Free Essay

Academic Performance, Child Psychology and Development

In: Psychology

Submitted By nurie
Words 8434
Pages 34
Bab I
Pendahuluan

I.A. The Nature of Anxiety Rasa takut merupakan emosi normal individu terhadap ancaman dari lingkungan. Anak usia pra-sekolah biasanya takut akan perpisahan, gelap, orang asing, imaginery beings, dan binatang sedangkan anak usia sekolah biasanya takut akan kemunkinan terluka, kesendirian, gelap, dan binatang. Dalam proses perkembangan normal, anak dapat mengatasi rasa takut itu dengan menggunakan adaptive defense mechanism. Misalnya, setelah mimpi buruk seorang anak mengingatkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah mimpi dan bukan sesuatu yang nyata. Anak juga dapat menilai besaran rasa takutnya terhadap sebuah stimulus tertentu. Misalnya, seorang anak dapat menilai bahwa saat ini stimulus itu terlalu menyebabkan kecemassan sehingga untuk sementara dia tidak akan pergi ke arah stimulus itu. (Wenar & Kerig, 2005) Seorang anak dikatakan memiliki gangguan kecemasan apabila rasa takut tersebut berlebihan dan anak gagal menggunakan defense mechanism untuk mengatasi rasa takut itu. Perbedaan gangguan kecemasan dan rasa takut yang normal teletak pada intensitas situasi, perilaku maladaptif, persistence, di luar kontrol anak, dan tidak dapat dijelaskan ataupun diselesaikan. (Wenar & Kerig, 2005)

I.B. Anxiety Disorders Dalam dua puluh tahun terakhir ini, pemahaman mengenai psikopatologi, course, dan ketidakmampuan berkaitan dengan gangguan kecemasan mengalami kemajuan. Sebelumnya, kecemasan dianggap sebagai bagian yang normal dalam perkembangan, namun saat ini para ahli telah mengakui bahwa kecemasan yang berlebihan merupakan kondisi yang tidak sehat dan memiliki konsekuensi jangka panjang apabila tidak tertangani (Ialongo, Edelsohn, Werthamer-Larsson, Crockett, & Kellam, 1994, 1995, dalam Velting, Setzer, & Albano, 2004). Terdapat beberapa gangguan dalam kelompok gangguan kecemasan. Gangguan itu meliputi Generalized Anxiety Disorder, Specific Phobias, Social Phobia, Separation Anxiety Disorder, Obsessive-Compulsive Disorder, dan Posttraumatic Stress Disorder. Dalam makalah ini, kami fokus membahas dua jenis gangguan, yaitu Generalized Anxiety Disorder dan Obsessive-Compulsive Disorder.

Bab II
Generalized Anxiety Disorder

II.A. Definisi Generalized Anxiety Disorder Dalam edisi DSM-IV-TR (APA, 2000), Generalized Anxiety Disorder (GAD) merupakan gangguan baik pada anak juga dewasa. Perbedaan GAD dengan gangguan kecemasan lainnya terletak pada rasa takut yang tidak berhubungan dengan situasi spesifik, seperti perpisahan atau objek seperti fobia pada ular. Core feature dari GAD adalah ketakutan dan kecemasan yang berlebih serta tidak realistis mengenai berbagai aspek dalam hidup (Schroeder & Gordon, 2002). Hal itu tidak hanya terkait pada jumlah ketakutan atau kecemasan, tetapi lebih ke intensitasnya. Dengan demikian, yang membedakan anak dengan GAD dan anak lainnya terletak pada tingkat ketakutan dan kecemasan yang tinggi dan ketidakmampuan mereka mengatasi itu meskipun telah mencobanya (Haugaard, 2008). Berikut ini adalah kriteria penegakan diagnosis GAD menurut DSM-IV-TR (APA, 2000) :

A. Kecemasan dan takut (apprehensive expectation) yang berlebih, yang terjadi setidaknya selama enam bulan, terhadap sejumlah peristiwa atau aktivitas (seperti pekerjaan dan performa sekolah). B. Individu mengalami kesulitan dalam mengontrol ketakutan. C. Kecemasan dan ketakutan berhubungan dengan tiga atau lebih enam gejala berikut ini (dengan beberapa gejala hadir setidaknya selama enam bulan terakhir). Catatan : Untuk penegakan diagnosis pada anak cukup dengan kehadiran satu gejala. 1) Restlessness or feeling keyed up on edge 2) Dengan mudah menjadi cepat lelah 3) Sulit berkonsentrasi atau mind going blank 4) Irritability 5) Ketegangan otot 6) Gangguan tidur (sulit untuk tidur atau tetap terjaga, atau restless, tidur yang tidak memuaskan) D. Fokus dari kecemasan dan ketakutan tidak hanya pada situasi atau peristiwa tertentu (seperti pada gangguan kecemasan lainnya). E. Kecemasan, ketakutan, atau gejala fisik mengakibatkan gangguan klinis yang signifikan atau penurunan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya. F. Gangguan tidak disebabkan oleh dampak fisiologis langsung dari penggunaan zat (seperti penggunaan obat terlarang dan pengobatan tertentu) atau kondisi medis (seperti hyperthyroidism) dan tidak terjadi pada gangguan mood, gangguan psikotik, atau pervasive developmental disorder. Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Generalized Anxiety Disorder menurut DSM-IV-TR

Dari diagnosis tersebut, terlihat bahwa yang membedakan GAD pada anak dengan dewasa terletak pada point C. Penegakan diagnosis GAD pada dewasa menuntut setidaknya tiga atau lebih gejala, sedangkan penegakan diagnosis pada anak cukup dengan kehadiran satu gejala. Secara lebih dalam, Wenar dan Kerig (2005) menjelaskan bahwa ketakutan anak dengan GAD terutama pada kompetensi dan kualitas performa mereka dalam aktivitas seperti sekolah atau olah raga. Perasaan takut itu muncul meskipun tanpa evaluasi dari orang lain. Justru anak dengan GAD adalah kritikus utama bagi dirinya sendiri. Mereka cenderung menuntut kesempurnaan diri dan self-judging, serta melakukan tugas berulang-ulang agar benar. Mereka sulit menyelesaikan sebuah tugas tanpa umpan balik yang terus menerus dari orang lain yang menyatakan bahwa mereka melakukan tugas dengan baik (Schroeder & Gordon, 2002). Mereka juga dapat takut berlebihan terhadap bencana alam dan perang dan mereka membutuhkan orang lain untuk meyakinkan mereka bahwa bencana itu tidak terjadi (Wenar & Kerig, 2005). Manifestasi dari GAD mencakup ketegangan otot, gemetar, feeling shaky, gejala somatik seperti sakit perut dan mual atau diare, nervous habits seperti menggigit kuku, dan kecenderungan untuk startle easily (Wenar & Kerig, 2005). Menurut Schroeder dan Gordon (2002), anak dengan GAD seringkali mendapat penilaian yang salah. Kecemasan anak terhadap deadlines dan kepatuhan terhadap peraturan serta penulusurannya terhadap bahaya dari sebuah situasi memberikan tampilan “dewasa” pada anak itu. Orang tua dan guru tidak memandang perilaku itu sebagai berlebihan untuk seorang anak (Kendall, Krain, & Treadwell, 1999, dalam Schroeder & Gordon, 2002). Di samping itu, anak dengan GAD tidak selalu menampilkan perilaku yang mengganggu. Oleh karena itu, orang tua biasanya baru mengusahakan treatment bagi anaknya setelah perilaku kecemasan sudah sangat mengganggu kehidupan sehari-hari baik dalam fungsi sosial maupun akademis. Menurut Haugaard (2008), hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis GAD adalah anak dengan GAD kesulitan mengontrol kecemasan atau ketakutannya. Anak yang kemudian dapat mengesampingkan atau mengatasi ketakutannya tidak termasuk dalam kriteria anak dengan GAD. Selain itu, dalam menentukan tingkat ketakutan dan kecemasan anak tersebut. Kita perlu mengetahui konteks anak. Bentuk ketakutan tertentu dapat merupakan hal yang wajar pada konteks tertentu dan tidak pada konteks yang lain. Misalnya, anak yang tinggal di Jogjakarta mungkin memiliki kecemasan yang berlebihan akan gempa bumi dibandingkan anak yang tinggal di Bali.

II.B. Karakteristik
II.B.1. Prevalensi Estimasi prevalensi anak dengan GAD tidak banyak karena belum banyak penelitian mengenai GAD pada anak. Di samping itu, hasil penelitian yang ada bervariasi. Kashani dan Orvaschel (1988, dalam Hauggard, 2008) menemukan bahwa prevalensi sampel anak dengan GAD di Amerika Serikat sebesar 13 persen. Silverman & Ginsburg (1998, dalam Wenar & Kerig, 2005) mengatakan bahwa prevalensi anak dan remaja dengan GAD sebesar 2 dan 19 persen. Sedangkan Muris, Meesters, Merchelbach, Sermon, dan Zwakhalen (1998, dalam Hauggard, 2008) menemukan bahwa angka prevalensi anak dengan GAD di AS sebesar 7 persen. Alasan perbedaan angka prevalensi itu tidak jelas, namun terlihat bahwa kecemasan yang berlebihan merupakan karakteristik dari banyak anak (Hauggard, 2008). Remaja lebih cenderung mengalami gejala GAD dibandingkan anak usia sekolah (Ehringer, dkk, 2006; Weems, dkk., 2000, dalam Hauggard, 2008). Penelitian di Selandia Baru menunjukkan bahwa angka prevalensi anak usia 11 tahun dengan GAD sebesar 3 persen, lalu meningkat menjadi 6 persen ketika mereka berusia 15 tahun (McGee, dkk., 1990, dalam Hauggard, 2008). Yang menarik adalah penelitian terhadap anak usia prasekolah menunjukkan bahwa 7 persen mengalami GAD (Egger & Angold, 2006, dalam Hauggard, 2008). Hauggard (2008) mengasumsikan bahwa mungkin terdapat sebuah curvilinear relationship antara usia dan GAD. Anak usia prasekolah dan remaja memiliki angka prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan remaja. Namun, masih perlu dilakukan penelitian yang bersifat longitudinal untuk memberikan data yang lebih akurat mengenai asumsi itu.

II.B.2. Keterkaitan Gender dan Etnis dengan Generalized Anxiety Disorder Whitaker, dkk (1990, dalam Wenar & Kerig, 2005) menemukan perbedaan prevalensi anak dengan GAD berdasarkan gender. Prevalensi anak perempuan dengan GAD sebesar 4.6 persen sedangkan laki-laki sebesar 1.8 persen. Namun, menurut Schroeder dan Gordon (2002), berdasarkan beberapa penelitian, tidak terdapat perbedaan prevalensi antara laki-laki dan perempuan. Belum banyak penelitian mengenai ethnic differences dalam GAD (Wenar & Kerig, 2005). Berdasarkan APA (2000, dalam Wenar & Kerig, 2005), gejala kecemasan dapat bervariasi antar budaya. Contohnya, anak dari budaya Barat dapat lebih menunjukkan gejala kognitif, sedangkan anak dari budaya Timur dapat lebih menunjukkan gejala somatic. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa mungkin terdapat perbedaan gejala antara anak dengan GAD dari budaya yang berbeda.

II.B.3. Komorbiditas Anak dengan GAD terkadang juga dapat berkomorbid dengan bentuk lain dari gangguan kecemasan, seperti fobia spesifik. GAD juga seringkali terjadi bersamaan dengan depresi (APA, 2000, dalam Wenar & Kerig, 2005). Seorang anak yang takut akan performanya (“Saya akan tidak dapat melakukannya dengan benar. Saya akan mengacaukannya.”) penuh dengan pikiran negatif dan keraguan diri. Perfeksionis yang kronis dan self-criticism dapat mengarahkan seseorang pada perasaan bahwa dia tidak dan tidak akan pernah menjadi “cukup baik”. Demikian pula, ketakutan yang berlebihan mengenai suatu hal yang buruk dapat berkontribusi pada sense of hopelessness dan helplessness (Wenar & Kerig, 2005). Oleh karena itu, GAD pada anak seringkali berkomorbid dengan depresi.

II.B.4. Developmental Course Sebagian besar orang dewasa dengan GAD melaporkan bahwa mereka cemas sepanjang hidupnya (APA, 2000, dalam Wenar & Kerig, 2005). Banyak yang tidak tertangani hingga usia dewasa. Hal itu menandakan bahwa gejala GAD pada anak sulit untuk dideteksi atau seringkali dinamakan sebagai “ini hanya fase biasa”, padahal GAD dapat menjadi sangat kronis (Wenar & Kerig, 2005).

II.C. Etiologi Menurut Schroeder dan Gordon (2002), etiologi dari gangguan kecemasan tidak terlalu dapat dipahami dengan jelas. Menurut mereka, faktor genetik dan keluarga serta peristiwa sosial, faktor belajar, dan kognisi berkontribusi pada perkembangan gangguan kecemasan. Pengaruh itu berbeda-beda antar anak. Berikut ini, kami akan menjelaskan dua faktor utama dari GAD, yaitu genetik dan lingkungan.

II.C.1. Faktor Genetik Salah satu penelitian menunjukkan peran gen dalam GAD sebesar 30 persen (Kendler, Neale, Kessler, Heath, & Eaves, 1992, dalam Rygh & Sanderson, 2004). Penelitian lainnya mengestimasi nilai itu sebesar 15-20 persen tanpa adanya perbedaan antar gender (Hettema, Prescott, & Kendler, 2001, dalam Rygh & Sanderson, 2004). Meskipun demikian, penelitian lain menunjukkan bahwa gen tidak secara spesifik mempengaruhi transmisi GAD (Weissman & Merikangas, 1986, dalam Rygh & Sanderson, 2004). Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa gen lebih berperan menurunkan trait, seperti kecemasan, negative affect, dan behavioral inhibition pada individu dengan gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan emosi lainnya (Angst & Vollrath, 1991; Clark, Watson, & Mineka, 1994, dalam Rygh & Sanderson, 2004). Trait neuroticism dikatakan berkorelasi positif dengan GAD dan gangguan kecemasan lainnya (Clark et al., 1994; Trull & Sher, 1994, dalam Rygh & Sanderson, 2004). Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah terdapat pengaruh dasar dari gen terhadap kemunculan gangguan kecemasan, namun perbedaan antar gangguan itu lebih banyak dapat dijelaskan oleh faktor lingkungan (Andrews, Stewart, Allen, & Henderson, 1990; Kendler et al., 1995, dalam Rygh & Sanderson, 2004).

II.C.2 Faktor Lingkungan Penelitian Ben-Noun (1998, dalam Rygh & Sanderson, 2004) berusaha melihat hubungan antara persistent dan prolonged family dysfunction dengan tingkat GAD pada orang tua. Hasilnya menunjukkan bahwa GAD berkembang dalam pasangan yang bermasalah, terutama pada istri. Kehadiran GAD pada salah satu dari pasangan berpengaruh negatif terhadap keluarga secara umum. Barlow (1998, dalam Rygh & Sanderson, 2004) berpendapat bahwa lingkungan keluarga yang terlalu mengontrol berpengaruh terhadap penurunan sense of control seseorang, mengarahkan pada external locus of control, yang berkontribusi terhadap peningkatan negative affect dan gejala kecemasan klinis pada anak. Chorpita dan Barlow (1998, dalam Rygh & Sanderson, 2004) mengevaluasi hipotesis itu dengan menggunakan structural equation modeling dan menemukan kesesuaian dengan model yang dikemukakan Barlow. Hasil itu memberi pembuktian mengenai kontribusi faktor itu dengan perkembangan GAD. Beberapa penelitian seperti Lichtenstein dan Cassidy (1991), Borkovec (1994), serta Stober dan Joorman (2001) menggambarkan kemungkinan peran dari disfungsi dan atau trauma dalam lingkungan keluarga terhadap perkembangan GAD. Namun, masih dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk memperjelasan faktor penyebab gangguan ini (Rygh & Sanderson, 2004). Hudson dan Rapee (2004, dalam Rygh & Sanderson, 2004) mempresentasikan sebuah model etiologi GAD. Model itu mendiskusikan potensi interaksi dampak dari gen, temperamen individu, kecemasan orang tua, pengaruh lingkungan sosial, dan stressor eksternal. Model itu masih dinilai spekulatif karena sebagian besar penelitian merupakan penelitian mengenai kecemasan secara umum dan bukan GAD secara spesifik.

II.D. Assesment Sistem diagnosis mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam membantu dan menjelaskan proses diagnosis, namun penegakan gangguan dominan atau utama masih merupakan sebuah hal yang kompleks. Velting, Setzer, & Albano (2004) menyatakan bahwa diagnosis berdasarkan DSM tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah diagnosis yang memberikan gambaran lengkap mengenai anak termasuk kekuatan dan kelemahannya dalam berbagai situasi sehingga akan mendukung pemberian intervensi yang sesuai dengan kekhasan setiap anak. Clinician biasanya menggunakan pendekatan multimethod assessment dalam mengevaluasi kecemasan pada anak (March & Albano, 1996, dalam Velting, Setzer, & Albano, 2004). Pendekatan itu membantu clinician untuk memperoleh informasi mengenai anak di berbagai situasi dan dari berbagai sumber (seperti orang tua, guru, dan teman sebaya) untuk kemudian membuat perencanaan intervensi yang tepat. Terdapat empat cara dasar dalam penilaian kecemasan, yaitu wawancara klinis, self-reports/rating scales, buku harian, dan observasi. Penjelasannya akan dibahas dalam bagian berikut ini.

II.D.1. Wawancara Klinis Wawancara klinis merupakan salah satu cara pengambilan informasi yang utama (Stallings & March, 1995, dalam Velting, Setzer, & Albano, 2004). Clinician dapat melakukan wawancara terstruktur maupun semi-terstruktur. Wawancara yang semi-terstruktur memberikan fleksibitas bagi clinician untuk menggali informasi pada bagian tertentu yang dinilai penting. Dalam wawancara, clinician juga dapat memperoleh data melalui observasi selama sesi wawancara. (Velting, Setzer, & Albano, 2004) Salah satu panduan wawancara semi-terstruktur yang sering digunakan untuk melakukan assessment kecemasan pada anak usia 6-17 tahun adalah Anxiety Disorders Interview Schedule for DSM-IV, Versi Anak dan Orang Tua (ADIS-IV; Silverman & Albano, 1996a, 1996b, dalam Velting, Setzer, & Albano, 2004). Wawancara ini bertujuan mengevaluasi kehadiran dan keparahan dari gangguan kecemasan, mood, dan externalizing. Informasi dari wawancara juga dilengkapi dengan impairment ratings dari clinician mengenai anak. Kelebihan dari ADIS-IV dibandingkan panduan yang lain adalah bagian di dalamnya jelas dan detil dalam mengevaluasi setiap gangguan kecemasan. Bagian clinician severity ratings juga membantu clinician dalam memprioritaskan gangguan yang paling menghambat keberfungsian anak dalam perencanaan intervensi. (Velting, Setzer, & Albano, 2004) Isu penting berkaitan dengan wawancara yang dilakukan pada anak dan juga orang tua adalah variasi dalam pelaporannya. Seringkali, anak cenderung menyampaikan lebih sedikit gejala dibandingkan orang tua. Hal itu terkait salah satunya dengan pemahaman anak yang kurang mengenai pertanyaan wawancara dan keinginan anak untuk menjawab sesuai dengan norma sosial. Anak juga kurang reliable dalam pemberian informasi mengenai kemunculan dan durasi gejala kecemasan (Schniering et al., 2000, dalam Velting, Setzer, & Albano, 2004)

II.D.2. Self-reports/Rating scales Self-report scales dan rating scales memberikan informasi mengenai proses kecemasan dan reaksi perilaku, namun tidak menghantarkan pada diagnosis tertentu. Self-report biasanya memberikan tuntutan yang lebih rendah bagi anak dalam proses menjawab dibandingkan pada wawancara. Salah satu skala yang biasa digunakan adalah Multidimensional Anxiety Scale for Children (MASC) dan Screen for Anxiety and Related Emotional Disorders (SCARED). Nature dari kecemasan yang privat dan subjektif menyebabkan pengukuran dengan metode self-report pada anak menjadi hal yang penting. Laporan dari orang tua dan guru berfungsi melengkapi gambaran diagnosis. Mereka dapat menangkap aspek yang gagal ditangkap anak. Meskipun informasi yang diperoleh dapat berbeda, namun memberikan kekayaan data mengenai penampilan dan perilaku anak pada berbagai situasi dan dari berbagai sudut pandang. Secara umum, pengukuran self-report lebih efisien dalam hal biaya dan waktu, namun hasil dari pengukuran ini saja tidak boleh digunakan sebagai dasar penegakan diagnosis. (Velting, Setzer, & Albano, 2004)

II.D.3. Buku Harian Format self-report yang tidak terstandarisasi juga dapat bermanfaat dalam praktek klinis, terutama dalam menilai kemajuan individu selama treatment (Beidel & Turner, 1998, dalam Velting, Setzer, & Albano, 2004). Salah satu bentuknya adalah anak dan remaja diminta untuk melakukan self-monitoring melalui buku harian. Mereka dapat mencatat situasi yang membangkitkan kecemasannya, serta pikiran, reaksi fisik, dan perilaku yang menyertainya, serta rating terhadap kecemasan yang dirasakan. (Velting, Setzer, & Albano, 2004)

II.D.4. Observasi Observasi terhadap anak dengan kecemasan dapat dilakukan pada situasi yang terstruktur maupun yang tidak. Observasi yang tidak terstruktur dapat dilakukan pada saat proses wawancara dan kunjungan ke lingkungan anak. Sedangkan observasi yang terstruktur dapat dilakukan dengan behavioral approach tests (BATs). Dalam BAT, anak dihadapkan pada situasi yang membangkitkan kecemasannya dan clinician mengobservasi tingkat kecemasan anak, reaksi fisiologis, respon motorik dan perilaku lainnya. (Velting, Setzer, & Albano, 2004)

II.E. Differential Diagnosis Berbagai dampak pengobatan dan faktor organisme dapat menyerupai gejala GAD, misalnya gangguan pada sistem endokrin atau tumor otak. Kecemasan dan ketakutan juga dapat terlihat pada gangguan psikiatris lainnya, seperti gangguan makan dan bentuk gangguan kecemasan lainnya (misalnya Separation Anxiety Disorder dan Social Phobia) (Rygh & Sanderson, 2004). Dalam kasus demikian, apabila fokus dari kecemasan secara spesifik berhubungan dengan hal tertentu, maka diagnosis GAD tidak akan diberikan. Misalnya, pada SAD, kecemasan hanya terkait pada perpisahan dengan rumah atau attachment figures. Pada Social Phobia, karakteristik kecemasan secara spesifik berhubungan dengan ketakutan yang besar dan terus menerus pada situasi sosial. (Haugaard, 2008)

II.F. Intervensi Berdasarkan sebagian besar penelitian, treatment GAD mencakup farmakologi dan cognitive behavior therapy (CBT).

II.F.1. Intervensi Farmakologi Mayoritas obat psikoaktif yang diberikan kepada individu dengan GAD adalah benzodiazepines, azapirones (terutama buspirone), tricyclic antidepressant, dan selective serotonin–norepinephrine reuptake inhibitors (seperti venlafaxine). Obat antipsikotik juga diberikan kepada individu dengan GAD (Rygh & Sanderson, 2004). Tabel berikut ini berisi daftar obat beserta dosis dan efek samping dari pengobatan yang biasa diberikan dalam treatment berbasis farmakologi untuk GAD (Schatzberg, Cole, & DeBattista, 1997; Sussman & Stein, 2001, dalam Rygh & Sanderson, 2004). [pic] Tabel 2.2. daftar obat beserta dosis dan efek samping dari pengobatan yang biasa diberikan dalam treatment berbasis farmakologi untuk GAD

Mahe dan Balogh (2000, dalam Rygh & Sanderson, 2004) melakukan analisis literatur mengenai pengobatan jangka panjang untuk GAD. Masalah utama dari treatment berbasis farmakologi adalah batas toleransi dan ketergantungan obat. Namun hasil itu belum final karena masih perlu dilakukan evaluasi yang lebih lengkap. Berdasarkan pembahasan di atas dan kurangnya penelitian mengenai dampak jangka panjang dari pengobatan untuk GAD, Rygh & Sanderson (2004)merekomendasikan beberapa hal berkaitan dengan treatment tersebut : - Sebaiknya, individu dengan GAD mendapatkan intervensi psikologis terlebih dahulu. Apabila treatment itu kurang efektif, maka dapat dipertimbangkan pemberian treatment farmakologi di samping treatment psikologi. Apabila dampak gangguan sudah sangat besar, maka pengobatan merupakan hal yang perlu. Namun, goal untuk bebas dari pengobatan perlu dimasukkan dalam treatment. - Treatment farmakologi semata hanya untuk penanganan kasus tertentu saja. Kasus dimana intervensi psikologis sangat sulit untuk dilakukan.

II.F.2. Cognitive Behavior Therapy (CBT)
II.F.2.a. Kendall’s Coping Cat Program Cognitive-behavioral treatment terbukti efektif untuk membantu anak melepaskan diri dari gejala GAD. Salah satu jenis treatment yang terkenal adalah Kendall’s Coping Cat Program (2000, dalam Wenar & Kerig, 2005). Isi dari program ini mencakup mengajarkan anak mengenali tanda fisiologis yang merupakan indikasi bahwa mereka akan menjadi cemas, mengidentifikasi evaluasi yang tidak sehat yang dapat mengubah sebuah peristiwa netral menjadi peristiwa yang penuh kecemasan, dan mengembangkan cognitive restructuring dan strategi coping yang aktif untuk menghadapi ketakutan. Anak melatih skill itu setiap kali mereka menghadapi situasi yang membangkitkan kecemasannya sesuai dengan tingkat kenyamanan anak. Hasil penelitian intervensi ini di beberapa negara menunjukkan bahwa Coping Cat Program efektif secara lintas budaya. (Kendall, Chu, Gifford, Hayes, & Nauta, 1998, dalam Wenar & Kerig, 2005). Anak juga dapat merasakan dampak jangka panjang dari program ini seperti yang dibuktikan oleh Kendall, dkk (2004, dalam Wenar & Kerig, 2005). Mereka menemukan bahwa anak yang berhasil menyelesaikan program itu ketika masa anak-anak, masih dapat mempertahankan hasil itu setelah 7. 4 tahun setelahnya dan cenderung tidak terlibat dalam penggunaan obat terlarang. Kanada dan Australi telah mengadaptasi Coping Cat Program dengan melakukan beberapa variasi dari program sesuai dengan budaya. Di Kanada, program itu dinamakan Coping Bear sedangkan di Australi, program itu dinamakan Coping Koala (http://www.promisingpractices.net/program.asp?programid=153).

II.F.2.a.1 Komponen dalam CBT CBT untuk gangguan kecemasan mencakup enam komponen utama, yaitu psikoedukasi, somatic management, cognitive restructuring, problem solving, exposure, dan relapse prevention. Velting, Setzer, dan Albano (2004) memberikan penjelasan setiap komponen sebagai berikut : A. Psikoedukasi Psikoedukasi memberikan pemahaman kepada keluarga mengenai dasar dari kecemasan, cara anak mempelajari kecemasan berlebihan dan mempertahankannya, dan proses dari setiap teknik dalam treatment. Terapis dengan pendekatan cognitive-behavioral menjelaskan kecemasan sebagai suatu emosi yang normal dan berfungsi untuk menjaga individu serta memotivasinya untuk mencapai tujuan tertentu. Namun, untuk beberapa alasan tertentu, seperti sistem saraf yang teralalu aktif, sejarah kecemasan dalam keluarga, observasi anak terhadap cara orang lain menghadapi situasi), beberapa anak belajar merespon situasi dengan kecemasan yang berlebih dibandingkan orang lain. Anak mempertahankan kecemasan dengan berbagai cara seperti menghindar dan memiliki pikiran yang tidak membantunya. CBT membantu anak untuk belajar cara baru untuk menghadapi situasi menakutkan/mencemaskan dengan lebih mudah dan percaya diri. Perlu ditekankan bahwa kecemasan tidak dihilangkan karena emosi itu penting dan dibutuhkan. Pada remaja, CBT mengajarkan bahwa kejadian tidak menyenangkan akan selalu ada dalam kehidupan seseorang dan mengajarkan mereka untuk proaktif dalam mengatasi kejadian itu (Kendall, 1992, dalam Velting, Setzer, & Albano, 2004). Dalam CBT, anak diminta menjadi detektif untuk menemukan petunjuk mengenai kecemasannya, termasuk di dalamnya adalah identifikasi reaksi fisiologis, kognitif, dan perilaku.

B. Somatic Management
Dalam somatic management, anak belajar teknik bernapas (deep dan diaphragmatic breathing) dan beberapa bentuk relaksasi. Prosedur berbeda-beda antar anak. Hal itu bergantung pada jenis gangguan kecemasan dan tingkat keparahan serta pola komorbiditas. Secara umum diaphragmatic breathing adalah cara termudah untuk menenangkan respon dari kecemasan. (Velting, Setzer, & Albano, 2004)

C. Cognitive Restructuring
Cognitive restructuring mencakup identifikasi pikiran yang tidak membantu dan memprovokasi kecemasan dan cara menghadapi hal itu dengan proaktif, coping-focused thinking, dan perencanaan perilaku berdasarkan pada realitas. Anak didukung untuk fokus pada alternative yang realistis dan melatih cara soping dengan menggunakan somatic management. Orang tua berperan sebagai pelatih bagi anak dalam membantu anak mengevaluasi bukti dari pikirannya dan mencapai solusi coping yang sesuai. (Velting, Setzer, & Albano, 2004)

D. Problem Solving Dalam problem solving, anak mengembangkan berbagai metode untuk mengatasi masalah situasi tertentu. Anak juga belajar mengeksplorasi lebih dalam setiap metode itu, mencoba, dan menentukan metode yang sesuai. Di samping itu, anak juga belajar mengevaluasi hasil dari setiap metode. (Velting, Setzer, & Albano, 2004)

E. Exposure Exposure merupakan elemen kunci dari treatment kecemasan apapun (Albano et al., 2001; Barrios & O’Dell, 1998, dalam Velting, Setzer, & Albano, 2004). Exposure mencakup proses sistematis, bertingkat, dan terkontrol dalam memaparkan anak pda situasi atau stimulus yang menakutkan. Exposure memberikan pengalaman bagi anak untuk menggunakan teknik yang telah dipelajarinya.

F. Relapse Prevention Komponen ini bertujuan memantapkan skill anak dalam mengatasi kecemasan dan menggeneralisasi serta mempertahankan hasil treatment. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah anak menyimpan buku berisi catatan mengenai proses terapi dan skill yang dipelajari dan memberikan interval yang lebih panjang antar kunjungan. (Velting, Setzer, & Albano, 2004) Tabel di bawah ini menguraikan secara singkat komponen dalam CBT. [pic]
Tabel 2.3. Komponen dalam CBT
II.F.2.b Being Brave : A Program for Coping with Anxiety for Young Children and Their Parents Program intervensi Being Brave merupakan adaptasi dari program Coping Cat dari Kendall. Adaptasi terhadap program Coping Cat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan intervensi anak usia 4-7 tahun yang memiliki gangguan kecemasan, seperti SAD, Specific Phobia. Selama ini program CBT lebih banyak diberikan dan diuji kepada anak usia sekolah dan remaja. Asumsinya adalah anak usia prasekolah belum sesuai secara usia perkembangan untuk mendapatkan manfaat dari intervensi berbasis cognitive-behavioral. Intervensi khusus untuk usia prasekolah sangat dibutuhkan. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa prevalensi anak usia prasekolah sama besarnya dengan kelompok usia lainnya. Gejala kecemasan pada anak usia prasekolah juga sangat mirip dengan anak usia sekolah (Eley, dkk, 2003; Spence, Rapee, Mc.Donald, & Ingram, 2001, dalam Hirshfeld-Becker, dkk, 2010). Program Being Brave mengikuti model CBT yang melibatkan skill building (pelatihan relaksasi, cognitive restructuring) dan in vivo exposure. Dalam program ini, instruksi disesuaikan dengan usia anak dan latihan exposure melibatkan permainan serta immediate positive reinforcement. Selain itu, keterlibatan orang tua dalam modeling dan menguatkan teknik coping lebih besar. Orang tua juga mendapatkan parental anxiety management strategies dan parent skill training. Dengan demikian program ini bertujuan untuk menurunkan gejala kecemasan, juga untuk memodifikasi faktor dari orang tua yang dihipotesis berpengaruh terhadap perilaku anak mempertahankan kecemasannya. Orang tua belajar metode coping yang sesuai, memuji usaha anak untuk melakukan adaptive coping, dan untuk menghentikan perilaku mengkritik atau menguatkan perilaku kecemasan. (Hirshfeld-Becker, dkk, 2010) Hasil penelitian Hirshfeld-Becker, dkk (2010) menunjukkan bahwa program Being Brave dapat dipercaya menurunkan gejala kecemasan secara umum dan mengembangkan coping skills untuk rentang usia ini. Namun, perlu diingat bahwa penelitian ini tetap memiliki keterbatasan. Penelitian ini melibatkan sejumlah anak dengan spektrum gangguan kecemasan, namun hasil dari penelitian ini tidak terlalu kuat dalam membandingkan hasil intervensi antar jenis gangguan. Dengan demikian, masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengkaji hal itu. Secara khusus, dengan keterbatasan yang ada, peneliti berusaha membandingkan efektivitas antar jenis gangguan. Hasilnya menunjukkan bahwa apabila dilihat secara terpisah maka kemajuan klinis GAD tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh pengetahuan yang kurang memadai mengenai GAD. GAD yang mucul pada anak sejak usia dini memiliki perbedaan gejala. Anak dengan GAD menunjukkan gejala fisik yang lebih sedikit dan lebih fokus pada kecemasan yang berlebihan untuk sempurna, tepat waktu, dan performa mereka sendiri (American Psychiatric Association, 2000, dalam Hirshfeld-Becker, dkk, 2010). Oleh karena itu, penelitian lanjutan mengenai GAD pada anak usia pra-sekolah sangat dibutuhkan agar dapat diperoleh informasi yang lebih banyak mengenai karakteristiknya serta perkembangan gangguan itu pada usia perkembangan selanjutnya.

Bab III
Obsessive-Compulsive Disorder (OCD)

III.A Definisi Obsessive-Compulsive disorder (OCD) dikarakteristikan oleh kecemasan yang menstimulasi atau distress lain serta menyebabkan perilaku kompulsif (atau penghindaran) yang diharapkan dapat mengurangi keadaan yang membahayakan. Berdasarkan sejarah, klasifikasi OCD sudah dikenali Diantara gangguan kecemasan lain dalam Diagnostic and statistical Manual of Mental Disorders (seperti DSM-IV-TR; APA, 2000 dalam Barrett, Farrell, Pina, Peris, & Piacentini, 2008). Namun kerangka besar yang terus berkembang atas pembuktian dari literatur fenomenologikal, neurobiologikal, genetika, dan treatment menimbulkan pertanyaan tentang klasifikasi nosologikal, dan memunculkan justifikasi pertimbangan agar OCD terpisah dari gangguan kecemasan lainnya. Lebih lanjut, pembuktian ini kemudian hendak menempatkan OCD dalam kategori terbaru yaitu gangguan OC spectrum (OC spectrum disorders) pada DSM –V (Bartz & Hollander, 2006 dalam Barrett, Farrell, Pina, Peris, & Piacentini, 2008). Menurut Wilhemhurst (2005), Obsessive-Compulsive disorder (OCD) yaitu meliputi obsessions/obsesi yang mengganggu (pikiran irasional) dan atau compulsions/kompulsi (perilaku yang tidak terkontrol) yang terjadi paling tidak satu jam tiap harinya dan menganggu performa normal dari hari ke hari. Sementara, Weinar (2005) menyatakan bahwa Obsessive-Compulsive disorder (OCD) ditandai dengan pikiran-pikiran (obsesi) dan perilaku (kompulsif) yang menganggu. Lebih lanjut, pikiran dan tindakan muncul dari sumber diri anak yang tidak dapat (1) dikontrol dan (2) begitu kuat serta dapat dikatakan sebagai suatu yang (3) irasional. Kriteria OCD lebih lengkap terurai dalam DSM-IV-TR (lihat tabel III.1). Sementara, menurut Garcia dan Freman (2009), gejala-gejala OCD pada masa anak-anak serupa dengan masa anak-anak lanjut, remaja, dan dewasa, serta meliputi pikiran yang berulang-ulang dan menekan, bayangan, ide-ide, atau dorongan (obsesi) dan tindakan mental atau perilaku repetitif/berulang (kompulsi) yang ditunjukkan untuk menetralisasikan kecemasan yang berkaitan dengan obsessions (lihat gambar III.1). Masa anak-anak-onset OCD berhubungan dengan gangguan fungsional yang signifikan dalam sejumlah domain kritikal. Gangguan ini mungkin berkembang sepanjang waktu untuk menghambat penguasaan tugas-tugas perkembangan (Flament et al., 1990; Leonard, Lenane, & Swedo, 1993; Piacentini, Bergman, Keller, & McCracken, 2003; Swedo, Rapoport, Leonard, Lenane,&Cheslow, 1989; Valderhaug & Ivarsson, 2005 dalam Freeman & Garcia, 2009). Jika hal ini terlewat ditangani atau penanganannya tidak cukup, OCD yang dimiliki oleh anak-anak usia awal akan benar-benar menghambat perkembangan normatifnya, mengganggu performa, dan akan berkembang hingga masa dewasa (Freeman & Garcia, 2009). Paling sering, obsesi mencakup perilaku ketakutan terhadap bakteri atau kontaminasi, ketakutan terhadap bahaya diri sendiri atau orang lain, dan religiusitas yang berlebihan (Chang & Piacentini, 2002). Menurut Garcia, et.al (dalam Freeman & Garcia, 2009) juga menemukan obsesi yang paling umum yaitu ketakutan terhadap kontaminasi dan agresi. Kemudian, menurut Wenar (2005), tidak semua obsesi berkaitan dengan kecemasan. Anak mungkin mengeluhkan pikiran yang menganggu, perasaan jijik atau tidak nyaman, atau sensasi yang tidak jelas (ambigu) terhadap sesuatu yang dirasa tidak benar (just right phenomenon) (Lihat tabel III.2). Sementara, untuk kompulsif, yang paling umum pada anak-anak yaitu berupa mencuci tangan, mengecek berulang-ulang (seperti mengecek pintu terus menerus untuk memastikan sudah terkunci), sangat peduli terhadap keteraturan, dan menghitung berulang-ulang serta menyentuh objek berkali-kali sesuai jumlah angka tertentu (Chang & Piacentini, 2001). Sama halnya menurut Garcia, et.al, (dalam Freeman & Garcia, 2009), sepanjang prakteknya dengan anak-anak di masa awal-onset OCD, ditemukan bahwa mengecek dan mencuci adalah compulsions yang paling umum. Lebih lanjut, Wenar (2005) menyatakan bahwa ada hal yang tidak biasa terjadi pada anak yaitu mengkombinasikan sejumlah angka tertentu (sebanyak tertentu) atas ritual-ritual. Anak usia 11 tahun yang sangat ketakutan terhadap bakteri/kotoran menggunakan angka ‘4’ untuk melindungi dirinya dengan berbagai cara: dia menyentuh garpunya sebanyak 4 kali sebelum makan, menghitung sampai ‘4’ ketika memasukan ke dalam locker di ruangan senam/gym, keluar-masuk sebayak ‘4’ kali sebelum akhirnya tidur, dan membariskan pensilnya yang teraut dengan sempurna menjadi ‘4’ buah tiap kelompok. Ketika anak merasakan khawatir terhadap suatu hal ritualnya, anak akan mengulanginya sebanyak ‘4’ kali. Hal yang mudah untuk melihat bagaimana OCD menjadi gangguan yang menganggu kehidupan personal, sosial, dan akademis anak dan hal ini juga menjadi beban bagi keluarganya. Sebagai contoh Piacentini dan rekan menemukan bahwa 162 anak dengan OCD, orangtuanya melaporkan bahwa gejalanya menganggu fungsi berbagai area kehidupan anak : menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ditugaskan di rumah (78 % dari anak), tidur saat malam hari (73 %), berkonsentrasi terhadap tugas sekolah (71 %), dan berhubungan dengan anggota keluarga (70 %). Lebih dari 85 % anak OCD mengganggu kemampuan anak dalam 3 area yaitu sekolah, rumah dan hubungan dengan teman sebaya. Gejala anak-anak akan meningkat saat mengalami stres seperti awal tahun ajaran sekolah, pindah ke rumah baru, atau berpisah dengan anggota keluarga. Dengan usaha yang besar, anak dengan OCD akan mampu mengontrol perilakunya dalam rentang waktu yang singkat dalam kondisi tertentu seperti situasi kelas atau sosial; dan oleh karena itu guru atau orang lain tidak menyadari kesulitan anak dalam rentang waktu tertentu tersebut.

Gambar III.1
The OCD cycle/Siklus OCD (Freeman & Garcia, 2009)

|A. Obsession atau compulsion |
|Obsessions didefinisikan : |
|Pikiran, impuls, bayangan yang persisten dan berulang yang dialami, di beberapa waktu selama gangguan, menganggu dan tidak sesuai yang |
|menyebabkan kecemasan atau distres |
|Pikiran, impuls, bayangan bukanlah kekahawatiran yang berlebihan secara sederhana tentang masalah kehidupan nyata |
|Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, bayangan, atau menetralisasi dengan pikiran atau tindakan lain |
|Orang mengenali bahwa pikiran, impuls, atau bayangan dihasilkan dari pikiran mereka sendiri |
| |
|Compulsions didefinisikan : |
|Perilaku repetitif (seperti mencuci tangan, menyusun, mengecek) atau tindakan mental (seperti berdoa, berhitung, mengulang kata tanpa |
|bersuara) yang orang tersebut rasakan mendorong untuk berespon menjadi sebuah obsesi, sejalan dengan atauran yang harus dilakukan dengan |
|kaku |
|Perilaku atau tindakan mental yang ditujukan untuk mengurangi distres atau mencegah peristiwa atau situasi yang menakutkan; namun |
|perilaku atau tindakan mental ini tidak dilakukan dengan cara yang realistik yang mereka rencanakan untuk menetralisasi atau mencegah |
|atau jelas-jelas berlebihan |
|B. Dalam sejumlah titik perjalanan gangguan ini, orang mengakui obsessions dan compulsions berlebihan atau tidak beralasan. Catatan: Ini |
|tidak berlaku bagi anak-anak |
|C. Obsessions atau compulsions menyebabkan distres yang tampak, menghabiskan waktu (lebih dari 1 jam per hari) dan secara signifikan |
|menganggu fungsi normal, aktivitas atau hubungan sosial dari seseorang, |
|D. Jika gangguan lain Axis 1 ada, obsessions dan compulsion tidak ditekankan (misalnya preokupasi terhadap maknan dengan adanya Eating |
|Disorder; pencabutan rambut dengan adanya Trichotillomania; Juga perhatikan dengan penampakan adanya Body Disnorphic Disorder;preokupasi |
|dengan obat-obatan dengan adanya Substance Use Diosorder; preokupasi dengan penyaklit serius yaitu dengan adanya Hypochondriasis; |
|preokupasi dengan dorongan seksual atau fantasi dengan adanya Paraphilia; atau guilty ruminations dengan adanya Major Depressive |
|Disorder. |
|E. Gangguan tidak berlaku bagi pengaruh langsung substansi (penyalahgunaan obat, pengobatan) atau kondisi general medication. |

Tabel 3.1
Kriteria DSM IV TR Obsessive-Compulsive Disorder (OCD)

|Obsessions |Compulsions |
|Kontaminasi |Mencuci |
|Bahaya terhadap diri atau orang lain |Mengulang |
|Agresi |Mengecek |
|Seks |Menyentuh |
|Agama, moralitas |Menghitung |
|Pikiran yang terlarang |Mengatur |
|Simetri |Menyimpan/mengumpulkan |
|Perlunya untuk bercerita atau mengaku salah |Berdoa |

Sumber : March dan Mulle, 1998 (dalam Weinar, 2005)
Tabel 3.2
Obsessions dan compulsions yang umum pada OCD di masa anak-anak (Weinar, 2005)

|Obsessions |Compulsions |Manifestasi dalam seting sekolah |
|Takut terhadap kontaminasi |Mencuci/membersihkan |Meminta izin dirinya keluar dari kelas untuk ke kamar mandi (siswa |
| | |mungkin melakukan ritual mencuci) |
| | |Mengeringkan, melembutkan, mengibaskan tangan, melukai tangan; mirip |
| | |dengan eczema |
|Takut akan bahaya, penyakit, |Mengecek |Secara berulang mengecek buku dalam tas, memaksa diri kembali ke |
|kematian/kekhawatiran patologis | |rumah untuk mengecek sesuatu, mengecek dan mengecek kembali tugas |
| | |atau PR, mengecek locker untuk memastikan terkunci |
|Simetri |Mengatur |Mencoba mengelas dan menyemir sepatu sampai kedua pasang sepatu |
| | |terlihat sama persis |
| | |Melangkah dengan pijakan yang identik/sama |
| | |Berbicara dengan penekanan yang seimbang dari setiap syllable |
| | |Mengatur buku-buku di rak atau item-item halaman sehingga terlihat |
| | |simetris |
|Ketakutan akan bahaya, penyakit, |Mengulang |Mengajukan pertanyaan yang bercabang tiada berujung, atau satu |
|kematian/sekedar perasaan | |pertanyaan tapi diulang-ulang dengan cara yang berbeda |
| | |Membaca dan mebaca kembali kalimat, paragraf atau halaman di buku |
| | |Menghapus atau menghapus kembali kata atau angka di kertas |
| | |Mencoret atau menulis kembali kata |
| | |Mengulang-ulang meraut pensil |
|Angka |Menghitung |Menghitung berulang-ulang sejumlah angka ‘magic’ tertentu |
| | |Menyentuh atau menghitung objek sejumlah angka tertentu |
|Scrupulosity (ketakutan akan melakukan |Pengakuan dosa/ Penghukuman |Mengulang mantera doa-doa |
|sesuatu yang buruk/imoral) |diri sendiri (penance) |Pergi ke tempat pengakuan dosa berkali-kali dalam seminggu |
|Perilaku kompulsif lainnya | |Penghindaran secara kompulsif (seperti takut akan objek, tempat atau |
| | |peristiwa) |
| | |Mencari kepastian/meyakinkan diri akan sesuatu berulang-ulang |

Tabel 3.3
Contoh obsessions dan compulsions serta manifestasi perilaku di sekolah (dalam Adams, 2004)

III.B Karakteristik
III.B.1 Prevalensi Prevalensi anak dengan OCD yaitu 1 – 3 persen dari populasi umum anak-anak, angka ini sama dengan prevalensi orang dewasa. Sementara, dalam populasi klinis pada anak, ada 15 persen. Namun, prevalensi ini mungkin angka estimasinya terlalu kecil-OCD pada anak sulit dideteksi. Misalnya, salah satu survey epidemiologikal siswa SMA, hanya sedikit siswa SMA yang mengikuti treatment, banyak siswa dengan OCD tidak menjalani treatment padahal jelas-jelas terdiagnosa OCD. Ada perbedaan gender dalam masa anak-anak, yaitu anak laki-laki memulai lebih awal daripada anak perempuan. Perbedaan ini cukup jauh, tetapi setelah dewasa perbedaan ini menghilang.

III.B.2 Keterkaitan etnik, kelas sosial, dan gender dengan OCD Studi epidemiologikal membuktikan menemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat prevalensi berdasarkan ras dan etnisitas namun orang Eropa-Amerika yang menerima treatment lebih tinggi dibandingkan orang Afrika-Amerika.

III.B.3 Komorbiditas Tingkat komorbiditas OCD termasuk tinggi. Di sampel komunitas, kira-kira 84 % dari anak OCD dalam kondisi berkomorbid , sementara dalam sampel klinis kira-kira 41 %. Kondisi komorbid yang umum yaitu depresi dan gangguan kecemasan lainnya, khususnya fobia sosial, tik, dan gangguan kebiasaan (Weinar, 2005). Sementara itu, Geller (2006, dalam Sturm, 2009) juga menguraikan bahwa komorbiditas pada anak-anak dengan OCD adalah hal yang umum. Berdasarkan penemuan-penemuan, menunjukkan bahwa 80 persen anak dengan OCD paling tidak berkomorbid dengan satu gangguan psikiatri lainnya. Paling umum yaitu dengan gangguan kecemasan, gangguan mood, gangguan tic, gangguan perkembangan, dan ADHD (Geller et al., 1998;Rapoport & Inoff-Germain, 2000). Sukhodolsky et al. (2005) menemukan ADHD dan OCD menambah pengaruh terhadap fungsi sosial dan sekolah. Usia kronologis dan usia onset OCD mungkin memprediksikan pola komorbiditas yang berbeda, yang pertama dikaitkan dengan gangguan mood dan psikotik dan kemudian meningkat menjadi resiko gangguan kecemasan lainnya yang lebih beragam serta ADHD (Geller et al., 2001 dalam Sturm, 2009)

III.B.4 Developmental Course The age of onset dapat dilihat sedini mungkin saat usia 7 tahun, meskipun usia rata-rata yaitu antara 10 – 14 tahun (Weiss & Last, 2001 dalam Weinar, 2005). Ketika satu waktu OCD berkembang, tidak ada yang mengkhawatirkan tingkat keparahan OCD. Ternyata, penemuan demi penemuan menunjukkan 43 sampai 68 persen orang usia muda yang ditreat karena OCD secara kontinyu akan menunjukkan kriteria gangguan ini dari sejak 2 sampai 14 tahun sejak diagnosis awal, sementara 32 persen menunjukkan kondisi komorbid dengan gangguan lain (Luckie & Steinberg, 1995 dalam Weinar, 2005).

III.C Etiologi Meskipun penyebab OCD masih ada yang belum banyak diketahui, banyak teori yang mencoba mengenali penyebabnya. Evaluasi faktor genetis berkontribusi terhadap OCD, menunjukkan bahwa OCD ada unsur familial yang tinggi. Namun, menggunakan sampel cross-cultural 4246 pasangan kembar, Hudziak et al., (2004, dalam Sturm, 2009) akhirnya menyimpulkan bahwa faktor genetika dan nongenetika berkontribusi secara seimbang dalam perkembangan OCD.

Biologikal, genetik, dan fungsi neurotransmiter Beberapa teori etologi neurochemical meliputi gangguan fungsional pada sistem bangsal ganglia limbik frontal seperti halnya abnormalitas thalamus dan struktural neuro kortikal (Lewin, Storch, Adkins, Murphy, & Geffken, 2005 dalam Sturm, 2009). Dihipotesiskan jika daerah kortikal mengalami disfungsional pada pasien OCD, kemudian mekanisme kesadaran harus digunakan untuk menyelesaiakn hal-hal yang terjadi otomatis pada otak yang tidak mengalami kerusakan. Hasilnya, pikiran obsesif atau tidak sesuai berulang-ulang menganggu dan proses pikiran sadar menekannya, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk perilaku ritualistik (Neel, Stevens, & Stewart, 2002 dalam Sturm, 2009). Sementara itu, OCD dilaporkan beresiko bagi keluarga yang juga mengalami OCD dengan early onset. Tingkat yang rendah serotonin neurotransmiter juga terdeteksi menjadi penyebab OCD pada pasien OCD. Sementara itu, the tricyclic antidepressants clomipramine (Anafranil) dan the SSRI fluoxetine (Prozac), dapat diberikan untuk meningkatkan serotonin yang menunjukkan efektif dalam mengatasi gejala OCD (Wilhemhurst, 2005). Selain itu, dalam penyebab potensial lainnya yaitu berkaitan dengan sistem saraf. Autoimunitas post-streptotocal disebut-sebut menjadi penyebab potensial OCD childhood-onset. Hal ini berdasarkan penelitian pada childhood-onset OCD dan Tourette’s syndrome serta studi Sydenham’s chorea, varian neurologic demam reumatik. Sydenham’s chorea percaya bahwa berkembangnya gangguan ini karena reaksi silang anti antibodi GABHS dengan neuron-neuron pada sistem saraf pusat. Beberapa penelitian melaporkan perkembangan gejala OCD dengan Sydenham’s chorea, yang mana gejala ini akan terpecahkan jika chorea menghilang (dalam Leonard, et al., 2001)

Teori Perilaku Meskipun ada penemuan bilogikal dan neurologikal, adapula penjelasan behavioris yang menyatakan perilaku kompulsif dapat berkembang dengan ‘asosiasi’ yang kejadianya beragam. Behavioris beralasan bahwa ritual cuci tangan menjadi berkaitandengan pengurangan kecemasan dan ini terjadi berulang-ulang. Sementara itu, asosiasi lainnya beragam secara acak, ada pula asosiasi lainnya yang menghubungan gejala OCD dengan insiden traumatis (Wilhmhurst, 2005)
Pola asuh dan lingkungan keluarga Ada peningkatan ketertarikan yaitu untuk menghubungkan antara pengaruh keluarga terhadap pola pikiran yang negatif pada anak yang cemas. Studi menemukan 80 persen anak dengan OCD memliki keluarga yang suka mengkritik dan banyak terlibat (ekspresi emosinya berlebihan), sementara remaja dengan OCD menggambarkan keluarga mereka dikondisikan dengan kekurangan dalam hal kehangatan, kedekatan dan dukungan (Valleni-Basile et al.,1995 dalam Wilmhurst, 2010)
Teori Kognitif Pemikiran maladaptif adalah hasil dari perasaan ketidakmampuan mengontrol faktor resiko (misalkan bahaya) sementara mengakibatkan pasien untuk merasakan bagaimanapun bertanggung jawab atas kejadian mereka (misalkan pikiran-pikiran tentang bahaya) dan dorongan untuk menghilangkan pikiran dengan mengulang perilaku kompulsif (Rachman, 1993 dalam Wilmhurst, 2005)

III.D Assessment Diagnosis
Assessment diagnosis ini dapat dilakukan dengan :
a. The Children’s Yale Brown Obsessive Compulsive Scale (CY:BOCS; Goodman, Rasmussen & Price, 1988). Skala ini untuk anak usia 6–18 tahun. Guna mengukur tingkat obsesi dan kompulsi: waktu yang dihabiskan, distres, dan gangguan dalam performa kegiatan sehari-hari (Choate-Summers, et.al, 2008. Validitas dan realibilitasnya cukup, peka melihat perubahan setelah mendapatkan treatment, dan hal ini telah dibuktikan dalam studi farmakologikal dan terapi perilaku. Literatur mendukung penggunaan pengukuran ini pada anak-anak masa sekolah awal seperti usia 6 tahun(March & Leonard, 1998 dalam Freeman & Garcia, 2009) dan telah berhasil digunakan pula pada anak usia 5 tahun pada program penelitian. Pengukuran ini sesuai untuk digunakan bagi anak-anak berusia 5 – 8 tahun, di atas 8 tahun, dan remaja, tetapi penting pula untuk memperhatikan penggunaannya yaitu pada populasi anak-anak dengan tahapan perkembangan yang normal (Freeman & Garcia, 2009)
b. Children's OCD Impact Scale (COIS) adalah alat ukur dalam firmat terstandarisasi untuk mengevaluasi fungsi psikososial. Terdiri dari 3 subskala yaitu social impact (7 item), school impact (6 item), dan home/family impact (7 item). COIS adalah alat ukur yang dapat digunakan untuk memprediksi status independen dari keparahan secara diagnostik (Piacentini et al., 2003). Alat ukur ini juga responsif untuk melihat perkembangan atas pengaruh treatment(Geller et al., 2001 dalam Choate-Summers, et.al, 2008)
c. The K-SADS-P/L adalah rating wawancara semi-struktural orangtua dan anak untuk menentukan OCD dan gangguan kecemasan lainnya (Hirshfeld-Becker et al., 2004; Youngstrom, Gracious, Danielson, Findling, & Calabrese, 2003 dalam Choate-Summers, et al., 2008)
d. Family Accommodation and Impact Scale-Child (FAIS-C) FAIS-C adalah clinician-rated interview yang dirancang untuk diadministrasikan kepada orangtua yang memiliki anak dengan OCD. Wawancara dirancang untuk mengukur rentang perilaku dan pengaruh gejala anak dengan OCD terhadap orangtua dan anggota keluarga. FAIS-C didasarkan pada Family Accommodation Scale yang asli (FAS; Calvocoressi et al., 1999) merupakan wawancara terstandarisasi bagi klinisian yang digunakan untuk menilai perilaku yang sesuai pada pasien dewasa dengan OCD. Pertanyaan-pertanyaan dari FAS dimodifikasi dalam beberapa hal untuk digunakan pada anak-anak dengan persetujuan pembuatnya, dan disertai item tambahan untuk mengukur dampak gejala-gejala pada anak terhadap fungsi keluarga. Metode untuk penambahan item tersebut diadaptasi dari The Impact on Family Scale (Stein & Riessman, 1978). FAS memiliki realibilitas an validitas yang cukup; nemaun FAIS-C belum dilhat validasi terbarunya. Untuk tujuan dari program treatment, tujuan dari pengukuran yaitu membantu terapis memperoleh pemahaman sebelum memulai treatment tentang bagaimana keluarga dapat dipengaruhi dan bermain peran bersama anak dengan OCD.

III.E. Differential Diagnosis Gejala-gejala yang saling tumpang tindih (overlap) antara OCD dan gangguan psikiatri dan neurologikal lainnya, menjadikan tantangan adanya differential diagnosis dari OCD. Namun, karakteristik klinikal dari gangguan spesifik dapat membantu membangun diagnosis dari OCD (Lihat tabel III.4). Hal yang penting yaitu diperhitungkannya pula usia pasien ketika mempertimbangkan differential diagnosis untuk OCD, yaitu terkait obsesi dan kompulsi yang memang muncul dalam perkembangan normal pada kebanyakan anak-anak. Misalkan ritual sesuai tahap perkembangan seperti waktu tidur dan rutinitas superstitious anak-anak pra sekolah, serta permainan, ritual, dan aktivitas bersifat repetitif di masa usia sekolah. Ritual sesuai tahap perkembangan dapat dibedakan dari gejala OCD yang biasanya dihubungkan dengan peristiwa menekan pada masa transisi dan tidak mengakibatkan distres yang ekstrim atau gangguan dalam kehidupan anak (Snider & Swedo, 2000; Thomsen, 1998 dalam Sturm, 2009). Berikut ini tabel differential diagnosis pada OCD untuk anak dan remaja (Sturm, 2009) :

|Differential Diagnosis |Karakteristik pembeda atas differential, dibandingkan dengan OCD |
|Depresi |Hal yang menjadi pikiran pada depresi biasanya yaitu kekongruenan mood (seperti, penilaian |
| |negatif terhadap diri sendiri/kehidupan pasien daripada obsesi yang tipikal seperti pada |
| |OCD (misalnya, kekhawatiran akan kontaminasi kotoran) |
|Generalized Anxiety Disorder (GAD) |Dikarakteristikan dengan kekhawatiran yang berlebihan, tetapi tidak seperti OCD, hal yang |
| |menjadi perhatian pada GAD yaitu meliputi sesuatu yang lebih kepada pengalaman kehidupan |
| |nyatab |
|Obsessive-compulsive personality disorder|Diarakteristikan oleh perfeksionisme dan infleksibilitas yang kronis, tetapi tidak seperti |
| |OCD, tidak ada obsesi atau ritual-ritual |
|Obsessive-compulsive spectrum disorders |Pikiran obsesional yang difokuskan pada aspek spesifik (misalkan, makanan pada eating |
| |disorders, body image dalam body dysmorphic disorder, mencabut rambut dalam |
| |trichotillomania)b |
|Panic disorder |Tidak seperti OCD, panic dapat terjadi tanpa trigger apapun (seperti stimulus compulsion) |
| |dan tidak disertai dengan ritual yang kompulsifb |
|Pervasive developmental disorder (PDD) |Perkembangan sosial biasanya lebih buruk pada PDD dibandingkan pada OCDb |
|Phobias anxiety |Objek yang menakutkan menghasilkan kecemasan yang tanpa alasan daripada yang sebenarnya |
| |harus dihindari, jika dibandingkan pada respon yang bersifat ritual yang ada pada OCD |
|Schizophrenia |Schizophrenia meliputi pemikiran yang disorganized dan fungsi sosial yang buruka; pasien |
| |dengan OCD lebih mempunyai kesadaran (insight) terhadap gangguan yang dialaminyaC |

Tabel 3.4
Tabel differential diagnosis pada OCD untuk anak dan remaja (Sturm, 2009)

aGedenk & Nepps, 1997 bPresta et.al, 2003 cKhouzam, 1999

III.F Intervensi
III.F.1 Pharmacology Studi menunjukkan pengobatan psikotropik dapat menjadi tambahan dari intervensi psikososial (Grados & Riddle, 2001 dalam Cameron, 2007). Namun, pengobatan psikotropik tidak pernah digunakan sebagai satu-satunya bentuk intervensi (Thomsen, 2001 dalam Cameron, 2007). SSRIs adalah intervensi pilihan bagi individu dengan OCD (Thomsen 1996, 2002, Leonard et al. 2005, Lewin et al. 2005 dalam Cameron, 2007). Randomized controlled trials menghasilkan bahwa SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) menjadi treatment yang efektif bagi yang mengalami OCD pada anak dan remaja (McClellan & Werry, 2003 dalam Wilhurst, 2005). SSRIs yang umum yaitu terdiri dari paroxetine (Paxil), fluoxetine (Prozac), fluvoxamin (Luvox), dan sertraline (Zoloft). Bukti-bukti semakin berkembang untuk melihat pengaruh dari SSRIs pada anak dengan OCD. Clomipramine, sebuah tricylic antidepressant dengan Serotonin Reuptake Inhibition (SRI) adalah yang pertama diteliti pada populasi pediatrik dan disetujui oleh The Food and Drug Administration untuk treatment anak dengan OCD yang berusia 10 tahun dan lebih tua. Meskipun, dalam sebuah studi, sekalipun ada perbaikan dalam gejala-gejala OCD, lebih dari 80% partisipan tetap menunjukkan kriteria diagnosis klinikal dari OCD. Clomipramine secara umum dapat diterima oleh pasien pediatrik. Efek samping antikolinergik dan antihistaminik memang tampak pada orang dewasa sekalipun sangat ringan efeknya. Sekarang ini, SSRIs menjadi populer sekalipun ada efek samping antikolinergik dan antihistaminik. Kemudian, adapula controlled trials sertraline dan fluxoxamine. Kedua pengobatan ini efektif mengurangi gejala sebesar 30 sampai 40 %, hampir sama dengan keefektifan clomipramine. The Food and Drug Administration membuktikan efek fluvoxamine untuk treatment anak berusia 8 tahun dan lebih tua dan sertraline untuk anak-anak berusia di bawah 6 tahun. Sementara, studi tentang paroxetine dan fluoxetine masih sedang dilakukan. Sementara menurut Thomsen (dalam Cameron, 2007), SSRIs menunjukkan keefektifan pada remaja dan anak-anak usia sekolah lanjutan, namun hal ini belum terlalu banyak pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah dasar. Gambaran efek samping yang dimatai pada anak-anak dan remaja, sama halnya dengan orang dewasa yaitu pertambahan berat badan, hyperarousal dan gastrointestinal distress. Jika anak dan remaja tidak merespon terhadap augmentasi SSRI tertentu atau merespon secara sebagian, alternatif SSRIs, benzodiapines juga dapat digunakan (Thomsen, 1996 dalam Cameron, 2007). Pengenalan yang terus menerus dari intervensi farmakologikal pada anak dan remaja dengan OCD sangat penting dalam mendapatkan respon teurapeutik dari treatment (Grados et.al, 1997 dalam Cameron, 2007). Pendidikan keluarga berkaitan dengan farmakoterapi sebaiknya meliputi diskusi mpengobatan psikotropik (efek samping yang potensial terjadi dari pengobatan psikotropik dan penilaian yang realistik dari hasil/dampak pengobatannya) (Cameron, 2007).

III.F.2 Pengembangan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Berbasis Keluarga Baru-baru ini, penelitian keefektifan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan secara khusus disertai exposure with response prevention (ERP), diteliti dengan intensif pada anak-anak dan remaja dengan OCD (e.g., Abramowitz, Whiteside, & Deacon, 2005, for a review dalam Choate-Summers, 2008). Sementara itu, ada telaah lebih lanjut terhadap hasil ini yaitu keefektifan CBT tidak mengikutkan sampel anak-anak dengan OCD yang berusia di bawah 7 tahun dan model treatment tersebut tidak secara langsung ditujukan terhadap karakteristik unik dari anak-anak dengan OCD yang berusia kecil. Kemudian para peneliti mengembangkan program yang dimodifikasi berdasarkan tahap perkembangan anak yaitu program treatment berbasis keluarga untuk anak dengan onset pada masa tahap awal yang memperhatikan katakteristik anak tahap awal (5 – 8 tahun) dengan OCD. Sementara program ini tetap diadaptasi dari manual treatment untuk anak-anak dan remaja dengan OCD (e.g., March & Mulle, 1998; Piacentini, Jacobs, & Maidment, 1997 dalam Choate-Summers, 2008). Ada beberapa perbedaan antara program treatment berbasis keluarga untuka anak usia lebih kecil dengan program CBT yang telah ada untuk anak-anak dan remaja (Lihat Tabel III.5 dan skema gambar III.1). CBT berbasis keluarga untuk anak-anak usia 5 – 8 tahun dengan OCD menggambarkan pendekatan yang sudah ada sebelumnya yang diaplikasikan pada anak-anak usia di atasnya, namun program treatment ini mengandung elemen dasar yang secara spesifik dirancang bagi anak dengan OCD berusia 5 – 8 tahun. Elemen-elemen ini meliputi (1) perhatian terhadap tahapan perkembangan dan tingkat kemampuan kognitif dan sosioemosional anak, dan (2) mengikutkan keterlibatan anak dan menyadari bahwa sistem keluarga yang tersendiri/berbeda-beda antar keluarga. Program ini benar-benr mempertimbangkan tingkat kognitif dan sosioemosional anak-anak usia kecil melalui penggunaan contoh-contoh yang spesifik, konkrit, dan bersahabat dengan anak-anak. Penerapannya yaitu digunakan pada : 1. Menjelaskan prinsip E/RP
2. Membedakan pikiran obsesional (contoh, pikiran itu berbeda dengan lagu-lagu yang kamu ingat-ingat di pikiranmu atau pikiran karena film seram yang kamu tonton)
3. Mengidentifikasi hubungan antara pikiran obsesional dan kompulsi (contoh, dengan menjelaskan obsesi seperti ‘monster yang mengkhwatirkan’ yang meminta kamu melakukan sesuatu)

Secara khusus, fokus keseluruhan program treatment ini adalah menyediakan seperangkat alat untuk anak-anak dan orangtuanya agar membantu mereka memahami, memanajemen, dan mengurangi gejala OCD. Paling penting yaitu orangtua berlatih treatment yang dapat dijalankan di rumah dan saat sesi yang merupakan bagian yang terintegrasi dalam intervensi ini. Program ini meliputi 3 komponen utama yaitu psychoeducation OCD pada anak-anak usia tahap awal, pendidikan orangtua dan alat untuk memfasilitasi ERP. Setiap komponen ini penting dalam program ini. Berikut ini akan diuraikan Psychoeducation.

Psychoeducation Level perkembangan kognitif anak-anak usia muda mempengaruhi kemampuan anak memahami dan berpartisipasi dalam treatment. Sehingga, informasi terkait OCD sebagai gangguan neurobehavioral dihadirkan untuk orangtua saja dalam 2 sesi awal dalam psychoeducation. Tujuan dari Psychoeducation yaitu (1) menyediakan pendidikan tentang neurobiologis OCD, (2) mengoreksi misatribusi (kesalahpahaman) spesifik tentang OCD, (3) membedakan antara perilaku OCD dan non-OCD, serta (4) menggambarkan program treatment secara detail. Psychoeducation berkaitan dengan program dan prinsip treatment dan dikhususkan untuk orangtua dipertimbangkan sebagai komponen kunci dari treatment. Dalam sesi awal, terapis berpartner dengan orangtua dan mendapat persetujuan dengan orangtua atas model exposure yang akan diperkenalkan awal pada anak. Kemudia, kedua, ada sesi psycoeducation. Sesi ini begitu amat penting karena anak-anak tidak akan sepenuhnya memahami prinsip-prinsip treatmentnya. Namun, sebagai orangtua mereka, dengan memahami dan menerapkan prinsip CBT dan selanjutnya mempelajari intervensinya, anak-anaknya akan mendapat keuntungan dari family-based treatment ini.

Psychoeducation with the Child Selanjutnya setelah psychoeducation yang khusus untuk orangtua, pada sesi ketiga yang sebenarnya menjadi sesi pertama bagi anak dan orangtua berada dalam satu sesi, diberikan informasi terbatas tentang neurobiologis OCD dengan bahasa yang disesuaikan dengan tahap perkembangan anak. Tujuannya memberikan informasi untuk membantu anak, dengan orangtua mereka yaitu antara lain untuk menginformasikan faktor luar OCD sebagai masalah biobehavioral. Sementara itu, anak mungkin tidak mengerti sepenuhnya alasan exposure and response prevention, seperti halnya anak-anak dengan usia tahap perkembangan lebih lanjut dan remaja, mereka seringkali menangkap prinsip dasarnya yaitu bahwa mereka akan menjadi ‘boss’ dari perilaku OCD mereka. Psychoeducation menyediakan pronsip rekomendasi treatment seperti exposure. Kegagalan untuk mengedukasi orangtua dan anak pada tahapan awal akan mempengaruhi terapi dan mungkin menghasilkan kemunduran.

|ERP untuk anak usia lebih tua/remaja |Modifikasi ERP untuk anak usia lebih kecil |
|Berfokus terutama pada individual treatment pada anak |Anak diikutsertakan dalam treatment sesuai dengan tingkat kapasitas perkembangan |
| |tetapi treatment difokuskan terutama pada mengajarkan modal orangtua berjuang |
| |menghadapi OCD |
|Menyediakan anak dengan alat kognitif terhadap OCD yang |Menyediakan anak dan orangtua dengan seperangkat ‘alat’ dan membantu mereka |
|sudah ada |memahami, mengatur, dan mengurangu gejala OCD |
|Menyediakan psychoeducation berkaitan dengan OCD dari |Menyediakan dua sesi dari psychoeducation berkaitan dengan OCD dari aspek |
|aspek orangtua dan anak secara bersamaan |orangtuanya sendiri, diutamakan untuk treatment anak |
|Treatment berfokus pada exposure yang berulang tanpa |Exposures dimodifikasi dengan konteks permainan yang sesuai dengan perkembangan |
|performing compulsions | |
|Orangtua dilibatkan dengan perhatian dari klinisian |Inkoorporasi dengan komponen pelatihan formal untuk orangtua untuk membantu |
| |orangtua mempelajari alat membantu anak mereka (misalkan: atensi, modeling, dan |
| |membimbing regulasi emosi anak dalam merespon sebuah situasi) |

Tabel 3. 5
Modifikasi ERP (Exposure and Response Prevention) untuk anak usia lebih kecil (di bawah 7 tahun) versus ERP anak usia lebih tua dan remaja (Choate-Summers et.al, 2008)

Gambar 3.2
Model treatment pada anak-anak usia tahap menengah dan remaja (Kiri)
Model treatment yang dikembangkan pada anak-anak tahap awal (5 – 8 tahun)
(Choate-Summers, 2008)

-----------------------

Kecemasan

Obsesi

Kompulsi

Relief

Similar Documents

Free Essay

The Effects of Parental Social-Economic Status on the Academic Performance of Secondary School Students

...PARENTS’ SOCIO-ECONOMIC STATUS AND STUDENTS’ ACADEMIC PERFORMANCE. CHAPTER ONE Background to the Study It is an undebatable fact that the home is the fulcrum around which the early years of a child revolves. The central figures are the parents. While child-bearing and child-rearing cannot be divorced one from the other, the type of child-rearing practiced in a family has a tremendous impact on the entire life of the child including his or her academic life. Generally, the social climate or environment in which an individual finds him or her self to a large extent determines his or her behaviour and personality development. Consequently, parental guidance and discipline usually influence the behaviour of the children and at the apex of this parental influence is the mother. According to Olayinka and Omoegun (2001), the word "family" has its origin in the Latin word which could be translated to mean "domestic group". A domestic group is a group of people who habitually share a common dwelling and common food supply. According to Murdoch (1965) family is a social group characterized by common residence, economic, cooperation and reproduction; it includes adults of both sexes, at least two of who maintains a socially approved sexual relationship and one more children, own or adopted by the sexually cohabiting adult. The family provides for the physical maintenance of the child, offers him his first and most continuing social contracts, and gives him affection and other emotional...

Words: 8319 - Pages: 34

Premium Essay

Sleep

...| The effect of sleep on the psychology and development of children and adolescents. | | | nj26 | | Contents INTRODUCTION 3 Why Is Sleep Relevant to Psychology? 4 What Is Sleep and Why Is It Important 4 Sleep Regulation 4 The Impact of Sleep on Daytime Functioning 5 Sleep deprivation impairs learning and memory. 5 Sleep deprivation impairs academic success and neurobehavioral functioning. 5 Sleep deprivation impairs emotional regulation. 5 Sleep deprivation impairs health. 5 Sleep deprivation impairs adolescents’ driving ability. 6 Sleep Behaviour Across Development 6 New-borns and Infants (0 to 12 months) 7 Developmental changes in sleep. 7 Behavioural and psychological factors affecting sleep behaviour. 7 Early Childhood (12 Months to 6 Years of Age) 7 Developmental changes in sleep. 7 Behavioural and psychological factors affecting sleep behaviour. 7 School-Age Years 8 Developmental changes in sleep. 8 Behavioural and psychological factors affecting sleep behaviour. 8 Adolescence 8 Behavioural and psychological factors affecting sleep behaviour. 9 Further studies regarding the effect of sleep on the development and psychology of children and adolescents. 9 Sleep and the Body Mass Index and Overweight Status of Children and Adolescents 9 Sleepless in Chicago: Tracking the Effects of Adolescent Sleep Loss During the Middle School Years 10 Sleep, Learning, and the Developing Brain: Early-to-Bed as a Healthy and...

Words: 7748 - Pages: 31

Premium Essay

The Effect of Sleep on the Psycholology and Development of Children and Adolescents.

... | |The effect of sleep on the psychology and development of children and adolescents. | | | | | | | | | Contents INTRODUCTION 3 Why Is Sleep Relevant to Psychology? 4 What Is Sleep and Why Is It Important 4 Sleep Regulation 4 The Impact of Sleep on Daytime Functioning 5 Sleep deprivation impairs learning and memory. 5 Sleep deprivation impairs academic success and neurobehavioral functioning. 5 Sleep deprivation impairs emotional regulation. 5 Sleep deprivation impairs health. 5 Sleep deprivation impairs adolescents’ driving ability. 6 Sleep Behaviour Across Development 6 New-borns and Infants (0 to 12 months) 7 Developmental changes in sleep. 7 Behavioural and psychological factors affecting sleep behaviour. 7 ...

Words: 7717 - Pages: 31

Premium Essay

Not Mine

...Pakistan Journal of Social and Clinical Psychology 2012, Vol. 10, No, 1, 10-16 Emotional Behaviour and Academic Achievement in Middle School Children Nazar Hussain Soomro and Jane Clarbour Department of Psychology, University of York, USA The present study investigates the relationship between emotional behaviour and academic achievement in middle school children in Hyderabad, Pakistan. One hundred and forty-six students of grade 8 completed the Emotional Behavioural Scale for Pakistani Adolescents (EBS-PA; Soomro, 2010), and rendered measures of their social anxiety, malevolent aggression, and social self-esteem scores. These measures cumulatively represented emotional behaviour in these children, based upon Clarbour and Roger‟s (2004) model of emotional style, on which the EBS-PA scale is based. We then ascertained academic grades of these students from their school records and ran correlation between academic achievement (grades) and emotional behaviour measures. Results revealed academic achievement to be negatively associated with malevolent aggression, but positively related to social self-esteem. In addition, mediator analysis indicated social self-esteem to partially mediate the relationship between malevolent aggression and academic achievement. Keywords: emotional behaviour, academic achievement, adolescents, Pakistani There is robust evidence that emotional and behavioural problems are related with academic difficulties (Arnold, 1997; Hinshaw, 1992). These associations...

Words: 5315 - Pages: 22

Premium Essay

Science

...TEXT PDF RELATIONSHIP BETWEEN BROKEN HOMES AND ACADEMIC ACHIEVEMENT OF SECONDARY SCHOOL STUDENTS IN OREDO LOCAL GOVERNMENT AREA OF EDO STATE, NIGERIA * authors Henrietta Ijeoma Alika and Ogboro Samson Edosa * journal College Student Journal * published June 2012 * issn 0146-3934 * volume 46 * issue 2 * start page 256 * size 9 pages * added 10:50 PM The study investigated the relationship between broken homes and academic achievement of students. Three research hypotheses were formulated to guide the study. The study was correlational because the study sought to establish extend of relationship between broken homes and academic achievement. The statistical method used in analyzing the data was me Pearson product moment correlation coefficient (r). Reliable and validated questionnaires which were designed to elicit information on the hypotheses of study were used. Six senior secondary schools were randomly selected for the study. One hundred and fifty respondents from single parent homes were used for the study. 25 respondents were randomly selected from six schools. Results showed a significant relationship between broken homes and academic achievement of students. It was also discovered that female students from broken homes perform better in thie studies than the male students, moreover, the result showed that low socioeconomic status, also had an adverse effect on the academic performance of children from broken homes. It is recommended...

Words: 3527 - Pages: 15

Free Essay

Effects of Broken Home

...THE IMPACT OF FAMILY STRUCTURE ON UNIVERSITY STUDENTS' ACADEMIC PERFORMANCE By Eweniyi, G. D (Ph.D.) Olabisi Onabamijo University, Ago-lwoye. Abstract This paper is a report of the study that examined the impact of family structure on the academic performance of university students. The sample for the study consisted of 240 students drawn from the six randomly selected faculties in Olabisi Onabanjo University, Ago-lwoye. The adapted form of "Guidance and Counselling Achievement Grade Form" was used for data collection and the data collected were subjected to statistical analysis using the t-test statistical method. The three null hypotheses formulated were tested at .05 level of significance. The results showed that significant differences existed between the academic performance of students from single-parent family and those from two-parent family structures. The results also indicated significant differences in academic performance of male and female students compared on two types of family structures. On the basis of these findings, it was recommended that school counsellors should be employed in all schools and that they should provide necessary assistance to students especially those from single-parent family to enable them overcome their emotional concerns. Introduction Over the years, the investigations of the factors that influence academic performance of students have attracted the interest and concern of teachers, counsellors, psychologists, researchers and...

Words: 2617 - Pages: 11

Premium Essay

The Effects of Family Structure and Parenthood on the Academic Performance of Nigerian University Students

...© Kamla-Raj 2008 Stud Home Comm Sci, 2(2): 121-124 (2008) The Effects of Family Structure and Parenthood on the Academic Performance of Nigerian University Students V. O. Uwaifo Department of Vocational and Technical Education, Ambrose Alli University, Ekpoma, Edo State, Nigeria Telephone: (234) 08035472684, E-mail: vuwaifo@yahoo.com KEYWORDS Parent Education. Academic Performance. Family Structures ABSTRACT This paper examines the effects of family structure and parenthood on the academic performance of Nigerian university students. The sample for the study consisted of 240 students drawn from the six randomly selected faculties in Ambrose Alli University, Ekpoma, Edo State. The adapted form of “Guidance and Counseling Achievement Grade Form” was used for data collection and the data collected were subjected to statistical analysis using the t-test statistical method. The three null hypotheses formulated were tested at .05 level of significance. The results showed that significant differences existed between the academic performance of students from singleparent family and those from two-parent family structures. The results also indicated significant differences in academic performance of male and female students compared on two types of family structures. On the basis of these findings, it was recommended that school counsellors should be employed in all schools and that they should provide necessary assistance to students especially those from single-parent family...

Words: 2666 - Pages: 11

Premium Essay

Research

...© Kamla-Raj 2008 Stud Home Comm Sci, 2(2): 121-124 (2008) The Effects of Family Structure and Parenthood on the Academic Performance of Nigerian University Students V. O. Uwaifo Department of Vocational and Technical Education, Ambrose Alli University, Ekpoma, Edo State, Nigeria Telephone: (234) 08035472684, E-mail: vuwaifo@yahoo.com KEYWORDS Parent Education. Academic Performance. Family Structures ABSTRACT This paper examines the effects of family structure and parenthood on the academic performance of Nigerian university students. The sample for the study consisted of 240 students drawn from the six randomly selected faculties in Ambrose Alli University, Ekpoma, Edo State. The adapted form of “Guidance and Counseling Achievement Grade Form” was used for data collection and the data collected were subjected to statistical analysis using the t-test statistical method. The three null hypotheses formulated were tested at .05 level of significance. The results showed that significant differences existed between the academic performance of students from singleparent family and those from two-parent family structures. The results also indicated significant differences in academic performance of male and female students compared on two types of family structures. On the basis of these findings, it was recommended that school counsellors should be employed in all schools and that they should provide necessary assistance to students especially those from single-parent family...

Words: 2666 - Pages: 11

Premium Essay

Effect of Broken Home on Student Academic Performance

... 2011 © 2011 Ozean Publication IMPACT OF FAMILY TYPE ON SECONDARY SCHOOL STUDENTS’ ACADEMIC PERFORMANCE IN ONDO STATE, NIGERIA AKOMOLAFE, M. JUDE*and OLORUNFEMI-OLABISI, F. ABIOLA. Adekunle Ajasin University, Akungba-Akoko, Ondo State, Nigeria *E-mail address for correspondence: judolak@yahoo.co.uk _____________________________________________________________________________________________ Abstract: This study investigated the impact of family type on secondary school students’ academic performance. Three hundred (Male = 156; Female = 144) senior secondary school students were randomly chosen as the sample of the study. Their age ranged between 13 years and 20.5 years with mean age of 14.7 years. Proportionate stratified random sampling technique was adopted. The demographic questionnaire was used to collect respondents’ bio-data while their promotion examination results were used as a measure of academic performance. Three hypotheses were raised and tested at 0.05 level of significance. Analysis of Variance and t-test Analysis were used to analyse the data. The results showed that family type significantly influenced academic performance of secondary school students. On the bases of the findings, it is suggested that parents should be given adequate training on how best they can assist their children to attain maximum success irrespective of their family type. Key Words: Academic Achievement, Family Type, Students, Parents, Home influence. _________________________...

Words: 3016 - Pages: 13

Premium Essay

Effects of Broken Homes on Children

...Relationship between broken homes and academic achievement of secondary school students in Oredo Local Government Area of Edo State, Nigeria. Full Text: The study investigated the relationship between broken homes and academic achievement of students. Three research hypotheses were formulated to guide the study. The study was correlational because the study sought to establish the extent of relationship between broken homes and academic achievement. The statistical method used in analyzing the data was the Pearson product moment correlation coefficient (r). Reliable and validated questionnaires which were designed to elicit information on the hypotheses of study were used. Six senior secondary schools were randomly selected for the study. One hundred and fifty respondents from single parent homes were used for the study. 25 respondents were randomly selected from six schools. Results showed a significant relationship between broken homes and academic achievement of students. It was also discovered that female students from broken homes perform better in their studies than the male students, moreover, the result showed that low socio-economic status, also had an adverse effect on the academic performance of children from broken homes. It is recommended that personal social counselling should be rendered to students from broken homes, with a view to counselling students who are experiencing some challenges Keywords: Stable homes, broken homes, Academic achievement, gender and socio-economic...

Words: 3499 - Pages: 14

Free Essay

Economic Status of Parents, a Determinant on Academic Performance of Senior Secondary Schools Students in Ibadan, Nigeria

...Research Vol. 3 (1) January 2013 Economic Status of Parents, a Determinant on Academic Performance of Senior Secondary Schools Students in Ibadan, Nigeria Osonwa, O.K1 Adejobi, A.O2 Iyam, M.A3 Osonwa, R.H4 ‘…‹‘Ž‘‰› ‡’ƒ”–‡– ‹˜‡”•‹–› ‘ˆ ƒŽƒ„ƒ” ‹‰‡”‹ƒ †—…ƒ–‹‘ ‡’ƒ”–‡– ‹˜‡”•‹–› ‘ˆ „ƒ†ƒ ‹‰‡”‹ƒ ‘…ƒ–‹‘ƒŽ †—…ƒ–‹‘ ‡’ƒ”–‡– ‹˜‡”•‹–› ‘ˆ ƒŽƒ„ƒ” —‹†ƒ…‡ ƒ† ‘—•‡Ž‹‰ ‡’ƒ”–‡– ‹˜‡”•‹–› ‘ˆ Calabar. Doi: 10.5901/jesr.2013.v3n1p115 Abstract Š‹• ”‡•‡ƒ”…Š ™ƒ• …ƒ””‹‡† ‘—– –‘ ‡šƒ‹‡ ‹ˆ ‡…‘‘‹… •–ƒ–—• ‘ˆ ’ƒ”‡–• ‹• ƒ †‡–‡”‹ƒ– –‘ –Š‡ ƒ…ƒ†‡‹… ’‡”ˆ‘”ƒ…‡ ‘ˆ •‡‹‘” ‡…‘†ƒ”› •…Š‘‘Ž –—†‡–• ‹ „ƒ†ƒ ‹‰‡”‹ƒ Š‡ —‡•–‹‘ƒ‹”‡ ™ƒ• —•‡† ˆ‘r the …‘ŽŽ‡…–‹‘ ‘ˆ †ƒ–ƒ ƒ†‹‹•–‡”‡† –‘ ˆ‹˜‡ Š—†”‡† ƒ† –™‡Ž˜‡ •–—†‡–• •‡Ž‡…–‡† ”ƒ†‘Ž› ‹ –™‘ Ž‘…ƒŽ ‰‘˜‡”‡– ƒ”‡ƒ• Š›’‘–Š‡•‹• –Šƒ– –Š‡”‡ ‹• ‘ •‹‰‹ˆ‹…ƒ– ”‡Žƒ–‹‘•Š‹’ „‡–™‡‡ ‡…‘‘‹… •–ƒ–—• ‘ˆ ’ƒ”‡–• and the academic performance of their ch‹Ž†”‡ ™ƒ• ˆ‘”—Žƒ–‡† Š‹• ™ƒ• –‡•–‡† —•‹‰ …‘””‡Žƒ–‹‘ ƒƒŽ›•‹• ƒ† –Š‡ ”‡•—Ž– •Š‘™• –Šƒ– –Š‡”‡ ‹• •‹‰‹ˆ‹…ƒ– ”‡Žƒ–‹‘•Š‹’ „‡–™‡‡ ‡…‘‘‹… •–ƒ–—• ƒ† ƒ…ƒ†‡‹… ’‡”ˆ‘”ƒ…‡ ‘ˆ •–—†‡–• Š‘•‡ ˆ”‘ Ž‘™‡” ‹…‘‡ ‰”‘—’• •…‘”‡† •‹‰‹ˆ‹…ƒ–Ž› Ž‘™‡” –Šƒ …Š‹Ždren from higher income Š‘—•‡Š‘Ž†• – ‹• ”‡…‘‡†‡† –Šƒ– –Š‡ ‰‘˜‡”‡– …ƒ Š‡Ž’ –‘ ‡”ƒ•‡ –Š‹• ‹„ƒŽƒ…‡ „› •—„•‹†‹œ‹‰ –Š‡ ‡†—…ƒ–‹‘ƒŽ ‡š’‡•‡• ‘ˆ –Š‡ Ž‘™ ‹…‘‡ ‰”‘—’ Key Words: …‘‘‹… –ƒ–—• Ž‘™ ‹…‘‡ ƒ† ƒ…ƒ†‡‹… ’‡”ˆ‘”ƒ…‡ 1. Introduction Academic performance (most especially of senior secondary school students) has been largely associated...

Words: 4519 - Pages: 19

Premium Essay

Influences of Childhood Development

...Influences of Childhood Development La Tesha Simpson PSY/600 Developmental Psychology July 15, 2013 Judy Pendleton, PsyD Influences of Childhood Development Children are impressionable and share the characteristics of a sponge in a sense, by means of picking up a spill and letting it ooze out of their personality or behavior. Children imitate most of what they see and hear whether negative or positive. Imitating is learning and learning is form of development. Everyone and everything can influence the choices children make during childhood. The purpose of this paper is to investigate influences of childhood development. Development of any kind during childhood can have life altering factors. Some of those factors will include career development starting during early childhood, economic resources in child development, and socioeconomic status and child development. This investigation will demonstrate whether the influences are healthy or unhealthy development during childhood. Career Development during Childhood Parents and professional role models may influence children in their career choice. For example, if a parent is a doctor a child may find that exciting and want to follow the footsteps of the parent. Perhaps, the child learns how police officers and fire fighters give back to the community and want to do the same. Career development start during childhood and covers the course of life (Porfeli & Lee, 2012). Researchers show how an individual establishes...

Words: 1318 - Pages: 6

Premium Essay

Bibliography

...BIBLIOGRAPHY * Fricana C. Ponce, (1996) “Occupational Interest of Selected Freshman Students and their Academic Performance: A Correlational Study”. * Abdon, Eva Maria S. Villaddres, (2008) “Correlation between interest and academic performance as predictors to effective related learning experience: basis clinical counselling”. * TeodoraSalubaybay (1994), “The predictors of academic success of the freshmen college s tudents” (M.A thesis Philippine Normal University) * Rosemary Thompson, “School Counseling Renewal” (Indiana, USA: Accelerated Development Inc.,1992). * Richard S. Sharf, “Applying Career Development Theory in Counseling” (Pacific Grove, California: Brooks Cole Publishing Company,1992),pp.254-273, Citing Ann Roe, “Personality Development and Career Choice” (New York: D.Browe&Brown, and Association, 1990) pp.68-100 * Ibid., Citing L.S. Gottfredson, “Consumptions and Compromise A. Development Theory of Occupational Operartion” Journal of Counseling Psychology. 28 (1981), pp.548-579 * Andrew J. Durbin, “Human Relations for Career and Personal Success” (New Jersey: Vrentice Hall Inc.,1992),p.25 * 8.Davis Mener And Duane Brown, “Predicting the Occupational Aspirations, Occupational Expectations, and Career Maturity of Black and White Female 10th Graders” Vocational Guidance Quarterly XXXII, No.1 (Sept.1983),p.29 * G.C. Ironico , “Testing Interest and Vocational Adjustment in Vocational Guidance”, Filipino Teacher (September...

Words: 907 - Pages: 4

Free Essay

Thesis Titlesample

...Cover Sheet Title The Effectiveness of Parental Involvement for Improving the Academic Performance of Elementary School Children Reviewers Chad Nye, PhD Jamie Schwartz, PhD Herb Turner, PhD Contact reviewer Chad Nye UCF Center for Autism & Related Disabilities 12001 Science Drive, Suite 145 Orlando, FL 32826 Phone : 407-737-2566 FAX : 407-737-2571 email : cnye@mail.ucf.edu 1 1.0 BACKGROUND The role of parents has long been thought to be centrally important to the academic achievement of their children. However, this role had neither been analyzed nor systematically studied using an experimental design until the 1960’s. The evaluation of the Head Start Program in the United States (Coleman, Campbell, Hobson, McPartland, Mod, Weinfeld, & York, 1966) fostered a national focus on outcomes related to parental involvement by suggesting a substantial relationship between parental involvement in their child’s education and their child’s success in academic domains. Subsequent studies have been presented which support the findings from Coleman, et al. (Duff & Adams, 1981; Henderson, 1987; 1988). Even so, other studies have reported either mixed or no significant differences between experimental and control groups when measuring the effect of parental involvement on student achievement (Griffith, 1996; Heller, & Fantuzzo, 1993; Henry, 1974; Keith, Reimers, Ferman, Pottenbaum, & Aubrey ,1986; Ryan, 1964; Searles, Lewis & Morrow, 1982). Some of the discrepancy across studies...

Words: 6998 - Pages: 28

Free Essay

Factors Contributing to Literacy Skills in Children from Low-Income Families

...Term Paper Psyc 400, Spring, 2015 Title of Paper: Factors Contributing to Literacy Skills in Children from Low-Income Families In American society, education is considered by many to be an equalizing force for people from all walks of life. It allows the nation’s best and brightest to distinguish themselves from their peers through intellectual merit - at least in theory. Unfortunately, the reality of the situation does not live up to the ideal, especially for children from low income families. Children who are already growing up with the disadvantages of poverty are further hindered by underfunded and ineffectual primary schooling, setting them even further behind middle and upper class children. Before beginning a discussion of the factors or strategies contributing to early literacy, it is important to first establish that there is in fact a discrepancy between low-income children and their more affluent peers in the first place. A review of the research literature is required to lay certain inaccurate stereotypes to rest, such as the notion that poor children are simply lazier students, and do not face additional difficulties with the acquisition of literacy skills. A comprehensive empirical study by Babuder et al (2014) explores the relationship between poverty and reading skills in children, with the results being unanimously negative. The study goes beyond assessing the reading skills of the children, and measures the basic phonological and semantic skills needed...

Words: 3338 - Pages: 14