), terdiri dari : 1) Semai (seedling), mempunyai tinggi sampai 1,5 m.. 2) Sapihan (sapling), mempunyai tinggi > 1,5 m dan diameter batang setinggi dada < 10cm. 3) Tiang (poles), mempunyai diameter batang setinggi dada antara 10 – 20 cm. 4) Pohon (trees), mempunyai diameter batang setinggi dada > 20 cm. 3.4. Analisis Data 3.4.1. Estimasi Nilai Karbon • Pengukuran volume pohon dilakukan dengan rumus yang disebutkan oleh Muhdin (2003) Volume Pohon = [ 0,25 . π . D2 . t . f ] Keterangan : D = Diameter setinggi dada t = Tinggi pohon f = Faktor Koreksi ; 0,7 untuk Hutan Alam (Kapisa, 1984) ; 0,595 untuk tegakan Sengon (Masayu, 2007) • Penghitungan biomassa batang (BV) di atas permukaan tanah BV = volume x wood density (Garzuglia, 2003) Wood density diperoleh dari Anonim (2009)



Penghitungan Biomass Expansion Factor (BEF) BEF didefinisikan sebagai perbandingan antara biomassa total pohon di atas tanah dengan biomassa batang terukur. BEF= Exp {3.213-0.506 x Ln (BV)} untuk BV ≥ 190 ton/ha BEF=1.74 (Garzuglia, 2003)

• Penghitungan biomassa total (W) di atas permukaan tanah yang juga mencakup cabang, ranting, dan daun dapat diperoleh dengan mengalikan biomassa batang dengan nilai Biomass Expansion Factor (BEF). W = BV x BEF • Penghitungan stok karbon menurut Brown dan Gaston (1996) dalam Dahlan dkk. (2005) dilakukan dengan rumus : Y = 0,5 x W Keterangan : Y = Kandungan karbon di atas permukaan tanah (ton) W = Total biomassa (ton)

3.4.2. Komposisi dan Struktur Vegetasi Informasi mengenai komposisi jenis secara sederhana umumnya berupa susunan daftar nama jenis dan jumlah jenis yang terdapat dalam suatu komunitas tumbuhan. Penyajian informasi komposisi jenis dapat menggunakan tabel yang berisikan daftar nama jenis, famili dan bila perlu disertai habitusnya. Komposisi jenis suatu komunitas pada hakikatnya merupakan gambaran tingkat penguasaan ruang hidup dari masing-masing jenis penyusun di dalam komunitas tersebut. Dalam hal ini penyusunnya akan melibatkan unsur-unsur kerapatan individu suatu jenis, luas bidang dasar tiap jenis, frekuensi masing-masing jenis, dan kekayaan

jenisnya (Marsono, 1977). Kerapatan menunjukkan jumlah individu suatu jenis dalam tiap unit area. Contohnya, jika suatu jenis memiliki 1000 individu dalam suatu area yang memiliki luas 10 ha, Kerapatan jenis tersebut adalah 100 individu/ha. Kemudian Frekuensi menandakan jumlah sampel tempat ditemukan suatu jenis. Sebagai contoh, jika dalam suatu jenis ditemukan 7 sampel dan keseluruhan sampel adalah 10, Frekuensi jenis tersebut adalah 70 %. Sementara itu tutupan adalah daerah yang diselubungi oleh suatu jenis. Untuk tumbuhan tingkat pohon, tutupan dapat diproyeksikan Luas Bidang Dasar pohon pada permukaan tanah. Tutupan untuk tingkat pohon dengan pendekatan luas bidang dasar lazim disebut Dominasi (Brower dan Zar, 1979 dalam Hanif, 2006). Pengembangan lebih lanjut dari ketiga ukuran suatu jenis yang bersifat absolut tersebut menghasilkan ukuran-ukuran relatif jenis tersebut terhadap keseluruhan jenis dalam komunitas, yaitu Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, dan Dominasi Relatif. Kerapatan Relatif adalah jumlah keseluruhan individu dari suatu jenis yang diungkapkan sebagai sebuah proporsi atau prosentase dari jumlah keseluruhan individu seluruh jenis. Kemudian Frekuensi relatif suatu jenis adalah frekuensi suatu jenis dibagi jumlah frekuensi seluruh jenis dalam komunitas. Dominasi relatif suatu jenis adalah proporsi dominasi jenis tersebut yang dibagi dominasi seluruh jenis yang ada dalam komunitas tersebut. Informasi mengenai struktur vegetasi penyusun suatu komunitas dapat mencakup penilaian terhadap kelimpahan dan susunan vertikal maupun horisontal jenis-jenis penyusun komunitas tersebut (Loveless, 1989). Kedua aspek dalam struktur vegetasi tersebut saling berkaitan, akan tetapi dengan alasan kemudahan

seringkali penilaian struktur vegetasi hanya menggunakan salah satu aspek vegetasi saja. Analisis struktur vegetasi umumnya menggunakan penilaian terhadap kelimpahan jenis, oleh karena itu dalam penelitian mengenai struktur vegetasi memerlukan perhitungan terhadap Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominasi, Dominasi Relatif, dan INP dari jenis-jenis yang dijadikan sampel (Soerianegara, 1972). Indeks Nilai Penting yang terdapat dalam suatu tegakan dapat merepresentasikan dominasi jenis pada tegakan tersebut. Jenis-jenis yang mendominasi dapat berpengaruh terhadap nilai karbon tegakan dengan nilai wood density yang dimiliki masing-masing jenis tersebut. Ketika jenis yang mendominasi suatu tegakan memiliki nilai wood density yang tinggi, maka nilai karbon tegakan memiliki potensi yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Rumus-rumus analisis struktur vegetasi menurut Cox dalam Marsono dan Supriyadi (2002), yaitu : Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis Luas semua petak ukur Kerapatan suatu jenis x 100 % Jumlah kerapatan semua jenis Jumlah PU ditemukan suatu jenis Jumlah semua petak ukur = Frekuensi suatu jenis Jumlah frekuensi suatu jenis Luas bidang dasar suatu jenis Luas semua petak ukur x 100 %

Kerapatan Relatif =

Frekuensi Frekuensi Relatif

=

Dominasi

=

Dominasi

=

Dominasi suatu jenis x 100 % Jumlah dominasi seluruh jenis

Kelimpahan ditentukan berdasarkan nilai INP tiap jenis, yaitu : • Untuk pohon : INP = KR + FR + DR, nilai maksimal 300 %. • Untuk semai, sapihan, dan tiang : INP = KR + FR, nilai maksimal 200 %. Klasifikasi struktur tegakan untuk hutan alam menggunakan luas bidang dasar, sedangkan hutan tanaman menggunakan kelas umur tegakan.

3.5. Bagan Alir Penelitian

Data Primer
Observasi dan Inventarisasi tegakan

Data Sekunder
Faktor Ekspansi Biomassa (BEF)

Data Wood Density Data hasil inventarisasi tegakan

Analisis struktur tegakan

Perhitungan Volume Batang

Biomassa Batang

Stok Karbon

Total Biomassa di atas tanah

Evaluasi

Feedback

Keterangan: = input = proses = output

Gambar 3.2. Bagan Alir Penelitian

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1.

PT. Berau Coal Sebagai perusahaan berbadan hukum, PT. Berau Coal resmi berdiri pada

tanggal 5 April 1983, kemudian memperoleh kontrak karya penambangan batubara nomor J2/JI.DU/12/83 pada tanggal 26 April 1983 dengan PN Tambang Batubara. Dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan, organisasi merupakan alat yang sangat diperlukan oleh suatu perusahaan. Setiap perusahaan harus menentukan bentuk organisasi yang tepat untuk perusahaan itu sendiri. Struktur organisasi suatu perusahaan merupakan hal yang penting, hal itu dapat memberikan penjelasan kepada anggota mengenai tugas dan fungsi masingmasing anggota dan wewenang serta tanggung jawab sehingga pada hakekatnya struktur organisasi itu akan merupakan pola tertentu untuk melaksanakan suatu aktivitas. Organisasi PT. Berau Coal saat ini terus disempurnakan dan dilakukan secara berkesinambungan, yang bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan nyata dalam bisnis tambang batubara. PT. Berau Coal saat ini memiliki tiga lokasi karya yang mencakup operasi tambang, lokasi produksi, lokasi eksplorasi maupun kantor (Head Office Kabupaten Berau dan Jakarta). Adapun tiga lokasi penambangan dan produksi, yaitu :

1.

Lati Mine Operation (LMO), berproduksi sejak tahun 1993 berada di wilayah Desa Sembakungan, Kecamatan Gunung Tabur. Lati area berjarak 35 km dari arah timur kota Tanjung Redeb, yang sebagian wilayahnya berada di tepi Sungai Lati arah hilir. Dapat dicapai dengan menggunakan transportasi air selama ± 30 menit dan darat selama ± 30 menit.

2.

Binungan Mine Operation (BMO), berproduksi sejak tahun 1995. berada di wilayah Desa Pegat Bukur Kecamatan Sambaliung. Lokasi ini dapat dicapai lewat sungai dan jalan darat dari kota Tanjung Redeb, dengan menggunakan jalan air dapat ditempuh selama ± 45 menit dan dengan jalan darat selama ± 1.5 jam yang berjarak 30 km dari kota Tanjung Redeb. Area stockpile selain di Binungan juga ada di Suaran yang berjarak 30 km yang merupakan area stockpile dari batubara binungan yang akan dikapalkan (barging).

3.

Sambarata Mine Operation (SMO), merupakan area tambang baru yang mulai berproduksi pada tahun 2001. Lokasi ini dicapai melalui jalur Sungai Segah dan jalan darat.

Gambar 4.1. Areal Konsesi Penambangan PT. Berau Coal PT Berau Coal dalam wilayah konsesinya hanya bertanggung jawab pada penyediaan bahan mentah batubara dalam kualitas yang diinginkan. Aktivitas tambang dimulai dari pengerukan langsung batubara di lapangan, lalu batubara yang didapatkan diangkut ke Crusher Power Plant (CPP) untuk dihancurkan (crushing) menjadi bahan baku yang lebih halus (seperti pasir), kemudian dari CPP batubara diangkut ke terminal pengapalan yang bernama Suaran. Hasil berupa batubara murni tersebut lalu dikumpulkan pada satu titik untuk dilakukan pengapalan (transhipment), kemudian disalurkan ke segala penjuru baik dalam negeri Indonesia maupun konsumen di luar negeri.

4.2.

Letak, Batas dan Luas Wilayah Secara geografis, wilayah kontrak kerja PT. Berau Coal berada pada posisi

01o52’26.67’’ LU- 02o25’09.78’’ LU dan 117o07’44.52’’ BT- 117o38’26.46’’ BT. PT. Berau Coal memiliki perjanjian kontrak karya dengan pemerintah Indonesia, dalam perjanjian kontrak karya tersebut daerah konsesi tambang batubara PT. Berau Coal seluas 121.589,10 Ha, meliputi hampir seluruh wilayah Kabupaten Berau di Kalimantan Timur. Adapun batas-batas wilayah adalah: 4.3. Utara Timur Selatan Barat : Kab. Bulungan : Laut Sulawesi : Kab. Kutai Timur : Kab. Malinau, Kutai Barat, Kutai Kartanegara

Keadaan Curah Hujan Dari data pengamatan curah hujan dan hari hujan periode 10 tahun terakhir

(1997-2007) oleh Badan Meteorologi Dan Geofisika Stasiun Meteorologi Tanjung Redeb Bandara Kalimarau (Tulus, 2008), telah didapatkan bahwa rata-rata curah hujan tahunan adalah 2.176,74 mm dengan rata-rata hari hujan tahunan 216,30 hari. Pada periode pengamatan 1997-2007 tersebut, rata-rata curah hujan tahunan mencapai puncaknya pada bulan Desember (243 mm) dan bulan Januari (228 mm), sedangkan rata-rata curah hujan bulanan minimum terjadi pada bulan Agustus (127 mm) dan September (129 mm).

Tahun

Gambar 4.2 Curah Hujan Kab. Berau Pengamatan bulan Januari s/d Juli selama periode 1997-2007 (Sumber: BAPELDA Kab. Berau) Pada tahun 2007 hasil pengamatan kualitas udara yang tersedia baru sampai dengan bulan Juli. Dari data tersebut menunjukkan bahwa, jumlah curah hujan mencapai 2.032,10 mm dengan rata-rata bulanan 290,30 mm dan rata-rata hari hujan setiap bulan 21,70 hari. Kondisi ini melebihi jumlah curah hujan pada periode yang sama Tahun 2006 yang tercatat 1.247,00 mm dengan rata-rata bulanan 178,14 mm dan rata-rata hari hujan setiap bulan 20,00 hari. Sebagai perbandingan curah hujan tahunan selama periode waktu 1997 sampai dengan 2007, Gambar 4.2. menunjukkan hasil pengamatan jumlah curah hujan pada posisi pengamatan Januari s/d Juli.Sedangkan hasil pengamatan jumlah hari hujan tahunan selama periode waktu 1997 sampai dengan 2007 pada posisi Januari s/d Juli, ditunjukkan pada Gambar. 4.3.

Tahun

Gambar 4.3. Hari Hujan Pengamatan Bulan Januari s/d Juli selama Periode 19972007 (Sumber: BAPELDA Kab. Berau)

4.4.

Jenis Tanah Berdasarkan dokumen AMDAL PT Berau Coal, di lokasi penelitian

terdapat dua jenis tanah yaitu: Fluvisols (FAO) atau Entisols (USDA) yang mendominasi kawasan tambang ini dan penyebarannya dapat dijumpai pada dataran sungai. Kesuburan tanah umumnya rendah, karena tanah-tanah di daerah ini mempunyai pH H2O antara 2,5-4,8 dan pH KCl antara 2,3 -3,7. Perbedaan nilai pH antara 0,2 sampai 1,4. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kompleks jerapan tanah yang masih mampu mempertukarkan ion-ion yang terdapat pada larutan tanah dalam jumlah yang terbatas. Kemasaman yang cukup tinggi pada kedalaman sampai dengan 0,5 m, kemungkinan disebabkan oleh proses podsolisasi yaitu proses perombakan bahan organik (tumbuhan) yang kemudian diserang cendawan, dimana hasil metabolisme dapat menghasilkan asam organik kuat dan kompleks.

Tekstur tanah umumnya lempung berliat (clay loam) sampai liat (clay) dimana kadar liat makin meningkat di lapisan bawah. Perbandingan fraksi tanah secara megaskopik adalah fraksi pasir + 30 % dan fraksi debu + 40 %. Makin ke bawah persentase fraksi liat terlihat meningkat, sedangkan kedua fraksi lainnya menurun (Anonim, 2008b).

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah dataran rendah yaitu di hutan alam sekunder (tegakan tinggal) dan hutan tanaman, Blok 7, Site Binungan, PT Berau Coal Kalimantan Timur. Daerah Binungan pada umumnya beriklim tropis, musim hujan dan musim kemarau saling bergantian sepanjang tahun dengan suhu udara yang berkisar antara 250-300 Celcius (Anonim, 2008b). Hutan alam sekunder yang dimaksud merupakan tegakan tinggal hutan alam bekas tebangan perusahaanperusahaan kayu yang saat ini sudah tidak beroperasi lagi, operasi kayu di hutan tersebut gencar dilakukan pada tahun 1980 hingga 1990. Sedangkan hutan tanaman merupakan tegakan homogen yang terbentuk dari upaya revegetasi di lahan bekas tambang. 5.2. Komposisi Jenis Vegetasi Berdasarkan hasil inventarisasi jenis vegetasi berhabitus pohon di hutan alam diperoleh data mengenai daftar jenis vegetasi yang terdapat pada lokasi penelitian seperti tercantum dalam tabel berikut. Tabel 5.1. Komposisi Jenis Vegetasi di Petak Pengamatan Tegakan Tinggal Hutan Alam Blok 7 Site Binungan PT Berau Coal.
No 1 2 3 4 5 Nama botanis Shorea ovalis Vatica umbonata Shorea laevis Myristica lowiana Dipterocarpus sp. Nama Indonesia Meranti merah Resak Bengkirai Kayu pala Keruing Nama Lokal Meranti merah Rasak Bengkirai Kayu pala Keruing Famili Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Myristicaceae Dipterocarpaceae

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Shorea hypochra Palaquium sp. Artocarpus odoratissimus Strychnos lucida Shorea gibbosa Delonix regia Diospyros sp. Gluta renghas Dracontomelon costatum Gymnacranthera bancana Durio sp. Nephelium lappaceum Macaranga hypoleuca Tamarindus indica Shorea pinanga Garcinia mangostana Artocarpus integer Dryobalanops sp. Polyalthia glauca Cinnamomum sp. Koompasia malacensis Eusideroxylon zwagery

Meranti putih Nyatoh Terap Kayu ulas Meranti kuning Flamboyan Kayu hitam Rengas Singkuang Mendarahan Durian hutan Rambutan Macaranga Kayu asam Tengkawang Manggis hutan Cempedak Kapur Banitan Medang Kempas Ulin

Meranti putih Nyatu Terap Kayu ulas Meranti kuning Flamboyan Kayu hitam Rengas Singkuang Darah-darah Durian hutan Rambutan Macaranga Kayu asam Tengakawang Manggis hutan Cempedak Kapur Banitan Madang Impas Ulin

Dipterocarpaceae Sapotaceae Moraceae Loganiaceae Dipterocarpaceae Leguminosae Ebenaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Myristicaceae Bombacacea Sapindaceae Euphorbiaceae Leguminosae Dipterocarpaceae Guttiferae Moraceae Dipterocarpaceae Annonaceae Lauraceae Leguminosae Lauraceae

Sedangkan dari hasil inventarisasi jenis vegetasi berhabitus pohon di hutan tanaman diperoleh data mengenai daftar jenis vegetasi seperti tercantum dalam tabel berikut. Tabel 5.2. Komposisi Jenis Vegetasi di Petak Pengamatan Hutan Tanaman Blok 7 Site Binungan PT Berau Coal.
No 1 2 Nama botanis Enterolubium cyclocarpum Paracerianthes falcataria Nama Indonesia Sengon Buto Sengon Laut Nama Lokal Sengon Buto Sengon Laut Famili Leguminosae Leguminosae

Berdasarkan Tabel 5.1 dan 5.2 dapat diketahui bahwa jenis pohon yang terdapat pada keseluruhan lokasi pengamatan di hutan alam berjumlah 27 (dua puluh tujuh) jenis, sedangkan di hutan tanaman hanya memiliki dua jenis. Keseluruhan jenis pohon tersebut mencakup berbagai famili tumbuhan, seperti Dipterocarpaceae, Myristicaceae, Sapotaceae, Moraceae, Loganiaceae,

Leguminosae,

Ebenaceae,

Anacardiaceae,

Bombacaceae,

Sapindaceae,

Euphorbiaceae, Guttiferae, Annonaceae, dan Lauraceae untuk hutan alam, serta satu famili Leguminosae untuk hutan tanaman. Berdasarkan pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa

Dipterocarpaceae mendominasi tegakan di hutan alam baik semai, sapihan, tiang, maupun pohon (penjelasan lebih lanjut pada sub bab 5.3). Dipterocarpaceae diwakili oleh 8 jenis yang berbeda, sedangkan famili yang lain maksimal hanya diwakili oleh dua jenis yang berbeda. Hal tersebut dapat dipahami terkait dengan lokasi penelitian yang terletak di kawasan Hutan Hujan Tropis. Whitmore (1975) dalam Nirwana (1998) menjelaskan bahwa Hutan Hujan Tropis Kalimantan didominasi oleh Dipterocarpaceae yang memiliki 10 Genus dengan 270 jenis di dalamnya. Berbeda dengan hutan alam, keragaman jenis di hutan tanaman sangat kecil. Hutan tanaman hanya memiliki dua jenis yang berbeda yaitu Paracerianthes falcataria (Sengon Laut) dan Enterolubium cyclocarpum (Sengon Buto), keduanya berasal dari famili yang sama. Hal tersebut merupakan kebijakan dari pengelola vegetasi, jenis Sengon sengaja digunakan untuk reklamasi lahan tambang dengan beberapa alasan diantaranya; kemampuan tumbuh sengon, kemampuan adaptasi di lahan tambang, asosiasi dengan jenis lain, penutupan tajuk untuk penanaman semai jenis domestik seperti Kapur, Meranti, Jabon, dan lain-lain. Keberadaan tumbuhan di suatu tempat dan perkembangannya merupakan fungsi dari sejumlah faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut antara lain

adalah flora yang terdapat pada daerah tersebut yang akan menentukan jenis yang mampu untuk hidup di daerah tersebut, assesibilitas suatu jenis, sifat ekologis jenis, habitat yang akan menyeleksi spesies-spesies yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan setempat serta waktu yang diperlukan untuk melakukan suksesi menuju keadaan yang stabil atau klimaks. Kekayaan jenis tumbuhan pada umumnya cenderung rendah pada kondisi tempat tumbuh yang kurang baik dan cenderung tinggi pada tempat tumbuh yang lebih baik. Kekayaan jenis dikendalikan oleh kondisi tanah dan sedikit dipengaruhi oleh jumlah populasi dan keberadaan jenis lain (Prastiwi, 2004).

5.3. Indeks Nilai Penting Parameter yang digunakan untuk mengetahui kelimpahan jenis adalah Indeks Nilai Penting (INP). Indeks Nilai Penting suatu jenis mengindikasikan tingkat dominansi suatu jenis diantara jenis yang lainnya dalam sebuah kawasan (Sajise, 1976 dalam Prastiwi, 2004). Pada penelitian ini INP diperoleh dari jumlah nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), serta Dominansi Relatif (DR) suatu jenis pada setiap petak pengamatan. 5.3.1. Hutan Alam Dalam penelitian yang dilakukan di hutan alam sekunder ditemukan vegetasi dengan tingkat pertumbuhan yang lengkap dari semai hingga pohon. Struktur vegetasi pada masing-masing tingkat pertumbuhan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Data nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, dan Indeks Nilai Penting untuk vegetasi pada tingkat semai dapat dilihat pada Tabel 5.3 berikut ini. Tabel 5.3. Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Alam pada Tingkat Semai.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Nama Jenis Shorea ovalis Vatica umbonata Shorea hypochra Palaquium sp. Strychnos lucida Shorea gibbosa Diospyros sp. Gluta renghas Gymnacranthera bancana Durio sp. Shorea pinanga Garcinia mangostana Dryobalanops sp. Kerapatan (per m2) 1.04 0.29 0.13 0.50 0.54 0.13 0.13 0.04 0.13 0.29 0.08 0.04 0.04 KR (%) 30.86 8.64 3.70 14.81 16.05 3.70 3.70 1.23 3.70 8.64 2.47 1.23 1.23 Frekuensi 1.00 0.50 0.33 0.50 0.83 0.33 0.33 0.17 0.17 0.33 0.17 0.17 0.17 FR (%) 20.00 10.00 6.67 10.00 16.67 6.67 6.67 3.33 3.33 6.67 3.33 3.33 3.33 INP (%) 50.86 18.64 10.37 24.81 32.72 10.37 10.37 4.57 7.04 15.31 5.80 4.57 4.57

Dari Tabel 5.3 dapat dilihat jenis Shorea ovalis (Meranti Merah) memiliki nilai frekuensi tertinggi pada tingkat pertumbuhan semai, yaitu sebesar 1. Ini menunjukkan semai Shorea ovalis tersebut memiliki persebaran yang lebih luas dibandingkan dengan semai dari jenis pohon yang lain dalam komunitas hutan alam sekunder tersebut. Tabel 5.3 juga menjelaskan bahwa vegetasi jenis Shorea ovalis (Meranti Merah) merupakan jenis dengan nilai Kerapatan dan INP tertinggi, yaitu sebesar 1,04 batang/m2 dan 50,86 %. Diikuti oleh jenis Strychnos lucida (Ulas) dengan nilai Kerapatan 0,54 batang/m2 dan INP 32,72 % serta jenis Palaquium sp. (Nyatoh) dengan nilai Kerapatan 0,5 batang/m2 dan INP 24,82 %. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat pertumbuhan semai, Meranti Merah merupakan

jenis yang mendominasi atau paling banyak ditemukan di lokasi penelitian tersebut. Diikuti oleh jenis Ulas dan Nyatoh. Keterangan di atas menggambarkan potensi permudaan alami pada kawasan itu. Tegakan di masa yang akan datang akan didominasi oleh ketiga jenis tersebut jika pertumbuhan berjalan baik hingga mencapai usia dewasa sebagai hutan klimaks. Jumlah induk yang cukup banyak di sekitar petak pengamatan menjadi faktor utama selain penyebaran biji yang mengelompok di sekitar pohonpohon induknya. Data nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, dan Indeks Nilai Penting untuk vegetasi pada tingkat sapihan dapat dilihat pada Tabel 5.4 berikut ini. Tabel 5.4. Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Alam pada Tingkat Sapihan.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Nama Jenis Shorea ovalis Vatica umbonata Myristica lowiana Shorea hypochra Palaquium sp. Artocarpus odoratissimus Strychnos lucida Shorea gibbosa Delonix regia Diospyros sp. Gymnacranthera bancana Durio sp. Shorea pinanga Polyalthia glauca Kerapatan (per m2) 0.18 0.08 0.01 0.03 0.02 0.01 0.22 0.06 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 KR (%) 26.21 11.65 1.94 3.88 2.91 0.97 32.04 8.74 1.94 1.94 1.94 0.97 1.94 2.91 Frekuensi 1.00 0.67 0.17 0.33 0.33 0.17 1.00 0.17 0.17 0.33 0.17 0.17 0.17 0.17 FR (%) 20.00 13.33 3.33 6.67 6.67 3.33 20.00 3.33 3.33 6.67 3.33 3.33 3.33 3.33 INP (%) 46.21 24.98 5.28 10.55 9.58 4.30 52.04 12.07 5.28 8.61 5.28 4.30 5.28 6.25

Dari Tabel 5.4 dapat dilihat untuk vegetasi pada tingkat pertumbuhan sapihan di hutan alam, jenis Shorea ovalis dan Strychnos lucida memiliki nilai

frekuensi tertinggi, yaitu sebesar 1. Kedua jenis tersebut ditemukan pada setiap petak pengamatan, sehingga memiliki wilayah persebaran yang relatif sama. Namun Ulas memiliki nilai Kerapatan yang lebih tinggi (0,22 batang/m2) dibandingkan dengan Meranti Merah yang nilai Kerapatannya sebesar 0,18 batang/m2. Hal tersebut menunjukkan Ulas tumbuh berkelompok melebihi Meranti Merah dalam komunitasnya. Tabel 5.4 juga menjelaskan bahwa pada tingkat sapihan jenis Strychnos lucida (Ulas) merupakan jenis dengan nilai Kerapatan dan INP tertinggi, yaitu 0,22 batang/m2 dan 52,04 %. Diikuti oleh jenis Shorea ovalis (Meranti Merah) dengan nilai kerapatan 0.18 batang/m2 dan INP 42,21 %. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat sapihan, Strychnos lucida merupakan jenis yang paling banyak ditemui di lokasi penelitian, yang diikuti oleh Shorea ovalis. Kembali merujuk pada data di tingkat semai, tingkat sapihan merupakan gambaran pertumbuhan lebih lanjut dari semai. Pada tingkat sapihan, jenis Meranti Merah dan Ulas tetap mendominasi, dapat dikatakan bahwa keberhasilan pertumbuhan dari semai ke sapihan sebagai faktor utama dalam bertahannya dominasi tersebut. Data nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, dan Indeks Nilai Penting untuk vegetasi pada tingkat tiang dapat dilihat pada Tabel 5.5 berikut ini.

Tabel 5.5. Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Alam pada Tingkat Tiang.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Nama Jenis Shorea ovalis Vatica umbonata Shorea hypochra Palaquium sp. Artocarpus odoratissimus Strychnos lucida Gluta renghas Gymnacranthera bancana Nephelium lappaceum Dryobalanops sp. Polyalthia glauca Eusideroxylon zwagery Kerapatan (per m2) 0.010 0.010 0.002 0.003 0.003 0.002 0.003 0.003 0.003 0.002 0.005 0.002 KR (%) 20.690 20.690 3.448 6.897 6.897 3.448 6.897 6.897 6.897 3.448 10.345 3.448 Frekuensi 0.667 0.500 0.167 0.333 0.333 0.167 0.333 0.333 0.333 0.167 0.333 0.167 FR (%) 17.391 13.043 4.348 8.696 8.696 4.348 8.696 8.696 8.696 4.348 8.696 4.348 INP (%) 38.081 33.733 7.796 15.592 15.592 7.796 15.592 15.592 15.592 7.796 19.040 7.796

Dari Tabel 5.5 dapat dilihat jenis Shorea ovalis (Meranti Merah) kembali memiliki nilai frekuensi tertinggi pada tingkat pertumbuhan tiang, yaitu sebesar 0,67. Namun tidak seperti pada tingkat semai, frekuensi disini tidak memiliki nilai bulat 1, hal ini menunjukkan jenis Meranti Merah tidak ditemukan di semua petak pengamatan. Tabel 5.5 juga menjelaskan bahwa pada tingkat tiang jenis Shorea ovalis (Meranti Merah) merupakan jenis dengan nilai Kerapatan dan INP tertinggi, yaitu 0,01 batang/m2 dan 38,08 %. Diikuti oleh jenis Vatica umbonata (Resak) dengan nilai kerapatan 0.01 batang/m2 dan INP 33,73 %. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat tiang, Shorea ovalis merupakan jenis yang paling mudah ditemui di lokasi penelitian, yang diikuti oleh Vatica umbonata. Jenis Meranti Merah sebelum mencapai usia klimaks merupakan jenis yang justru membutuhkan naungan berat didukung dengan lingkungan dan iklim yang kondusif, hal ini membuat Meranti dapat tumbuh dan berkompetisi dengan baik dalam komunitasnya.

Data nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, dan Indeks Nilai Penting untuk vegetasi pada tingkat pohon dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut ini. Tabel 5.6. Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Alam pada Tingkat Pohon.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Nama Jenis Shorea ovalis Vatica umbonata Dryobalanops Myristica lowiana Dipterocarpus sp. Palaquium sp. Shorea gibbosa Diospyros sp. Gymnacranthera bancana Durio sp. Nephelium lappaceum Macaranga hypoleuca Tamarindus indica Shorea pinanga Artocarpus integer Polyalthia glauca Cinnamomum sp. Koompasia malaccensis Dracontomelon costatum Kerapatan (per m2) 0.0042 0.0067 0.0004 0.0038 0.0008 0.0013 0.0004 0.0021 0.0013 0.0004 0.0004 0.0004 0.0004 0.0004 0.0004 0.0004 0.0008 0.0004 0.0004 KR (%) 16.40 26.25 1.64 14.76 3.28 4.92 1.64 8.20 4.92 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 3.28 1.64 1.64 Frekuensi 0.83 1.00 0.17 1.00 0.33 0.50 0.17 0.50 0.50 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 FR (%) 12.50 15.00 2.50 15.00 5.00 7.50 2.50 7.50 7.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 Dominasi 0.00072 0.00108 0.00015 0.00093 0.00005 0.00025 0.00031 0.00019 0.00007 0.00034 0.00002 0.00007 0.00004 0.00015 0.00004 0.00003 0.00023 0.00008 0.00014 DR (%) 14.74 22.26 3.06 19.08 1.09 5.05 6.28 3.80 1.49 7.06 0.49 1.40 0.77 3.06 0.74 0.52 4.66 1.65 2.89 INP (%) 43.65 63.51 7.20 48.84 9.37 17.47 10.42 19.50 13.91 11.20 4.63 5.54 4.91 7.20 4.88 4.66 10.44 5.79 7.03

Dari Tabel 5.6 dapat dilihat untuk vegetasi pada tingkat pertumbuhan pohon di hutan alam, terdapat dua jenis yang memiliki nilai frekuensi tertinggi sebesar 1, yaitu Vatica umbonata (Resak) dan Myristica lowiana (Dara-Dara). Perbedaan diantara keduanya terletak pada nilai Kerapatan yang dimiliki, Resak memiliki nilai Kerapatan sebesar 0,0067 batang/m2 sedangkan Dara-Dara hanya sebesar 0,0038 batang/m2. Hal ini menunjukkan pertumbuhan Resak lebih berkelompok dibandingkan dengan Darah-Darah. Tabel 6 juga menjelaskan

bahwa Resak merupakan jenis yang paling di dominan di lapangan, dengan nilai Dominasi Relatif sebesar 22.26 %. Nilai tersebut menunjukkan bahwa Resak memiliki 22.26 % dari seluruh luas bidang dasar dari vegetasi tingkat pohon di hutan alam. Kemudian diikuti oleh kayu Pala dengan nilai Dominasi Relatif sebesar 19,08 %. Tabel 5.6 juga menjelaskan bahwa pada tingkat pohon jenis Vatica umbonata (Resak) merupakan jenis dengan nilai Kerapatan dan INP tertinggi, yaitu 0,0067 batang/m2 dan 63,51 %. Diikuti oleh jenis Myristica lowiana (Pala) dengan nilai Kerapatan 0,0038 batang/ m2 dan INP 48,84 % serta Shorea ovalis (Meranti Merah) dengan nilai kerapatan 0.0042 batang/m2 dan INP 43,65 %. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat pohon, Vatica umbonata merupakan jenis yang paling mudah ditemui di lokasi penelitian, yang diikuti oleh Myristica lowiana dan Shorea ovalis. Dominasi Meranti Merah berkurang pada tingkat pohon ini, hal tersebut dapat terjadi karena berbagai macam faktor seperti; potensi permudaan sebelumnya yang memang kurang baik dan adanya seleksi alam sehingga mengurangi populasi dari Meranti Merah. Penebangan yang marak dilakukan pada periode sebelumnya kemungkinan besar juga mengurangi populasi jenis yang penting ini terutama pada tingkat pohon, karena penebangan tersebut menggunakan sistem tebang pilih terhadap jenis-jenis pilihan.

5.3.2. Hutan Tanaman Data nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, dan Indeks Nilai Penting untuk vegetasi pada tingkat sapihan, tiang, dan pohon dapat dilihat berturut-turut pada Tabel 5.7, 5.8, dan 5.9 berikut ini. Tabel 5.7. Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Tanaman pada Tingkat Sapihan.
No 1 2 Nama Jenis Enterolubium cyclocarpum Paracerianthes falcataria Kerapatan (per m2) 0.01 0.08 KR (%) 14.29 85.71 Frekuensi 0.17 0.83 FR (%) 16.67 83.33 INP (%) 30.95 169.05

Tabel 5.8. Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Tanaman pada Tingkat Tiang.
No 1 2 Nama Jenis Enterolubium cyclocarpum Paracerianthes falcataria Kerapatan (per m2) 0.02 0.04 KR (%) 27.59 72.41 Frekuensi 0.20 0.80 FR (%) 20.00 80.00 INP (%) 47.59 152.41

Tabel 5.9. Data Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan INP Vegetasi Hutan Tanaman pada Tingkat Pohon.
No 1 2 Nama Jenis Enterolubium cyclocarpum Paracerianthes falcataria Kerapatan (per m2) 0.005 0.0094 KR (%) 34.78 65.22 Frekuensi 0.25 0.75 FR (%) 25.00 75.00 Dominasi 0.0004 0.0005 DR (%) 46.23 53.77 INP (%) 59.78 140.22

Dari tabel 5.7, 5.8, dan 5.9 dapat dilihat untuk vegetasi di hutan tanaman baik pada tingkat pertumbuhan sapihan, tiang, maupun pohon, jenis

Paracerianthes falcataria (Sengon Laut) memiliki nilai frekuensi yang lebih besar dari pada Enterolubium cyclocarpum (Sengon Buto); yaitu sebesar 0,83 untuk tingkat sapihan, 0,8 untuk tingkat tiang, dan 0,75 untuk tingkat pohon. Hal ini disebabkan Sengon Buto hanya ditemukan di satu petak pengamatan, sedangkan penanaman pasca tambang banyak mengandalkan jenis Sengon Laut. Namun,

Tabel 5.9 menjelaskan bahwa nilai Dominasi Relatif dari kedua jenis tersebut untuk tingkat pohon tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Sengon Laut dan Sengon Buto masing-masing memiliki nilai Dominasi Relatif sebesar 53,77 % dan 46,23 %. Hal tersebut menunjukkan, meskipun jenis Sengon Buto hanya ditemukan dalam satu petak pengamatan namun jenis ini memiliki luas bidang dasar yang tinggi untuk tingkat pohon. Sedangkan Sengon Laut yang ditemukan di semua petak pengamatan hanya sedikit lebih tinggi nilai Dominasi Relatifnya, hal ini disebabkan oleh perbedaan kelas umur dari masing-masing petak pengamatan. Data pada Tabel 5.7, 5.8, dan 5.9 juga menjelaskan bahwa pada ketiga tingkat pertumbuhan tersebut jenis Paracerianthes falcataria (Sengon laut) merupakan jenis dengan nilai Kerapatan dan INP yang lebih tinggi, yaitu 0,08 batang/m2 dan 169,05 % untuk sapihan 0,042 batang/m2 dan 152,41 % untuk tiang, serta 0,0094 batang/m2 dan 140,22 % untuk pohon. Diikuti oleh jenis Enterolubium cyclocarpum (Sengon Buto) dengan nilai kerapatan 0,013 batang/m2 dan INP 30,95 % untuk sapihan, 0,016 batang/m2 dan 47,59 % untuk tiang, serta 0.005 batang/m2 dan 59,78 % untuk pohon. Penanaman di areal bekas tambang ini mengandalkan jenis Sengon Laut daripada Sengon Buto karena alasan kemudahan penyemaian di nursery. Padahal menurut Suryadijana (1994), Sengon Buto merupakan jenis eksotik yang memiliki dimensi kayu lebih stabil daripada Sengon Laut dalam kembang kerut terhadap perubahan suhu. Kedua jenis Sengon memiliki manfaat yang sinergis dengan tujuan reklamasi lahan tambang, karena selain memiliki kemampuan untuk

tumbuh cepat dan penutupan lahan yang cukup baik, Sengon dapat memperbaiki kualitas lahan terutama untuk kesuburan tanahnya (Veni, 2007). Jenis tanah yang berada di lahan bekas tambang tidak memiliki lapisan top soil, namun merupakan lapisan sub soil yang tercampur-aduk akibat aktivitas tambang. Sengon dapat memperbaiki kondisi tersebut, sehingga tanah diharapkan menjadi lebih kondusif untuk jenis penting yang lain dalam jangka waktu kedepan.

5.4. Struktur Tegakan Pada penelitian ini, struktur hutan pada lokasi pengamatan digambarkan secara kuantitatif. Penggambaran secara kuantitatif dapat dilakukan dengan melihat persebaran horizontal vegetasi di dalamnya. Berdasarkan metode pengambilan sampel di lapangan, maka parameter terpenting struktur tegakan horizontal yang dapat digunakan ialah luasan bidang dasar untuk hutan alam (Mueller dan Ellenberg, 1974) dan kelas umur untuk hutan tanaman. Luas bidang dasar masing-masing petak ukur di hutan alam

direpresentasikan oleh gambar berikut ini :

Gambar 5.1. Histogram luas bidang dasar pada masing-masing petak ukur di hutan alam sekunder. Keenam petak ukur tersebut diletakkan tersebar dan saling berjauhan dengan maksud untuk mendapatkan tegakan dengan struktur yang berbeda satu sama lain. Dari gambar di atas dapat dilihat nilai luas bidang dasar (lbds) dari tiap petak ukur. Lbds tertinggi terdapat pada petak ukur 3, sedangkan lbds terendah dimiliki oleh petak ukur 1. Langkah selanjutnya ialah klasifikasi struktur tegakan di hutan alam berdasarkan luas bidang dasarnya. Klasifikasi terhadap struktur tegakan yang dimiliki oleh keenam petak ukur tersebut menghasilkan empat kelas yang berbeda; yaitu struktur rendah (dengan range 33-40 m2/ha; petak ukur 1), struktur sedang (dengan range 40-47 m2/ha; petak ukur 2 dan 6), struktur rapat (dengan range 47-54 m2/ha; petak ukur 4), dan struktur sangat rapat (dengan range 54-61 m2/ha; petak ukur 3 dan 5). Klasifikasi didasarkan pada perbandingan nilai lbds total masing-masing petak ukur.

Ada empat struktur di hutan alam yaitu: 1. Struktur rendah dengan range 33-40 m2/ha. 2. Struktur sedang dengan range 40-47 m2/ha. 3. Struktur rapat dengan range 47-54 m2/ha. 4. Struktur sangat rapat dengan range 54-61 m2/ha. Luas bidang dasar masing-masing kelas umur di hutan tanaman direpresentasikan oleh gambar berikut ini :

Gambar 5.2. Luas bidang dasar menurut kelas umur di hutan tanaman. Struktur tegakan di hutan tanaman terklasifikasi dengan sendirinya berdasarkan kelas umur dari masing-masing petak ukur. Gambar diatas memperkuat asumsi bahwa struktur horizontal masing-masing kelas umur berbeda satu sama lain, sehingga layak untuk merepresentasikan struktur tegakan pada tiap petak ukur yang ada. Nilai luas bidang dasar (lbds) pada histogram tersebut membentuk grafik L terbalik dengan nilai lbds tertinggi pada tegakan 5e yaitu sebesar 32,287 m2/ha. Tegakan 5e merupakan tegakan homogen berumur 5 tahun dengan jenis Sengon

Buto sebagai vegetasi penyusunnya, sedangkan kelima tegakan yang lain tersusun oleh jenis Sengon Laut. Ada enam struktur di hutan tanaman yaitu: 1. Struktur sangat muda dengan kelas umur 1 tahun. 2. Struktur muda dengan kelas umur 2 tahun. 3. Struktur cukup muda dengan kelas umur 3 tahun. 4. Struktur cukup tua dengan kelas umur 4 tahun. 5. Struktur tua dengan kelas umur 5 tahun. 6. Struktur tuae dengan kelas umur 5 tahun dan jenis penyusun berupa Sengon Buto. 5.5. Kandungan Karbon Menurut Struktur Tegakannya Dari hasil pengamatan di lapangan, ditemukan struktur tanaman penyusun yang beragam terutama di hutan alam. Keragaman jenis tanaman pada suatu tegakan akan mempengaruhi nilai karbon yang terkandung di dalamnya. Nilai Karbon hutan alam menurut struktur tegakan horizontal disajikan dalam bentuk histogram sebagai berikut.

Gambar 5.3. Nilai karbon menurut kelas luas bidang dasar di hutan alam. Gambar di atas menunjukkan potensi nilai Karbon yang dimiliki masingmasing kelas struktur tegakan pada luasan 1 hektar. Tingkat sapihan memiliki nilai yang tinggi hampir menyamai (bahkan melebihi) nilai yang dimiliki oleh tingkat pohon, hal tersebut dapat dipahami karena hutan alam tersebut merupakan tegakan tinggal bekas penebangan perusahaan kayu. Potensi tingkat pohon dan tiang kemungkinan besar berkurang drastis akibat aktivitas penebangan tersebut, sehingga pada saat ini diambil alih posisinya oleh tingkat sapihan sebagai permudaan untuk masa yang akan datang. Sedangkan tingkat semai memiliki nilai Karbon yang paling kecil, namun potensi yang dimiliki tegakan tersebut dalam permudaan secara alami oleh vegetasi di tingkat semai dan sapihan masih sangat tinggi. Struktur tegakan rendah memiliki nilai karbon terendah, yaitu sebesar 495,868 ton/ha, hal tersebut terjadi karena tegakan rendah memiliki jumlah individu yang paling sedikit dibandingkan dengan tegakan lain. Struktur tegakan

sedang dan sangat rapat memiliki nilai karbon yang hampir berimbang dengan nilai masing-masing 696,238 ton/ha dan 690,936 ton/ha. Hal tersebut merupakan pengaruh dari keanekaragaman jenis diantara keduanya, bisa jadi salah satu struktur banyak memiliki jenis dengan nilai wood density yang tinggi atau sebaliknya sehingga nilai karbon dapat berimbang padahal memiliki nilai lbds yang tidak sama besar. Struktur rendah dan rapat yang merepresentasikan PU 1 dan PU 4 memiliki nilai karbon yang relatif lebih rendah daripada struktur yang lain. Kedua PU ini memang memiliki kondisi tegakan yang terburuk diantara keenam PU. PU 1 terletak pada tegakan yang terdekat dengan areal tambang aktif, sehingga masih banyak aktivitas manusia di sekitar tegakan dan memudahkan aksesbilitas ke dalamnya. Sedangkan PU 4 terletak pada tegakan yang jauh dari areal tambang aktif, namun berdekatan dengan sarana transportasi berupa jalan angkut kayu dari perusahaan kayu yang terdapat di kawasan tersebut. Aktivitas tersebut cukup mempengaruhi perkembangan tegakan ke depannya. Rerata nilai karbon dalam lingkup blok 7 dapat diketahui melalui pengalian nilai karbon masing-masing struktur dengan luasnya pada cakupan area yang tidak terganggu. Area yang tidak terganggu, dalam hal ini merupakan kawasan hutan yang belum dialihfungsikan, memiliki luasan sebesar 4563,05 ha. Rerata nilai karbon hutan alam yang terdapat di blok 7 dengan luas 5271,91 ha ialah sebesar 638,77 ton/ha.

Tabel 5.10. Nilai Karbon di Hutan Alam berdasarkan Struktur Tegakannya.
Struktur Nilai Lbds Total (m2/ha) Nilai Karbon (ton/ha) Persentase Deliniasi (%) Luas (ha) [Nilai Karbon] x [Luas] Rerata Nilai Karbon Blok 7 (ton/ha)

rendah sedang rapat sangat rapat

35,044 43,855 & 46,441 50,525 54,019 & 56,897 JUMLAH

495,868 696,238 575,61 690,936

15.6 25 20 39.4 100

711.8358 1140.763 912.61 1797.842 4563.05

352,976.59 794,242.20 525,307.44 1,242,193.55 2,914,719.79

638.77

Nilai Karbon hutan tanaman menurut kelas umurnya disajikan dalam bentuk histogram sebagai berikut.

Gambar 5.4. Histogram nilai Karbon menurut kelas umurnya di hutan tanaman. Potensi nilai karbon terbesar dalam luasan satu hektar di hutan tanaman ini dimiliki oleh vegetasi dengan tingkat pertumbuhan sapihan dan tiang. Hal tersebut dapat dipahami karena umur tertua tegakan hutan tanaman hanya 5 tahun, sehingga tingkat sapihan dan tiang lebih mendominasi tegakan tersebut. Tingkat sapihan dan tiang harus dilestarikan dengan sedemikian rupa, sehingga dapat

memiliki potensi pertumbuhan yang baik untuk menjadi tegakan hutan yang lebih kompleks. Gambar di atas berbentuk grafik L terbalik dengan nilai karbon tertinggi terdapat pada tegakan tuae sebesar 200,07 ton/ha, sedangkan nilai karbon terendah dimiliki oleh tegakan sangat muda sebesar 28,41 ton/ha. Hal ini menampakkan bahwa di hutan tanaman yang homogen, semakin tinggi kelas umur suatu tegakan maka semakin tinggi pula nilai karbon yang dimiliki tegakan tersebut. Kondisi tersebut lazim terdapat pada struktur hutan homogen seumur yang normal, sehingga dapat dikatakan bahwa hutan tanaman di lokasi penelitian memiliki struktur tegakan yang relatif normal. Perbedaan nilai karbon yang dimiliki jenis sengon laut dengan sengon buto (pada kelas umur yang sama) disebabkan oleh perbedaan luas bidang dasar dan wood density diantara keduanya. Luas bidang dasar jenis sengon buto lebih tinggi daripada sengon laut, begitu juga dengan nilai wood density sengon buto yang lebih besar daripada sengon laut. Kedua hal di atas mengakibatkan lebih tingginya nilai karbon yang dimiliki oleh jenis sengon buto. Nilai karbon dalam penelitian ini, khususnya yang dimiliki oleh tegakan sengon di hutan tanaman, memiliki nilai yang cenderung tinggi apabila diperbandingkan dengan hasil penelitian dari Wulan (2008). Penelitian Wulan tersebut menyatakan bahwa rerata nilai karbon yang dimiliki oleh hutan rakyat jenis sengon ialah sebesar 5,665 ton/ha, dengan nilai karbon tertinggi dimiliki oleh jenis lahan pekarangan yaitu sebesar 14,51 ton/ha. Angka tersebut memiliki nilai jauh di bawah nilai karbon hutan tanaman pada penelitian ini untuk kelas

umur yang termuda sekalipun (28,41 ton/ha), apalagi jika membandingkannya dengan nilai karbon yang dimiliki oleh hutan alam. Rerata nilai karbon hutan tanaman dalam lingkup blok 7 dapat diketahui melalui pengalian nilai karbon masing-masing struktur dengan luasnya pada cakupan area yang terganggu, lebih spesifik lagi ke lahan reklamasi. Lahan reklamasi, dalam hal ini merupakan kawasan bekas tambang yang dialihfungsikan kembali menjadi hutan, memiliki luasan sebesar 129.6 ha. Rerata nilai karbon hutan tanaman yang terdapat di blok 7 dengan luas 5271,91 ha ialah sebesar 82.21 ton/ha. Tabel 5.11. Nilai karbon di hutan tanaman berdasarkan struktur tegakannya.
Struktur Umur (tahun) Jenis Penyusun Nilai Karbon (ton/ha) Luas (ha) [Nilai Karbon] x [Luas] Rerata Nilai Karbon Blok 7 (ton/ha)

sangat muda muda cukup muda cukup tua tua tuae

1 2 3 4 5 5

Sengon Laut Sengon Laut Sengon Laut Sengon Laut Sengon Laut Sengon Buto JUMLAH

28,41 23,452 54,494 96,624 119,973 200,07

29.48 25.19 52.42 3.73 18.78 129.6

837.5268 590.7559 2856.575 360.4075 6010.408 10655.67 82.2197

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Untuk hutan alam sekunder, struktur tegakan horizontal terdiri dari empat struktur yang berbeda. Yaitu struktur rendah, sedang, rapat, dan sangat rapat. Sedangkan hutan tanaman, struktur tegakan terklasifikasi menurut kelas umurnya. Terdapat enam struktur yang berbeda, yaitu: struktur sangat muda, muda, cukup muda, cukup tua, tua, dan tuae. 2. Untuk hutan alam sekunder, kandungan karbon total dari keempat struktur tegakan secara berturut-turut dari struktur rendah, sedang, rapat, dan sangat rapat adalah 495,868 ton/ha, 696,238 ton/ha, 575,61 ton/ha, dan 690,936 ton/ha. Sedangkan hutan tanaman, kandungan karbon total dari keenam struktur tegakan secara berturut-turut dari struktur sangat muda, muda, cukup muda, cukup tua, tua, dan tuae adalah 28,541 ton/ha, 23,452 ton/ha, 54,494 ton/ha, 96,624 ton/ha, 119,973 ton/ha, dan 200,07 ton/ha. 6.2. Saran • Diperlukan penelitian lanjutan dengan menyertakan struktur tegakan secara vertikal dan kualitatif, serta estimasi nilai karbon dengan metode lain. • Diharapkan kepada pengelola vegetasi untuk lebih menggiatkan

penanaman jenis Sengon Buto di lahan bekas tambang, karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sengon Buto lebih menguntungkan dalam fungsi penyerapan karbon daripada Sengon Laut.

DAFTAR PUSTAKA Al-Adnani, 2008. Global Warming; Sebuah Isyarat Dekatnya Akhir Zaman dan Kehancuran Dunia. Granada Mediatama: Surakarta. Anonim . 2008a. Budidaya Korobenguk di Kawasan Tambang. Laporan Akhir Magang, tidak dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor : Bogor. Anomim . 2008b. Strategi penutupan Tambang. PT Berau Coal : Berau. Anonim . 2009. Wood Density Data Base. Http://www.worldagroforestry.org/Sea/Products/Afdbases/Wd/Asps diakses tahun 2009. Barchia, Muhammad Faiz. 2006. Gambut Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Brown, Sandra. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A Forest Resources Assessment Publication-FAO : Rome. Dahlan dkk. 2005. Estimasi Karbon Tegakan Acacia mangium Willd Menggunakan Citra Landsat ETM+ dan SPOT-5: Studi Kasus di BKPH Parung Panjang KPH Bogor. Jurnal Penelitian, tidak dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor : Bogor. Dale, H. Virginia. 1994. Effects of Land-Use Change on Atmospheric CO2 Concentrations. Spinger-Verlag: New York. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Universitas Indonesia Press: Jakarta. Garzuglia, M. dan Saket, M. 2003. Wood Volume and Woody Biomass: review of FRA 2000 estimates. http://www.fao.org/docrep/007/ae153e/AE153e03.HTM diakses tanggal 8 November 2009. Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Hanif, Rahadi. 2006. Komposisi dan Struktur Vegetasi Tumbuhan Berkayu di Pantai Sepanjang, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul. Skripsi, tidak dipublikasikan. Fakultas Kehutanan UGM : Yogyakarta. Hayami, V. M. dan Ruttan. 1971. Agricultural Development an International Perspective. The John Hopkins Press: Baltimore, London.

Heriansyah, I. 2005. Potensi Hutan Tanaman Industri dalam Mensequester Karbon (studi kasus di hutan tanaman Akasia dan Pinus). Inovasi Online.htpp://oi.ppi-jepang.org/article.php?id=66. Diakses 29 Oktober 2009. Hildanus. 2005. Pendugaan Beberapa Parameter Tegakan Hutan Tropika Dataran Rendah Menggunakan Data Satelit Landsat Studi Kasus Di Hutan Lindung Gunung Beratus, Kalimantan Timur. http://rudyct.com/pps702-ipb/10245/hildanus.pdf diakses tanggal 19 agustus 2009. Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Tesis, tidak dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Kapisa, Noak. 1984. Studi Tentang Hubungan Antara Tinggi Bebas Cabang,Diameter, Dan Volume Pohon Matoa, Kayu Besi Dan Nyatoh Di Areal Hutan Mandopi KPH Manokwari. http://www.papuaweb.org/unipa/dlib-s123/kapisa-noak/s1.pdf diakses tanggal 19 agustus 2009. Keenan, Charles W. 1984. Kimia Untuk Universitas. Penerbit Erlangga: Jakarta. Kershaw, K. A. 1973. Quantitive and Dynamic Plant Ecology, Second Edition. Edward Arnold : London. Laar dan Akca. 1997. Forest Mensuration. Cuvilier Verlag : Gottingen. Lisnawati. 2008. Inventore Kandungan Karbon Hutan Berdasarkan Diameter Batang Pohon pada Tegakan Jati (Tectona grandis linn. F.) di KPH Purwodadi, Jawa Tengah. Skripsi, tidak dipublikasikan. Fakultas Kehutanan UGM : Yogyakarta. Loveless, A. R. 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropis, Volume II. Gramedia : Jakarta. Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Fakultas Kehutanan UGM : Yogyakarta. Marsono, D. dan Supriyadi. 2002. Petunjuk Praktikum Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan UGM : Yogyakarta. Muddattsir. 1995. Studi Pertumbuhan Jati (tectona grandis L.f.) Melalui Pendekatan Analisis Batang di KPH Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Skripsi, tidak dipublikasikan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Mueller-Dombois, D. dan H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Willey and Sons : New York. Muhdin. 2003. Dimensi Pohon Dan Perkembangan Metode Pendugaan Volume Pohon. http://rudyct.com/pps702-ipb/07134/muhdin.htm diakses tanggal 19 agustus 2009. Murdiyarso. 2003. Protokol Kyoto: Implikasinya Bagi Negara Berkembang. Buku Kompas: Jakarta. Nirwana. 1998. Kajian Struktur dan Komposisi Pohon Binaan Tegakan Tinggal TPTI di HPH PT. Rante Mario (Humpuss Group) di Sulawesi Selatan. Tesis, tidak dipublikasikan. Program Pasca Sarjana UGM : Yogyakarta. Oliver, Chadwick D. 1996. Forest Stand Dynamics. John Wiley and Sons. New York. Chichester. Brisbane. Toronto. Singapore. Oosting. 1956. The Study of Plant Communities. Freeman and Company : London Prastiwi, Dhian Eko. 2004. Struktur dan Komposisi Vegetasi Tumbuhan Bawah di Kawasan Calon Kebun Raya Baturaden. Skripsi, tidak dipublikasikan. Fakultas Kehutanan UGM : Yogyakarta. Purbarani, Ajeng Dian. 2009. Nilai Kalor Hutan Rakyat Menurut Struktur Tegakannya (Kasus di Dusun Nglanggeran Kulon, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi D.I. Yogyakarta). Skripsi, tidak dipublikasikan. Fakultas Kehutanan UGM : Yogyakarta. Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro. 1985. Ekonomi Lingkungan. BPFE: Yogyakarta. Roswiniarti, Orbita dan Suwarsono. 2008. Potensi pemanfaatan data SPOT untuk estimasi cadangan dan emisi karbon di hutan rawa gambut Merang, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian. PIT MAPIN XVII. Bandung. Singer dan Purwanto. 2006. Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango. Program konservasi hutan lambusango (PKHL)-Operation Wallcea Trust: Sulawesi Tenggara. Smits, W. T. M. 1994. Dipterocarpaceae: Mycorrhizae and Regeneration. The Tropenbos Foundation: Wageningen. Soemarwoto, Otto. 1992. Melestarikan Hutan Tropika. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Sorianegara. 1972. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan. Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Suginingsih. 2004. Bahan Ajar Silvika. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Sukandarrumidi. 1995. Batubara dan Gambut. Gadjah mada University Press: Yogyakarta. Supriyadi dan Atmodjo Thojib. 2005. Buku Ajar Mata Kuliah Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan UGM: Yogyakarta. Suryadijana. 1994. Pengaruh Jenis Tanah sebagai Media Terhadap Pertumbuhan Semai Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum Griseb). Skripsi, tidak dipublikasikan. Fakultas Kehutanan UGM : Yogyakarta. Tjasjono, Bayong. 1999. Klimatologi Umum. ITB: Bandung. Prambudi, Tulus. 2008. Studi Keanekaragaman Jenis Burung di PT. Berau Coal Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur. Laporan akhir praktek kerja magang, tidak dipublikasikan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Veni, Masayu. 2007. Penaksiran Potensi Kayu Perkakas dan Kayu Bakar Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) di Hutan Rakyat (Studi Kasus di Desa Kepuharjo, Kabupaten Sleman). Skripsi, tidak dipublikasikan. Fakultas Kehutanan UGM: Yogyakarta. Wulan, Sulistya Wardani. 2008. Estimasi Kandungan Karbon Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) serta potensi Carbon Trade di Hutan Rakyat (Studi Kasus Dsn. Kebondalem, Desa Sukorejo, Kec. Mojotengah, Kab. Wonosobo). Skripsi, tidak dipublikasikan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Woeseno. 2002. Studi Produksi Biomassa dan Kemampuan Tegakan Sengon di Hutan Rakyat dalam Mengurangi Akumulasi CO2 di Udara. Tesis, tidak dipublikasikan. Program Pasca Sarjana UGM: Yogyakarta.

Similar Documents