Free Essay

Kearifan Lokal Minahasa

In:

Submitted By ksteffano
Words 2172
Pages 9
BAB I : PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG PENELITIAN

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir Indonesia dilanda banyak bencana. Bencana alam yang terjadi karena fenomena alam yang datang secara tiba-tiba seringkali membuat kita merasa terpana. Banjir, tanah longsor, gempa, gunung meletus ataupun bencana yang dikarenakan oleh keserakahan manusia itu sendiri. Telah banyak harta, benda dan nyawa yang terenggut. Masih segar ingatan kita akan gempa yang disusul tsunami di Aceh dan Nias, tanah longsor di Sulawesi Selatan, banjir dan tanah longsor di Sulawesi Utara, gempa di Yogyakarta dan masih banyak lagi yang lainnya. Sehingga setelah semua ini terjadi, banyak daerah yang memerlukan rekonstruksi sosial untuk memperbaiki tatanan sosial di tengah-tengah masyarakat yang baru ditimpa bencana. Peranan kinerja pemerintah (Birokrasi), kearifan lokal, serta penyampaian pesan oleh media mempunyai sumbangsih yang sangat besar dalam proses rekonstruksi ini. Kearifan lokal sebagai salah satu topik yang diangkat merupakan hal yang menarik dan penting bagi penulis. Hal ini dikarenakan kearifan lokal ada, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah secara alami. Karena kearifan lokal itu muncul secara alami, maka sesudah terjadi bencana bantuan akan datang secara spontan, tanpa diperintah. Kearifan lokal menghapus semua sifat egoistis dan individualistis setiap manusia, karena prinsip utama kearifan lokal itu sendiri adalah prinsip kemanusiaan. Prinsip kemanusiaan inilah yang menjadi dasar dari kearifan lokal. Semua yang muncul secara spontan dari dalam hati ini yang menarik perhatian penulis untuk memilih topik penelitian “Peranan Kearifan Lokal dalam Proses Rekonstruksi Pasca Bencana”. Seperti yang bisa dilihat di daerah Sulawesi Utara, khususnya kota Manado, terdapat satu bentuk solidaritas dan kerukunan sosial yang biasa disebut dengan “Mapalus”. Dari sini penulis mengambil satu konsep pemikiran untuk membuat karya tulis ilmiah yang berjudul, “Mapalus : Tali Pemersatu Masyarakat Sulawesi Utara”. Penulis yang juga merasa sebagai warga Sulawesi Utara merasa penting untuk memaparkan nilai Mapalus sebagai salah satu contoh kearifan lokal yang bisa diterapkan dalam proses pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat setelah ditimpa bencana. Oleh karena itu, untuk membuktikannya penulis akan meneliti hal tersebut dan memaparkannya dalam karya tulis ilmiah ini.

PERMASALAHAN

Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka penulis memilih satu masalah pokok untuk dibahas secara mendalam, yaitu mengenai kearifan lokal dan pengaruhnya terhadap proses pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat setelah ditimpa bencana. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai topik yang diteliti , maka penulis merumuskan satu pertanyaan untuk dibahas sebagai permasalah utama dalam karya tulis ilmiah ini. Pertanyaannya adalah: • Apakah penerapan nilai-nilai kearifan lokal memiliki pengaruh dalam membantu proses pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat setelah ditimpa bencana?

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian serta penulisan karya tulis ilmiah ini dilakukan dalam rangka mengikuti lomba karya tulis ilmiah “Penelitian Rekonstruksi Sosial Pasca Bencana Olimpiade Ilmu Sosial FISIP UI 2007” dan juga untuk memaparkan dan memperkenalkan salah satu kearifan lokal dari daerah Sulawesi Utara, yaitu “Mapalus” untuk diterapkan dalam proses rekonstruksi sosial pasca bencana. Secara terperinci, tujuan dari penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah : 1. Mendeskripsikan makna sesungguhnya dari “Mapalus”. 2. Mengetahui nilai-nilai positif dari kearifan lokal “Mapalus” yang bisa diterapkan dalam proses pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat setelah bencana. 3. Mengetahui apa saja manfaat dari penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam “Mapalus” dalam proses membangun kembali tatanan sosial masyarakat setelah tertimpa bencana.

SIGNIFIKANSI PENELITIAN

Signifikansi penelitian dalam karya tulis ilmiah ini adalah penerapan nilai filosofis mapalus yang menonjolkan unsur kebersamaan, kekeluargaan, solidaritas, gotong royong dan kerja sama dalam proses pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat setelah bencana tanpa melihat berbagai perbedaan yang ada, seperti latar belakang pendidikan, ekonomi, maupun kedudukan dan jabatan. Apabila nilai filosofis ini diterapkan, maka proses pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat serta pemulihan kondisi para korban bencana akan berjalan lebih baik.

METODE PENELITIAN

Untuk mencari data dan informasi yang diperlukan, penulis menggunakan metode observasi dan kepustakaan. Adapun teknik-teknik yang dipergunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Teknik Pengamatan Langsung Pada teknik ini, penulis yang tinggal di dekat Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano yang merupakan salah satu daerah rawan banjir di kota Manado, telah mengamati dan mengalami secara langsung bagaimana proses rekonstruksi sosial di daerah sekitar tempat tinggal penulis setelah bencana banjir yang melanda kota Manado beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada tanggal 21 Februari 2006. Ketika proses tersebut berlangsung, penulis mengamati bagaimana warga masyarakat setempat dengan sukarela saling bahu-membahu membantu para korban bencana.
2. Teknik Wawancara Langsung Tujuan dari teknik wawancara ini adalah agar diperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah utama yang diteliti, dalam hal ini mengenai kearifan lokal dan pengaruhnya terhadap pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat setelah ditimpa bencana. Respondennya meliputi beberapa staf pengajar SMA Fr. Don Bosco Manado, beberapa warga kota Manado yang pernah menjadi korban bencana, para tokoh masyarakat, orang tua, serta orang lain yang dianggap mengerti tentang masalah ini.
3. Studi Pustaka Pada metode ini, penulis membaca buku, artikel, dan literatur yang berhubungan dengan penulisan karya tulis ilmiah atau teknik penulisan karya tulis ilmiah serta mengambil informasi dari sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah utama yang dibahas, yaitu mengenai peranan kearifan lokal khususnya “Mapalus” dalam proses rekonstruksi pasca bencana.

BAB II : ISI

KERANGKA TEORITIK

Konsep yang digunakan oleh penulis dalam penulisan karya tulis ilmiah ini didasarkan pada teori yang menjelaskan bahwa sebagai salah satu kearifan lokal, “Mapalus” merupakan prinsip saling membantu (mutual help) sekaligus merupakan refleksi dari kebersamaan serta kerja keras (industriousness). Dalam ekspresinya, “Mapalus” muncul dalam bentuk masawa-sawangan atau saling membantu satu sama lain (mutual help), maleos-leosan atau(compassion), malinga-lingaan atau(attentiveness), matombol-tombolan atau saling mendukung satu sama lain (mutual support) serta maesa-maesan atau(unifying). Praktek mapalus bersifat suka rela dan diarahkan untuk menyelesaikan pekerjaan atau masalah yang menyangkut kebutuhan hidup orang banyak dalam masyarat demi kebaikan bersama.

PEMBAHASAN MASALAH

Di dalam kehidupan yang nyata antara masyarakat dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan dwitunggal. Masyarakat adalah orang yang hidup bersama-sama dan menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, dan juga sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya atau sebagai tanah tumbuhnya kebudayaan. Dengan demikian apa yang disebut oleh para ahli dengan “Cultural Determinsm” yang berarti bahwa segala sesuatu yang terdapat didalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri, adalah sangat tepat. Sekelompok manusia yang hidup bersama dalam waktu yang cukup lama, sehingga diantara mereka menyadari bahwa kehidupan mereka adalah menjadi satu kesatuan. Semua ini merupakan jalinan dari unsur-unsur sosial yang pokok. Sebagai akibat dari hidup bersama itu, maka muncul suatu perasaan senasib-sepenanggungan. Pada perkembangannya kemudian, masyarakat dari lingkungan pengalaman yang sama ini kemudian berpikir dan mempraktekkan satu bentuk kerja sama yang didasarkan pada kesadaran bahwa “Saya memerlukan bantuan orang lain pada saat saya membutuhkannya”. Keadaan ini membuat masyarakat dihantarkan pada satu bentuk kesadaran bersama, untuk saling membantu dalam menyelesaikan suatu masalah atau pekerjaan secara bersama-sama agar bisa menjadi lebih cepat untuk diselesaikan. Seperti halnya di tengah-tengah masyarakat Sulawesi Utara yang lebih dikenal dengan sebutan khas “Orang Manado”, muncul satu kearifan lokal yang disebut dengan “Mapalus”. “Mapalus” pada intinya berarti saling membantu satu sama lain, bergotong-royong secara suka rela sebagai perwujudan dari rasa kebersamaan. Meski modernisasi telah masuk sampai ke seluruh pelosok daerah Sulawesi Utara, sikap mapalus tidak pernah luntur dari generasi ke generasi. Pepatah yang menyebutkan berat sama dipikul ringan sama dijinjing, betul-betul terpatri di dalam hati dan direfleksikan ke dalam tindakan orang Manado pada umumnya. “Mapalus” merupakan kearifan lokal warisan leluhur yang menjadi ciri khas serta kebanggaan dari orang Manado. Orientasi aktivitas dari “Mapalus” didasarkan pada falsafah hidup masyarakat Minahasa (de levensfilosofie van de Minahasa gemeenschap) yang merupakan salah satu suku asli daerah Sulawesi Utara. Falsafah hidup “Si Tou Timou Tumou Tou” yang maknanya sama seperti yang pernah diungkapkan oleh Dr. G.S.S.J. Ratulangi bahwa “Setiap manusia hidup untuk memanusiakan manusia lainnya”, telah menjadi satu pedoman hidup bagi orang Manado secara keseluruhan. Falsafah hidup tersebut menunjukkan makna sama seperti apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa manusia adalah makhluk yang berakal budi (homo rationale) dan tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Sudah menjadi suatu keharusan bahwa setiap manusia harus saling membantu dalam kehidupannya, bukannya saling memangsa manusia lainnya seperti seekor serigala (homo homini lupus). Mapalus sebagai modal sosial adalah salah satu unsur yang berperan, karena penerapan nilai-nilai yang terkandung didalamnya bisa membantu dan mempercepat proses pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat setelah ditimpa bencana. Dengan semangat mapalus, maka masyarakat selalu siap membantu satu sama lain tanpa memandang semua perbedaan yang ada, seperti perbedaan latar belakang pendidikan, ekonomi, maupun jabatan dan kedudukan. Dari konteks perkembangannya, bisa dilihat bahwa praktek mapalus mencerminkan nilai-nilai sebagai berikut: (a). Kesadaran akan keterbatasan dan ketidakmampuan diri; (b). Kepercayaan pada kehadiran orang lain yang akan membantu; (c). Dimensi sosialitas dari manusia sendiri, yakni bahwa kita hidup bersama-sama dengan orang lain. Berdasarkan apa yang diamati oleh penulis di lapangan, hasil dari penerapan nilai “Mapalus” dalam proses pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat benar-benar nyata dan bisa dilihat ketika terjadi beberapa bencana di daerah Sulawesi Utara. Yang pertama adalah dari kejadian tanah longsor pada hari Senin tanggal 20 Februari 2006 lalu di desa Kumelembuai kabupaten Minahasa. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah seorang warga desa setempat, dituturkan bahwa dengan semangat mapalus, semua masyarakat dewasa turun ke jalan membenahi longsoran yang membuat jalur transportasi terputus. Mereka semua bekerja secara tulus dan tanpa pamrih, karena mereka merasa bahwa sudah sepantasnya mereka membantu untuk kembali membuka jalur transportasi yang sudah terputus itu. Jalan yang tertutup longsor itu harus dibuka kembali secepatnya, mengingat bahwa jalan tersebut adalah satu-satunya jalan penghubung antara desa tersebut dengan desa lainnya. Manfaat dari semangat “Mapalus” itu juga bisa dilihat dari peristiwa yang terjadi di Kota Manado sendiri, tepatnya di daerah Paal 2 yang pada tanggal 21 Februari 2006 lalu ditimpa bencana banjir. Warga yang rumahnya tidak kemasukkan air, tanpa menunggu perintah langsung segera membantu warga lain yang rumahnya terendam air. Mereka bahu membahu memindahkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan, dan ada juga warga yang dengan sukarela menjadikan rumah dan halamannya sebagai tempat mengungsi sementara bagi warga lain yang menjadi korban banjir. Tenda-tenda darurat segera didirikan oleh warga, dan sebelum bantuan dari pemerintah datang, warga sekitar sudah terlebih dahulu memberikan bantuan berupa sumbangan makanan dan pakaian. Selain semua bantuan fisik tersebut, warga juga memberikan dukungan moril dengan cara mendampingi dan menghibur mereka yang menjadi korban bencana. Semua bantuan dalam bentuk bantuan fisik dan dukungan moral tersebut diberikan secara sukarela, tulus tanpa pamrih karena kuatnya rasa kebersamaan di tengah-tengah orang Manado. Mereka merasa bahwa bencana yang terjadi merupakan satu beban yang harus ditanggung dan diselesaikan bersama-sama. Berdasarkan pada semangat “Mapalus”, semua orang mau saling membantu satu sama lain dengan tulus, sebagai wujud solidaritas terhadap sesama yang menjadi korban bencana. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa “Mapalus” bukan hanya sekedar satu slogan kosong, tapi “Mapalus” merupakan satu bentuk kearifan lokal yang benar-benar ada dan berlaku di tengah kehidupan orang Manado. “Mapalus” mencerminkan semangat persaudaraan yang sudah menjadi ciri khas dari orang Manado, dimana semua orang merasa seperti satu keluarga, tanpa memandang berbagai macam perbedaan yang ada, seperti perbedaan status sosial, perbedaan latar belakang pendidikan, perbedaan agama, dan perbedaan lainnya.

KESIMPULAN

Dalam proses pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat setelah ditimpa bencana, negara memiliki satu tanggung jawab (State Responsibility) untuk berperan di dalamnya. Elemen-elemen negara yang hidup, yaitu pemerintah dan masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk berperan aktif dalam proses pembangunan kembali tatanan sosial setelah terjadi bencana. Dalam hal ini, partisipasi dari masyarakat memiliki peranan yang sangat penting. Karena bantuan masyarakat itu akan lebih cepat disampaikan daripada bantuan pemerintah. Salah satu faktor utama yang membuat masyarakat mau berperan secara aktif dalam proses rekonstruksi sosial pasca bencana adalah karena adanya kearifan lokal. Kearifan lokal yang merupakan satu pedoman hidup yang telah berkembang ditengah-tengah masyarakat lahir atas dasar prinsip kemanusiaan. Prinsip kemanusiaan ini menghapus semua sifat egois dan individualistis yang ada dalam hati manusia. Perkembangan zaman membuat orang cenderung hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan tidak memikirkan orang lain. Karena adanya prinsip kemanusiaan dalam kearifan lokal tersebut, orang akan tergerak untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan maupun memandang perbedaan-perbedaan yang ada. Prinsip kemanusiaan ini juga yang membuktikan bahwa masyarakat kita masih mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, khususnya sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Bukti diatas juga menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut masih relevan dengan keadaan sekarang, dimana modernitas membuat banyak orang menyepelekan nilai-nilai yang ada di tengah masyarakat. Dari kearifan lokal “Mapalus”, bisa diambil nilai-nilai positif yang sangat baik untuk diterapkan dalam proses pembangunan kembali tatanan sosial masyarakat setelah bencana. Kebersamaan sebagai dasar utama dari konsep “Mapalus” membuat semua orang bersedia untuk saling membantu satu sama lain dengan tulus, apalagi dalam situasi pasca bencana. iii sejalan dengan prinsip kebersamaan iada kebersamaan tanpa persatuan. Tiada persatuan tanpa keterbukaan. Tiada keterbukan tanpa saling percaya. Tiada saling percaya tanpa kejujuran. Maka, inti dari keberhasilan kegiatan apa pun, mesti diawali dengan kejujuran. Jujur pada diri sendiri dan jujur pada orang lain. Siapa menanam kejujuran, kelak akan menuai keberhasilan

Terkait istilah, Mapalus hanya dikenal oleh masyarakat Minahasa, walau ada sedikit perbedaan penyebutan untuk masing-masing rumpun bahasa di Minahasa. Orang Jawa menyebut bentuk kerja sama itu dengan sambatan, orang Bali dengan subak.

Similar Documents