Free Essay

Leadership Mind and Heart

In:

Submitted By tentraxo
Words 5809
Pages 24
LEADERSHIP MIND AND HEART

Orang tidak dapat dipisahkan dari emosi mereka, melalui emosi pemimpin menghasilkan komitmen terhadap visi dan misi bersama, nilai-nilai dan budaya, serta kepedulian terhadap pekerjaan dan sesama.
“There’s no difference between being a really effective leader and becoming a fully integrated person ”. (Warren Bennis).
Pada materi ini akan dibahas mengenai pentingnya seorang pemimpin menjadi orang yang memiliki integritas penuh dengan mengeksplore secara penuh kapasitas pikiran dan jiwa mereka. Akan dibahas tentang kapasitas pemimpin, kemudian diperluas melalui pikiran dan perasaan yang dapat membantu pemimpin mengubah perilaku mereka, mempengaruhi orang lain, dan menjadi lebih effektif. Bab ini akan membahas konsep model mental dan melihat bagaimana kualitas dari pemikiran inedependen, pikiran terbuka, dan sistem berpikir sangat penting bagi pemimpin, dan kemudian melihat bagaimana emosi manusia diilustrasikan sebagai konsep kecerdasan emosi.
Leader Capacity Versus Leaders Competence kepemimpinan yang efektif seperti manajemen yang baik, telah dianggap sebagai kompetensi dalam satu set keterampilan, salah satu keterampilan khusus yang diperoleh, semua orang harus berhasil menempatkan set keterampilan ke dalam tindakan. Namun, seperti yang kita semua tahu dari pengalaman pribadi, bekerja secara efektif dengan orang lain membutuhkan lebih dari spesific practising, keterampilan rasional, itu sering digambarkan sebagai soft skills diri kita seperti; pikiran, keyakinan, atau perasaan dan aspek menarik lainnya dari diri kita. Dalam organisasi seperti halnya bermain dilapangan, kompetensi keterampilan adalah penting tetapi itu saja tidak cukup. Meskipun seorang pemimpin harus mengurus masalah organisasi seperti jadwal produksi, struktur, keuangan, biaya, keuntungan, dan seterusnya, mereka juga harus mengurus masalah manusia khususnya dalam masa ketidakpastian dan perubahan yang cepat. Isu-isu saat ini yang membutuhkan pemimpin untuk menggunakan lebih dari keterampilan rasional termasuk bagaimana memberi orang rasa “berarti” ketika perubahan besar terjadi hampir setiap hari, seperti; bagaimana membuat karyawan merasa berarti dan dihargai di era PHK besar-besaran, dan bagaimana menjaga moral dan motivasi tinggi ketika menghadapi kebangkrutan dan dissolutions, skandal etika, dan krisi ekonomi. Kapasitas adalah potensi yang kita miliki untuk berbuat banyak dan menjadi lebih dari kita sekarang. Kapasitas tidak terbatas dan ditentukan oleh potensi untuk pengembangan dan pertumbuhan, sedangkan kompetensi adalah terbatas dan terukur.

Mental Models
Model Mental adalah teori yang dipegang oleh masyarakat tentang sistem tertentu di dunia dan perilaku yang mereka harapkan. Model mental dapat dianggap sebagai gambaran internal yang mempengaruhi tindakan seorang pemimpin dan hubungan mereka dengan orang lain Sistem berarti setiap set elemen yang berinteraksi untuk membentuk keseluruhan dan menghasilkan suatu hasil tertentu. Sebuah organisasi adalah suatu sistem. Pemimpin memiliki banyak mental model yang cenderung mengatur bagaimana mereka menafsirkan pengalaman dan bagaimana mereka bertindak dalam menanggapi orang dan situasi
Assumption
Pemimpin memiliki asumsi tentang peristiwa, situasi, dan keadaan serta tentang orang-orang. Asumsi bisa berbahaya karena orang cenderung untuk menerimanya sebagai "kebenaran”
“as a leader, you can become aware of your mental models and how they affect your thinking and behavior. You can learn to regard your assumptions as temporary ideas and strive to expand your mindset”

CHANGING MENTAL MODELS

Pola pikir dari top leader selalu memainkan peran kunci dalam keberhasilan organisasi. Universitas Harvard telah mempelajari peringkat 100 pemimpin bisnis terkemuka dari abad keduapuluh dan menemukan bahwa mereka semua berbagi apa yang para peneliti maksud sebagai “Contextual Intelligence”, yaitu kemampuan untuk mengerti sosial, politik, tekhnologi dan konteks ekonomi zaman dan mengadopsi mental model yang membantu memberikan respon terbaik dalam organisasi. Di dunia yang berkembang pesat dan selalu berubah-ubah, faktor terbaik yang menjelaskan kesuksesan dari seorang pemimpin dan organisasinya mungkin karena adanya kemampuan untuk merubah salah satu mental model.
Untuk para pemimpin bisnis, ketidaktentuan dan hal yang berubah-ubah dari lingkungan setiap harinya susah untuk diabaikan. Salah satu gambarannya, ketika meninjau jatuhnya stock market di tahun 2008 dan awal tahun 2009. Peneliti Stock analisis melaporkan mulai menggunakan kata decremental untuk menggambarkan luas penurunan didalam profitabilitas perusahaan dan kerugian dari kekuatan pendapatan. Kata-kata dari artikel Fortune pada thn 2006 oleh Geoff Colvin tampaknya lebih cocok untuk lingkungan hari ini: “Perkiraan untuk sebagian besar perusahaan terus menerus mengalami kekacauan yang kemudian berubah menjadi bencana.” Untuk mengatasi hal yang berubah-ubah seperti ini membutuhkan perubahan besar didalam mental models untuk sebagian besar seorang pemimpin. Namun masih banyak pemimpin yang masih terpenjara oleh asumsi dan pola pikir sendiri. Mereka menemukan diri mereka sendiri hanya akan berubah dengan jalan tradisional dalam melakukan sesuatu – walaupun menjalankan perusahaan manfukatur seperti perusahaan motor, mengelola yayasan, mengurusi klaim asuransi, penjualan kosmetik ataupun menjadi pelatih tim bola basket – tanpa menyadari bahwa mereka membuat keputusan dan bertindak dibawah kerangka yang terbatas dari mental model mereka sendiri.
Peneliti menunjukkan bahwa lebih dari 860 orang di Australia, German dan di US terkait dengan the United States-Ied yang melakukan penyerbuan ke Iraq. Beberapa adalah benar, beberapa dilaporkan sebagai fakta oleh media tetapi kemudian ditarik kembali, dan beberapa benar-benar diciptakan untuk pembelajaran. Setelah meanfsirkan hasilnya, peneliti menetapkan bahwa orang cendrung lebih percaya “fakta” yang sesuai dengan pola pikir mereka tentang perang Iraq, walaupun jika fakta tersebut jelas-jelas tidak benar. Orang-orang yang menerima kebenaran apa yang diungkapkan oleh the official U.S mencari kebenaran agar perang terus berlanjut untuk percaya laporan yang diberikan bahwa the official U.S disisi yang baik dan Iraqi di dsisi yang buruk, walapun mereka tau bahwa pemberitaan itu telah ditarik kembali. Lewandowsky mengatakan para pendukung perang memegang teguh percaya apa yang mereka dengar, meskipun mereka tau bahwa pemberitaan itu telah ditarik kembali, “karena hal tersebut cocok dengan mental model mereka, sehingga orang-orang berusaha mempertahankan apa pun.” Ini adalah poin terpenting: Orang cendrung percaya apa yang ingin mereka percayai karena melakukan sebaliknya “ akan meninggalkan dunia mereka yang mulai berantakan.”
Walaupun akibatnya ketidaknyamanan mental dan rasa disorientasi itu mungkin akan terjadi, pemimpin harus membiarkan mental model mereka ditantang dan bahkan dibongkar. Menyadari asumsi dan pemahaman bagaimana mereka mempengaruhi emosi dan beraksi adalah langkah utama agar bisa merubah mental model dan melihat dunia dengan cara yang baru. Pemimpin dapat melepaskan diri dari mental models jika mereka bisa menyadari bahwa apa yang berkerja kemarin mungkin saja tidak berkerja hari ini
MENGEMBANGKAN PIKIRAN SEORANG PEMIMPIN Bagaimana seorang pemimpin membuat penggantian menjadi mental model yang baru? Pikiran seorang pemimpin bisa saja dikembangkan melalui non-leader’s didalam empat area kritikal yaitu: 1. Independent Thinking (Pola pikir yang independen)
Pola pikir yang independen berarti mempertanyakan asumsi dan menafsirkan data dan peristiwa sesuai dengan keyakinan sendiri, ide, dan pemikiran, Bukannya mengikuti aturan yang ditetapkan sebelumnya, dan selalu mengikuti rutinitas, atau kategori yang telah ditetapkan oleh orang lain. Orang yang berfikir independen adalah orang yang bersedia untuk berdiri sendiri, untuk menyampaikan opininya, untuk mengatakan apa yang dia pikirkan dan untuk menentukan tindakan berdasarkan apa yang mereka percayai daripada apa yang orang lain pikirkan atau katakan. Kepemimpinan yang baik bukan tentang mengikuti peraturan orang lain, tetapi memegang teguh apa yang kamu percayai itu adalah yang terbaik untuk organisasi.
Pola pikir yang mandiri/independen adalah salah satu bagian dari apa yang disebut dengan kesadaran pemimpin (leader mindfulness). Mindfulness bisa diartikan sebagai evaluasi ulang secara terus menerus cara belajar untuk melakukan sesuatu dalam konteks informasi yang berkembang dan keadaan yang selalu bergeser. Mindfulness adalah kebalikan dari mindlessness, yang berarti selalu menerima aturan dan label yang diciptakan oleh orang lain.
Didalam dunia keorganisasian, keadaan konstan berubah-ubah. Apa yang bekerja pada suatu situasi belum tentu berhasil berkerja lain kali. Dalam kondisi seperti ini, mental para pemalas dan menerima jawaban orang lain dapat melukai / merusak organisasi tersebut beserta seluruh karyawannya. Seorang pemimpin menerapkan pemikrian kritis untuk mengeksplorasi situasi, masalah, ataupun pertanyaan dari beberapa perspektif dan mengintegrasikan semua informasi yang tersedia menjadi sebuah solusi yang memungkinkan.
Berpikir mandiri atau dan kritikal adalah pekerjaan yang berat, dan kebanyakan dari kita dapat dengan mudah santai kedalam kecerobohan sementara, menerima begitu saja jawaban yang hitam – putih dan mengandalkan kemampuan yang standar saja dalam melakukan seusatu. Kepemimpinan yang baik juga mendorong pengikutnya untuk berhati-hati ketimbang ceroboh. 2. Open Mindedness (Berpikiran Terbuka)
Salah satu pendekatan untuk memiliki pola pikir yang mandiri adalah keluar dari kotak mental anda, kategori pola pikir yang telah kita kondisikan untuk menerima sesuai dengan kebenarannya.
Kekuatan mengkondisikan itulah yang menuntun pemikiran kita dan tingkah laku kita yang biasa disebut Pike Syndrome. Didalam salah satu percobaan, pike dari utara ditempatkan di dalam satu setengah kaca besar yang membagi sebuah aquarium, dengan ikan-ikan kecilnya ditempatkan disetengah aquarium sisanya. Para pike yang kelaparan berulang kali mencoba untuk mendapatkan ikan kecil, tetapi keberhasilannya hanya sebatas pemukulan diri sendiri melawan sebuah kaca, akhirnya pembelajaran bahwa mencoba untuk memakan ikan-ikan kecil itu sia-sia. Beberapa saat kemudian gelas pemisah antara aquarium tersebut diangkat, tetapi para pike tidak melakukan usaha untuk memakan ikan-ikan kecil itu karena mereka sudah mengkondisikan diri sendiri untuk percaya bahwa untung mengambil ikan tersebut adalah hal yang mustahil. Ketika orang menganggapmereka telah melengkapi pengetahuan dari sebuah situasi karena pengalaman di masa lalu, mereka menunjukkan Pike Syndrome, suatu pelatihan ketidakmampuan seseorang itu berasal dari komitmen yang kuat dari apa yang benar terjadi pada masa lalu dan ketidakmampuan untuk mempertimbangkan alternatif pilihan dari perspektif yang berbeda. 3. Systems Thinking
Berpikir sistem adalah suatu proses untuk memahami suatu fenomena dengan tidak hanya memandang dari satu atau dua sisi tertentu. Berpikir sistem berarti bagaimana memahami bahwa suatu fenomena akan dipengaruhi oleh banyak fenomena lainnya. Sebagai contoh sederhana ekosistem yang terdiri dari berbagai elemen, seperti air, udara, tumbuhan, hewan mereka merupakan satu kesatuan. Mereka bekerjasama untuk terus hidup, atau sebaliknya jika tidak mereka akan mati. Contoh lain : onderdil-onderdil sepeda; roda sepeda, setir sepeda, sadel sepeda, kerangka sepeda tidak akan berarti apa-apa jika hanya terpisah. Sedangkan apabila membentuk satu kesatuan maka jadilah Sepeda yang dapat bermanfaat. Dalam organisasi, sistem terdiri dari struktur, orang dan proses yang bekerjsama untuk membuat organisasi sehat; atau sebaliknya tidak sehat, bahkan mati.
Berpikir kesisteman adalah suatu disiplin ilmu untuk melihat struktur yang mendasari situasi kompleks, dan untuk membedakan perubahan tingkat tinggi terhadap perubahan tingkat rendah. Tentu saja, berpikir kesisteman mempermudah hidup dengan membantu kita untuk melihat pola yang lebih dalam yang mendasari beberapa peristiwa dan detailnya (Senge, 1990). Sistem bersifat hierarchical – tersusun dari subsistem-subsistem – yang merupakan sistem tersendiri. Oleh karena itu apabila ingin berpikir sistem harus pula digunakan pendekatan holistic. Beberapa jenis sistem diantaranya : 1) Sistem Alam (termasuk tubuh manusia dan makhluk hidup lain) ; 2) sistem rekayasa (dirancang oleh manusia); 3) sistem sosial dan kegiatan manusia.
Dalam perspektif pendekatan sistem, sistem sosial tidak bisa dipahami dengan menguraikan bagian-bagian masalah satu persatu. Menguraikan bagian-bagian sistem sosial dapat menghilangkan jati diri sistem yang terletak pada interaksi antar bagian bagian tersebut. Berpikir sistem bukan dengan menguraikan yangkompleks menjadi lebih sederhana, tetapi melihat dari jarak yang lebih jauh sehingga keterkaitan yang kompleks antar subsistem dapat terlihat. Elemen-elemen sistem merupakan bagian-bagian yang berinteraksi dalam hubungan timbal balik, merespons satu sama lain dalam konteks peran-peran. Interaksi (Reciprocity) berarti komunikasi antara satu bagian dengan bagian yang lain. Interaksi berarti kedua pihak saling mempengaruhi ketika berinteraksi satu sama lain. Roles berarti suatu karakter atau fungsi yang diemban oleh suatu bagian. Berpikir sistem (system thinking) berbeda dengan berpikir sistematik (systematic thinking) dan berpikir sistemik (systemic thinking).
Berpikir sistematik (systematic thinking), artinya memikirkan segala sesuatu berdasarkan kerangka metode tertentu, ada urutan dan proses pengambilan keputusan. Berpikir sistemik (systemic thinking), maknanya mencari dan melihat segala sesuatu memiliki pola keteraturan dan bekerja sebagai sebuah sistem. Contohm Bila kita melihat koperasi, unit usaha kecil dan menengah (UKM), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan konglomerat, maka kita akan memandangnya sebagai sistem perekonomian nasional. Sementara itu berpikir sistem (system thinking) adalah menyadari bahwa segala sesuatu berinteraksi dengan perkara lain di sekelilingnya, meskipun secara formal-prosedural mungkin tidak terkait langsung atau secara spasial berada di luar lingkungan tertentu (Iman, 2008). System thinking lebih menekankan pada kesadaran bahwa segala sesuatu berhubungan dalam satu rangkaian sistem. Berpikir sistem mengkombinasikan antara analytical thinking (kemampuan mengurai elemen-elemen suatu masalah) dengan synthetical thinking (memadukan elemen-elemen tersebut menjadi kesatuan). Pola pikir sistem (systems thinking) bukan lagi hal baru bagi berbagai kalangan. Namun, baru pada tahun 1990, ketika Peter Senge menerbitkan buku The fifth discipline: The art and practice of the learning organization gagasan tentang pola pikir sistem ini menyebar dengan begitu cepat. Dalam konteks organisasi apapun, tentu saja termasuk lembaga pendidikan, pola pikir sistem macam ini dibutuhkan sebagai alat, cara pandang, dan sekaligus strategi pemecahan yang unik.
Mengapa kita perlu mengembangkan pola pikir sistem? Dalam pengertian yang paling sederhana, pemikiran sistem mengajarkan pentingnya berfokus pada gambar besar, dan mengurangi kecenderungan berpikir pada tahap detail. Bila diterapkan dalam upaya untuk menciptakan kultur sekolah yang lebih responsif terhadap perubahan, pemikiran sistem macam ini barangkali menuntut para administrator sekolah untuk lebih berkonsentrasi pada kecenderungan-kecenderungan besar untuk perubahan, bukan pada kejadian-kejadian kecil sehari-hari.
Dengan kata lain, pemikiran sistem memberi inspirasi bagi para pemimpin untuk lebih melihat pola hubungan antar berbagai hal. Pemikiran ini juga memotivasi untuk mengubah fokus dari komponen-komponen manajemen organisasi ke hubungan sebab dan akibat yang mendasarinya.
1 . Seeing interrelationships, not things, and processes, not snapshots.
Kebanyakan dari kita terkondisikan untuk berfokus pada benda, barang, atau hal-hal secara terpisah-pisah dan cenderung memaknai dunia yang kita diami ini sebagai serangkaian citra atau potret terpotong-potong yang statis.
2. Moving beyond blame.
Kita cenderung menyalahkan satu sama lain atau lingkungan di luar diri kita ketika muncul masalah. Padahal, yang menjadi penyebab hampir semua persoalan organisasi adalah sistem yang buruk, bukan semata-mata orang-orang yang tidak berkompeten atau tidak bermotivasi.
3. Distinguishing detail complexity from dynamic complexity.
Sejumlah tipe kompleksitas memiliki makna lebih strategis dibandingkan dengan yang lain. Kompleksitas detail muncul dari beragam variabel perubahan yang muncul pada waktu bersamaan.
4. Focusing on areas of high leverage.
Beberapa orang menyebut bahwa pemikiran sistem merupakan “ilmu baru yang tidak mencerahkan” karena ajaran ini menegaskan bahwa solusi-solusi yang paling jelas dan masuk akal justru tidak disarankan untuk dipilih. Dikatakan bahwa solusi-solusi macam itu paling-paling hanya akan memecahkan persoalan jangka pendek, dan bahkan bisa memperburuk keadaan di masa yang akan datang. Pemikiran sistem ini juga mengajarkan bahwa aksi yang kecil dengan fokus yang jelas dapat menghasilkan perbaikan yang bermakna dan berkelanjutan
5. Avoiding symptomatic solutions
Tekanan dan desakan untuk segera mengubah hal-hal dalam kultur yang disfungsional dalam waktu cepat bisa jadi sangat kuat. 4. Personal Mastery
Peter Senge menyebutkan ada 5 hal yang termasuk dalam proses pembelajaran manusia yang dapat mengatasi kebutaan belajar seseorang. Satu dari lima hal tersebut adalah Personal Mastery. Senge mendefinisikan Personal Mastery sebagai menciptakan sesuatu yang dinginkan seseorang dalam kehidupan dan pekerjaannya. Personal Mastery menuntut komitmen seseorang terhadap kontinuitas pengembangan suatu hal yang dikerjakan dan dalam semua aspek kehidupan seseorang. Sehingga Personal Mastery (Penguasaan Diri) merupakan suatu proses pembelajaran kehidupan seseorang, bukan sesuatu yang sudah dimiliki (Junadi)
Ada beberapa definisi tentang Personal Mastery, antara lain berasal dari:
1. Fran Sayers Ph.D : Personal Mastery adalah: a. Pengembangan diri seseorang yang berkesinambungan. b. Selalu mencari jalan untuk bertumbuh, hal-hal baru untuk dipelajari, bertemu dengan orang yang menarik c. Suatu jalan kehidupan yang menekankan pada pertumbuhan dan kepuasan dalam kehidupan personal dan professional.

2. Michael J. Marquardt:
Suatu cara yang berkesinambungan untuk menjernihkan dan memperdalam visi, energy dan kesabaran seseorang.
Sayers menganjurkan agar kita menggunakan Personal Mastery karena Personal Mastery adalah hal yang baik untuk dilakukan, serupa dengan sebagian besar agama dan kepercayaan yang dimiliki kita yaitu memotivasi kita untuk mencapai yang terbaik dari diri kita “.
Mastery tidak berarti mengontrol orang lain, maupun diri sendiri. Seiring berjalannya waktu yang dilakukan adalah menggabungkan berbagai variasi dan kadang-kadang konflik kepribadian seseorang (Leonard).
Aspek Personal Mastery
Oleh Metavarsity Course, Personal Mastery disebutkan memiliki 4 aspek, yaitu:
1. Aspek Emosional, yang terdiri atas:
a. Memahami emosi diri sendiri dan akibatnya
b. Memahami orang lain dan emosi yang dialaminya
c. Berdaya secara emosional dan nyata
d. Menjadi vulnerable dan terbuka dengan suatu hubungan
2. Aspek Spiritual, yang terdiri atas:
a. Terhubung dengan inner self
b. Mengapresiasi kehidupan, menyayangi orang lain
c. Bersatu dalam perbedaan dengan orang lain
d. Menciptakan dunia yang lebih baik untuk tempat hidup
3. Aspek Fisik
a. Berada secara fisik dan dalam lingkungan
b. Memahami hubungan antara ‘mind-body’
c. Bertanggung jawab dan membuat keputusan positif
d. Memanage stress dan mencapai keseimbangan
4. Aspek Mental
a. Memahami cara pikiran bekerja dan cara menciptakan realitas
b. Meningkatkan fokus mental dan konsentrasi
c. Menciptakan pikiran yang jernih dan inovatif
d. Menciptakan realitas yang diinginkan.
Dengan menguasai 4 aspek yang telah dikemukakan, diharapkan seseorang dapat menggunakannya untuk mengatasi kebutaan yang dialami. Setelah mampu menguasai 4 aspek tersebut, dapat dikatakan telah menguasai Personal Mastery . Seseorang yang telah menguasai Personal Mastery memiliki komitmen yang tinggi terhadap suatu hal, lebih sering mengambil insiatif, secara terus menerus mengembangkan kemampuannya untuk menciptakan hasil terbaik dalam kehidupan yang benar-benar diinginkan.
Dimensi Personal Mastery
Penerapan Personal Mastery dapat dilihat dari dua dimensi yang saling berkaitan. Dimensi dimana seseorang tersebut sebagai individu dan dimensi dimana personal tersebut menjadi bagian dari suatu kelompok (team). Sebagai individu, upaya pengendalian diri (personal mastery) dengan segala unsurnya akan dapat membentuk karakter personal, sedangkan perannya pada kelompok, PM diperlukan untuk menjamin adanya pembelajaran organisasi (Learning Organization). Paduan karakter personal yang dimiliki oleh anggota team dalam suatu organisasi akan membuat dinamika dan menumbuhkan organisasi tersebut. Dari interasksi ini munculnya benih-benih leadership yang diharapkan akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tangguh.
Keuntungan menguasai Personal Mastery menurut Metavarsity Course adalah:
1. Kemampuan mengambil tanggung jawab pemilihan pribadi
2. Kejelasan dan profesionalisme visi
3. Kohesive, team work yang bersatu
4. Penurunan jumlah karyawan yang absen melalui peningkatan kesejahteraan karyawan, mengendalikan stress dan sikap positif
5. Menciptakan pertumbuhan organisasi yang tetap dan berjangka panjang
6. Pemenuhan tanggung jawab social dengan baik
Dengan demikian terlihat jelas bahwa Personal Mastery tidak saja baik bagi diri sendiri namun juga mempengaruhi lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal dengan cara yang positif.
Personal Mastery dan Leadership
Personal Mastery, pembelajaran organisasi (Learning Organization) dan Leadership merupakan bagian yang saling terkait. Personal Mastery walaupun secara langsung berpengaruh pada organisasi namun belum tentu suatu organisasi dapat berubah karena Personal Mastery. Di sisi lain dapat dikatakan tidak ada dinamika dalam Learning Organizatian jika tidak memiliki Personal Mastery.
Seorang yang memiliki Personal Mastery yang kuat akan berpotensi menjadi leader karena telah memiliki dasar-dasar leadership yang baik. Modal dasar utama yang dimiliki adalah visi dan komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian kemana arah organisasi itu akan dituju sudah jelas dari awal. Begitu juga dari kepribadiannya yang matang tentu akan menjadi panutan para anggota team yang lain. Personal Mastery yang baik melahirkan juga seorang dengan nilai humanis yang tinggi sehingga dengan dasar rasa kasih akan bisa memberikan hubungan yang hangat kepada yang lainnya. Hal ini terutama akan sangat menyentuh pada mereka yang berperan sebagai bawahannya. Hubungan interpersonal yang baik menjadi modal juga untuk bisa merangkul semua individu dalam kelompok tersebut dari beraneka ragam asal serta karakter. Dengan semangat pengabdian lebih menjamin bahwa seorang leader pasti akan mengutamakan kepentingan team, kelompok atau organisasi tertentu di atas kepentingannya sendiri.
Ciri Good dan Poor Personal Mastery
Mereka yang memilik penguasaan diri (personal mastery) yang tinggi akan memiliki cirri sebagai berikut; 1. Melihat visi sebagai panggilan dari lubuk hati paling dalam dan bukan sekedar gagasan atau ide. 2. Memiliki komitmen dan inisiatif yang lebih tinggi disbanding lainnya. 3. Menyadari bahwa penguasaan diri merupakan suatu proses pembelajaran yang berkelanjutan sepanjang hidup. 4. Terus berupaya untuk mengembangkan diri dengan menerima serta menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi.
Sedangkan mereka yang memilik penguasaan diri yang buruk cenderung bersikap pasif. Tidak mau repot dengan menjalankan upaya-upaya pembenahan diri yang sangat membebani. Mereka beranggapan bahwa Personal Mastery tidak lebih dari suatu pengekangan, memasung nilai-nilai kebebasan. Namun sayangnya alasan-alasan ini sebatas retroika yang tanpa disadari dalam pemahaman Personal Mastery pun juga terkandung nilai kebebasan untuk berkarya dan berkreasi. Bukan cuma konsep ataupun bahan diskusi semata. Dengan demikian mereka yang ada dalam kelompok ini sudah puas dan tidak mau terganggu lagi dari suasana confort zone yang dinikmati kini. Mereka memiliki tujuan hidup yang tidak jelas arahnya serta kemungkinan juga tidak memiliki visi dalam menjalankan hidup baik untuk diri pribadi mapun kelompok. Mereka juga sangat berat dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan lingkungan.

Membangkitkan Personal Mastery
Sebagai manusia, kita harus tetap mempertahankan Personal Mastery yang sudah kita miliki. Karena Personal Mastery membawa dampak positif baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain di lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kerja. Junadi (2010) menyebutkan cara yang harus dilakukan untuk mengembangkan Personal Mastery ke arah yang sempurna. Cara tersebut adalah pertama kita harus terus menerus mencari kejelasan hal yang berarti bagi hidup kita. Kedua belajar melihat realitas kekinian dengan pikiran jernih (Junadi,2010). Penting untuk diingat bahwa Personal Mastery adalah sebuah proses yang kontinu. Sehingga dibutuhkan komitmen yang tinggi untuk terus menerus mempertahankan dan mengembangkannya

Kecerdasan Emosional ( EQ)
Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris: emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang.
Selama bertahun-tahun Kecerdasan Intelegensi (IQ) telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Daniel Goleman (1999), adalah salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni kecerdasan emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ).

APAKAH ITU EMOSI ?
Emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Emosi adalah reaksi terhadap seseorang atau kejadian. Emosi dapat ditunjukkan kerika merasa senang mengenai sesuatu, marah kepada seseorang, ataupun takut terhadap sesuatu.
Kata "emosi" diturunkan dari kata bahasa Perancis, émotion, dari émouvoir, 'kegembiraan' dari bahasa Latin emovere, dari e- (varian eks-) 'luar' dan movere 'bergerak'. Kebanyakan ahli yakin bahwa emosi lebih cepat berlalu daripada suasana hati.Sebagai contoh, bila seseorang bersikap kasar, manusia akan merasa marah. Perasaan intens kemarahan tersebut mungkin datang dan pergi dengan cukup cepat tetapi ketika sedang dalam suasana hati yang buruk, seseorang dapat merasa tidak enak untuk beberapa jam.

Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional
Empat komponen ini dapat dipelajari dan dikembangkan yaitu: 1. Self awareness( kesadaran diri) yaitu kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi Anda sendiri dan bagaimana emosi mempengaruhi kehidupan Anda dan pekerjaan. Kemampuan untuk secara akurat menilai kekuatan dan keterbatasan Anda sendiri, bersamaan dengan rasa percaya diri. 2. Self management yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi mengganggu, tidak produktif, atau berbahaya dan keinginan. Pemimpin belajar untuk menyeimbangkan emosi mereka sendiri sehingga kekhawatiran, keinginan, kecemasan, rasa takut, atau marah tidak menguasai mereka. Sehingga memungkinkan mereka untuk berpikir jernih dan menjadi lebih efektif. Contoh percobaan Marshmellow (video) 3. Social awareness berhubungan dengan kemampuan untuk memahami orang lain. Meliputi empati (menempatkan diri dalam posisi orang lain), dan memahami perspektif mereka. pemimpin juga mampu menyadari dan memahami berbagai sudut pandang dan berinteraksi secara efektif dengan berbagai jenis orang dengan berbagai karakter. 4. Relationship management yaitu kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan membangun hubungan yang positif. Pemimpin dengan EQ tinggi memperlakukan orang lain dengan kasih sayang, sensitivitas, dan kebaikan. Pemimpin menggunakan pemahaman mereka tentang emosi untuk menginspirasi perubahan dan memimpin orang menuju sesuatu yang lebih baik, untuk membangun kerja sama tim dan kolaborasi, dan untuk menyelesaikan konflik yang akan selalu meningkat.
Many organizations need more leader whom more interactive than ’ command and control’
Emotionally Competent Leader

Ketika membicarakan mengenai kepemimpinan Abraham Lincoln, sejarahwan Doris Kearn berpendapat bahwa daya tarik yang dimiliki presiden ke 16 amerika tersebut bukanlah dalam hal karisma ataupun kepiawaian berpolitik melainkan emotional intelligence ,Bagaimana emotional intelligence berhubungan dengan kepemimpinan yang efektif? Kesadaran akan diri sendiri yang tinggi dan kemampuan untuk mengendalikan emosi membuat seorang pemimpin mampu memunculkan kepercayaan diri, dihormati dan dipercayai serta mempedulikan kebutuhan orang lain. Pemimpin yang kompeten secara emosional lebih tahan banting dan mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang berubah-ubah dan lebih mempunyai keberanian untuk berjalan di luar zona nyaman mereka dan lebih terbuka terhadap ide dan opini milik orang lain
Emotional intelligence juga penting bagi pemimpin karena keadaan emosional pemimpin mempengaruhi seluruh tim, departemen dan organisasi. Kebanyakan dari kita mengetahui bahwa kita dapat “menangkap” emosi dari orang lain. Ketika kita berada di sekitar seseorang yang sedang antusias dan tersenyum, kita akan terbawa dengan emosi positif tersebut. Kebalikannya, seseorang dengan mood yang buruk dapat membuat kita mendapatkan perasaaan yang tidak enak. Di maskapai Mesa, bekas asisten administrasi CEO Jonathan Ornstein mengatakan bahwa dia bertugas untuk memantau mood CEO nya yang suka marah dan tidak dapat diprediksi, serta memperingatkan eksekutif lain ketika mereka sebaiknya menjauh. “terkadang dia datang ke kantor dalam mood yang jelek, dan itu akan menjadi suasana di dalam kantor itu”. Emotional Contagion berarti pemimpin yang mampu menjaga keseimbangan dan membuat diri mereka tetap termotivasi dapat menjadi satu acuan bagi yang lainnya. Kinerja perusahaan akan lebih baik ketika mood pemimpinnya baik dibandingkan ketika sedang marah atau depresi. Kemampuan untuk berempati kepada orang lain dan untuk menjaga hubungan interpersonal turut memberikan kontribusi ke motivasi dan inspirasi karena hal ini membantu pemimpin menciptakan persatuan dan meningkatkan semangat tim.
Tetapi yang paling penting, emotional intelligence membuat pemimpin untuk mengenal dan menghormati bawahan sebagai seorang umat manusia dengan perasaan, pendapat dan ide mereka sendiri. Mereka dapat menggunakan emotional intelligence untuk membantu pengikut tumbuh dan berkembang, melihat dan meningkatkan nilai diri mereka sendiri serta perasaan bahwa mereka dihargai, dan membantu memenuhi kebutuhan mereka dan tujuan pribadi.
Dalam sebuah studi. 2/3 dari perbedaan antara pemimpin biasa dengan pemimpin berkinerja baik ada pada emotional intelligence, dan hanya sepertiga karena keahlian teknis. Banyak pelatihan untuk mengembangkan emotional intelligence, tetapi orang juga dapat melakukan langkah langkag yang mudah untuk mereka sendiri. Berikut adalah beberapa ide untuk mengembangkan emotional intelligence:
1.Bertanggung jawab untuk hidup , seseorang selalu mencari kambing hitam ketika terjerumus pada kesalahan, dengan bertanggung jawab akan kesalahan tersebut akan memberikan kekuatan dan control terhadap emosi pada orang tersebut serta orang tersebut akan lebih dihormati oleh orang lain. Hal ini menjadi fondasi dari emotional intelligence

2.Mengambil Kursus Public speaking
Kebanyakan orang takut untuk berbicara di depan public, sehingga ini merupakan cara yang baik untuk mengatur diri sendiri, dengan cara belajar untuk menghadapi kegugupan dan kesadaran diri sendiri. Dan juga pembicara yang baik berarti orang tersebut mampu mengerti audiens. Pembicara yang baik selalu memperhatikan audiens bukan diri mereka sendiri.
3.Melatih meditasi atau yoga
Yoga dan meditasi membantu dalam mengendalikan emosi sehingga stress, depresi dan pikiran negative tidak akan mempengaruhi penilaian dan mengendalikan apa yang akan dilakukan.

Emotional Intelligence of Team
Kebanyakan pekerjaan di organisasi-organisasi belakangan ini, walaupun berada di level manajemen atas, selalu dikerjakan dalam tim ketimbang individual. Walaupun studi mengenai emotional intelligence kebanyakan berfokus kepada individual, riset mulai mengacu kepada bagaimana emotional intelligence berhubungan denga tim. Sebagai contoh, satu studi menemukan bahwa tim dengan orang tidak terlatih namun dengan emotional intelligence yang tinggi mampu memiliki kinerja yang sama dengan tim yang telatih namun memiliki emotional intelligence yang rendah.
Terlebih, riset menunjukkan bahwa emotional intelligence dapat dikembangkan sebagai kompetensi tim dan bukan hanya kompetensi individual. Tim sendiri dapat menjadi pintar secara emosional. Pemimpin membangun emotional intelligence tim dengan menciptakan norma yang mendukung perkembangan emosional dan mempengaruhi emosi secara terstruktur. Norma yang dimiliki oleh tim yang cerdas secara emosional adalah norma norma yang:1. Menciptakan sebuah identitas grup yang kuat 2. Membangun kepercayaan antar anggota 3. Menanamkan rasa percaya diri pada anggota grup bahwa mereka dapat sukses.
Pemimpin menyesuaikan diri dengan kondisi emosional tim dan melihat norma norma yang tidak sehat ataupun tidak produktif yang dapat menghambat kerjasama dan hubungan tim. Membangun emotional intelligence dari tim berarti menjelajahi norma norma yang tidak sehat, dengan sengaja membawa emosi ke permukaan, dan memahami bagaimana mereka mempengaruhi kinerja tim. Mengangkat isu ini sangatlah tidak nyaman, dan seorang pemimpin membutuhkan keberanian dan emotional intelligence untuk membawa tim melewati proses ini. Hanya dengan membuka emosi yang ada tim dapat membuat norma baru dan bergerak menuju ke level kepuasan yang lebih lanjut.Pemimpin melanjutkan untuk membangun emotional intelligence dengan memacu semangat tim dan memperbolehkan tim untuk menjelajahi dan menggunakan emosi di dalam pekerjaannya sehari hari.

Leading with Love VS Leading with Fear
Secara tradisional, kepemimpinan selalu didasarkan dengan cara menanamkan rasa takut kepada bawahan. Banyak yang mengatakan bahwa rasa takut merupakan sesuatu yang bagus dan menguntungkan organisasi. Tentu, rasa takut dapat menjadi motivator yang kuat, tetapi banyak pemimpin sekarang ini mengetahui bahwa lingkungan yang merefleksikan kepedulian dan rasa hormat terhadap orang lebih efektif ketimbang lingkungan dengan orang orang yang takut. Ketika keberhasilan organisasi hanya ditentukan oleh orang orang yang mengikuti perintah tanpa berpikir, memimpin dengan menggunakan rasa takut selalu sesuai dengan tujuan organisasi. Sekarang, walaupun sukses di kebanyakan organisasi dipengaruhi oeh pengetahuan, kemampuan berpikir, komitmen dan antusiasme dari setiap orang di organisasi. Sebuah organisasi yang didasari pada rasa takut kan kehilangan orang orang terbaiknya, dan dengan pengetahuan yang orang orang tersebut miliki dibawa ke perusahaan lain. Dan juga, jika seseorang tetap bertahan di organisasi itu, mereka tidak akan termotivasi untuk bekerja sesuai dengan kapabilitas mereka. Ada bukti yang menunjukkan bahwa orang dengan emosi positif bekerja dengan lebih baik.
Satu kelemahan dari memimpin dengan rasa takut adalah terciptanya perilaku menghindar, karena tidak ada orang yang mau membuat kesalahan, dan ini menghambat pertumbuhan dan perubahan. Pemimpin dapat belajar untuk mempersatukan orang untuk tujuan bersama melalui upaya positif seperti kepedulian dan simpati, mendengar dan berhubungan dengan yang lain pada level personal. Emosi yang menarik orang untuk mengambil resiko, belajar dan memajukan organisasi datang dari rasa cinta bukan rasa takut.
Menunjukkan rasa hormat dan kepercayaan tidak hanya membuat orang mampu untuk bekerja lebih baik, tetapi hal ini membuat mereka terhubung secara emosional dengan pekerjaan mereka sehingga hidup mereka dapat lebih seimbang. Pemimpin dapat bergantung kepada pengunaan rasa takut untuk memicu semangat kerja, tetapi dengan melakukan hal demikian dapat menghancurkan semangat orang secara perlahan dan pada akhirnya berdampak buruk bagi karyawan dan organisasi.
Fear in organization
Tempat kerja memiliki banyak rasa takut, termasuk takut akan kegagalan, takut akan perubahan, takut akan kerugian pribadi, takut akan bos. Ketakutan ini akan menghambat orang untuk melakukan yang terbaik, mengambil risiko, mengambil tantangan dan perubahan. Rasa takut mask ketika orang berpikir tentang pekerjaan mereka, diri sendiri dan organisasi. Hal ini menciptakan atmosfir dimana orang orang menjadi tidak percaa diri sehingga mengurangi komitmen,motivasi dan imajinasi mereka.
Aspects of fear
Aspek yang merusak dari rasa takut di tempat kerja adalah melemahnya kepercayaan dan komunikasi. Karyawan merasa terancam dengan peringatan ketika mereke berbicara mengenai pekerjaan mereka. Sebuah survey dari 22 organisasi di sebuah negara menunjukkan bahwa 70 persen dari mereka “mengigit lidah mereka” ketika mereka bekerja karena takut diberikan peringatan. 27 persen melaporkan bahwa mereka takut kredibilitas dan reputasi mereka hilang ketika mereka berbicara. Rasa takut yang lain seperti promosi yang lambat, rusaknya hubungan dengan supervisor, kehilangan pekerjaan, dan dipermalukan di depan yang lain. Ketika orang takut untuk berbicara dengan bebas dalam organisasi, isu isu penting akan tersimpan dan masalah akan tersembunyi. Karyawan merasa takut untuk berbicara mengenai topic yang lebih luas, terlebih ketika berbicara tentang perilaku pemimpin mereka. Ketika seorang pemimpin menanamkan rasa takut pada karyawan, mereka menghancurkan kesempatan untuk feedback, mengikat mereka ke dalam kenyataan dan menolak memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperbaiki keputusan dan perilaku yang salah.
Relationship with Leaders.
Pemimpin mengatur rasa takut di dalam organisasi. Organisasi berlandaskan cinta ditandai dengan otentik dan keterbukaan, rasa hormat terhadap sudut pandang yang berbeda beda, dan penitik beratan terhadap hubungan positif interpersonal. Organisasi berlandaskan rasa takut, memiliki karateristik kehati-hatian dan kerahasiaan, menyalahkan orang lain,control berlebihan, dan jarak emosional antar individu. Hubungan antara individu dengan atasan merupakan penentu utama tingkatan rasa takut yang diterima ketika bekerja. Pemimpin bisa menciptakan sebuah lingkungan baru yang membuat orang mampu merasa nyaman untuk berpendapat. Pemimpin dapat melakukan pekerjaan dengan cinta untuk membebaskan karyawan dari belenggu masa lalu.
Bringing Work to Love
Organisasi secara tradisional memberikan hadiah kepada orang dengan kinerja dan kualitas yang baik. Tapi penekanan berlebihan pada hal ini membuat banyak organisasi tidak terhubung dengan kreativitas mereka serta tidak dapat membuat ikatan emosional dengan yang lain. Dengan kata lain seorang pemimpin bertindak karena ketakutan mereka yang menciptakan rasa takut pada orang lain. Rasa takut pemimpin dapat ditunjukkan dalam kesombongan,keras kepala, ketidak adilan, penipuan, dan rasa tidak hormat terhadap yang lain.
Kebanyakan dari kita pernah mengalami kekuatan cinta dalam satu momen di hidup kita, cinta terbagi dalam beberapa jenis, contohnya cinta ibu terhadap anak, cinta romantic, cinta terhadap negara ataupun cinta terhadap olahraga dan hobi. Biarpun kuat, kata ini selalu diawasi di dalam dunia bisnis. Tetapi ada beberapa aspek dari cinta yang mempengaruhi secara langsung dengan hubungan pekerjaan dan performa organisasi.
Cinta sebagai motivasi adalah kekuatan yang mampu membuat orang merasa hidup,terhubung dan mencintai hidup dan pekerjaannya. Budaya barat menitik beratkan pada pikiran dan pendekatan rasional. Tetapi, cinta merupakan pemicu orang untuk terus maju bukan pikiran. Apakah anda ingat sesuatu ketika anda menginginkan sesuatu yang ada sukai dan bagaimana motivasi anda bergerak secara bebas. Atau apakah anda mengingat waktu ketika anda diberikan pekerjaan yang tidak anda sukai, motivasi anda berkurang. Orang yang mencintai pekerjaannya akan lenih puas,produktif dan sukses.
Cinta sebagai perasaan meliputi rasa tertarik dan peduli terhadap pekerjaan, orang dan lainnya. Ini merupakan pendapat orang mengenai cinta pada umumnya, terutama hubungan romantic antara dua individu. Tetapi hal ini pun relevan di dalam tempat kerja,dimana kata kuncinya adalah pencarian kepuasan dengan melakukan pekerjaan berdasarkan kesenangan bukan karena kompensasi material. Kebanyakan dari kita mengalami kepuasan bekerja ketika kita terfokus pada pekerjaan tersebut sehingga kita lupa akan waktu dan hal ini dapat menjadi satu pembentuk karisma, dimana orang orang akan lebih karismatik ketika mereka melakukan aktivitas yang benar benar mereka sukai.
Cinta sebagai tindakan memiliki arti lebih ketimbang perasaan, Stephen Covey menjelaskan hal tersebut sebagai sesuatu yang kita lakukan, pengorbanan yang dilakukan kepada orang lain. Sebagai contohnya aksi heroik kapten Jason Dunham yang menggunakan badannya sendiri untuk melindungi teman temannya dari granat yang dilempar ke mobil mereka.
Mengapa Pengikut Merespons Terhadap Cinta
Kebanyakan orang berharap untuk mendapatkan sesuatu yang lebih daripada gaji. Pemimpin yang memimpin menggunakan cinta mempunyai pengaruh yang lebih kuat karena mereka memenuhi lima kebutuhan karyawan yang tersirat: Dengar dan mengerti saya, jikalau anda tidak setuju dengan saya jangan menyalahi saya, akui kehebatan saya, ingat untuk menjaga rasa cinta saya , dan katakan kejujuran dengan simpati.
Ketika pemimpin berhasil memenuhi kebutuhan emosional ini, karyawan akan merespon dengan mencintai pekerjaan mereka dan meningkatkan kinerja mereka. Karyawan ingin percaya bahwa pemimpin mereka peduli. Dari sudut pandang pengikut, takut vs cinta memliki potensi motivasional yang berbeda.
Motivasi yang berdasarkan ketakutan: saya membutuhkan pekerjaan untuk membayar kebutuhan hidup saya, anda memberikan saya pekerjaan, dan saya akan melakukan secukupnya untuk mengamankan pekerjaan saya
Motivasi yang berdasarkan cinta: jika pemimpin dan pekerjaan tersebut menghargai saya sebagai orang dan memberikan kontribusi terhadap komunitas, dan saya akan melakukan yang terbaik.

MAKALAH LEADERSHIPS

LEADERSHIP MIND AND HEART

MAYA ZIMAH 200950673
FEDDY SAPUTRA 200950639
LAURA MARIA 200960227
WELLY KURNIAWAN 200960067
ANDI CHAYADI 200960163

TRISAKTI SCHOOL OF MANAGEMENT
JAKARTA
2012

Similar Documents

Premium Essay

Entrepreneurial Leadership

...Entrepreneurial Leadership Running head: Entrepreneurial Leadership Entrepreneurial Leadership Angela Williams Dr. Mensah-Dartey The Business Enterprise April 24, 2011 1. Create a hybrid theory/philosophy which combines the common elements found in the thinking of Case, Kouzes, and Drucker. In your philosophy, be sure to include the new definition of entrepreneurial leadership presented in Understanding Leadership in today’s Dynamic Markets. The common elements found in the thinking of Case (2010), Kouzes (2008), and Drucker (1985) strategies all relate to Entrepreneurial Leadership and have similar qualities. Entrepreneurial Leadership crates visionary scenarios that are used to assemble and mobilize a supporting cast of participants who become committed by the vision to the discovery and exploitation of strategic value creation. The three men also share commonalities such as being risk takers, innovators, investing in people, and being persistent. For instance, Steve Case believes that success requires people, passion, and perseverance (the 3 P’s) and with all together, almost anything is possible. He also believes that entrepreneurship is important in terms of the underlying economic future of our country and that innovation and taking risks in entrepreneurship can get our struggling country back on track. Kouzes could relate to Case’s first “P”, which relates to people. Both Kouzes and Case stresses the importance of people and or his/her feelings....

Words: 1915 - Pages: 8

Free Essay

Progressive Leadership

...who are willing to think in new ways and venture into new territory, our organizations are likely to stay stuck in the status quo. So, what makes a leader exceptional in today’s organizational environment? Following are five practices for progressive leadership, each one key to moving organizations forward effectively in today’s world: Progressive Leadership Practice #1: Model the Way We’ve all heard the expression, “Do as I say, not as I do.” While typically verbalized within the context of parenting, it also shows up in organizations – much to the detriment of trust and morale. Exceptional leaders walk their talk. In their daily lives, they align their deeds and actions with their personal values and, in the workplace, they align their deeds and actions with organizational values. This means that the leadership practice of modeling the way starts with clarifying organizational values and communicating them to all staff and stakeholders. Once organizational values are clarified and communicated, it’s up to you as a progressive leader to be steadfast to your commitment to them, as well as being alert to discrepancies. This is how leaders earn the right and respect to lead – by embodying what they request. Progressive Leadership Practice #2: Inspire a Shared Vision Leaders breathe life into hopes and dreams, helping others see possibilities. Inspiring a shared vision involves imagining exciting and empowering options for your organization’s future and enrolling others in the...

Words: 949 - Pages: 4

Free Essay

Sermon

...31 Days of Praying for Your Pastor Brothers, pray for us. (1 Thess 5:25 ESV) “Let the thought sink deep into the heart of every church, that their minister will be such a minister as their prayers make him. … How perilous is the condition of that minister ... whose heart is not encouraged, whose hands are not strengthened, and who is not upheld by the prayers of his people! … “It is at a fearful expense that ministers are ever allowed to enter the pulpit without being preceded, accompanied, and followed by the earnest prayers of the churches. It is no marvel that the pulpit is so powerless, and ministers so often disheartened when there are so few to hold up their hands. … When the churches cease to pray for ministers, ministers will no longer be a blessing to the churches.” Gardiner Spring (1785-1873) There is no greater gift you can give your pastor and the spiritual leaders of your church than to pray for them. Pastors cannot win the battle alone; they need committed intercessors to lift them up in fervent, specific prayer. Imagine how the power of God might be released in our churches if we were to pray faithfully for our pastors. Pastors are human—they face the same challenges that their people do, with some additional ones! They grow tired in ministry, are tempted to sin, and may find it difficult to balance their many roles and responsibilities. They need the encouragement and support of those they lead. Prayer for your pastor is crucial to the spiritual health of...

Words: 2010 - Pages: 9

Premium Essay

Case Study

...of our organizations are operating i.e. build a happy work environment. The Journey from our belly to the top of our head” is called Self Leadership was a very unique definition. Self-Leadership is understanding the co-relation between the cause and effect when they are distanced by time and space. It means the choices that we make today will affect some or the other part of the world soon or maybe after some years, but it is bound to happen. We all have been sent by god for a purpose, our task here is to find that cause and fulfill it.  A human has the organs of pleasure at the bottom, then the stomach that gives him the pleasure of food and nutrition, then the heart from where he feels and then at the top is the intellect with which the ideas for making a better world originate. The whole concept of self-leadership is travelling that distance from the bottom to the top. But I guess only becoming a leader won’t help, be it by self-awakening or by some external hand, it is important to be inspired. Just like Swami ji talked about in the video, Anil Sir too made the exact same proposition regarding this. A leader should have the inspired enthusiasm which is almost as indispensable for the conscience as is physical pleasure to our senses, food to our stomach, feelings to the heart and intellect to the mind. Inspired leadership, as defined in the class, is the understanding of the relation between cause and effect when they are distant in time and space. This means being...

Words: 460 - Pages: 2

Free Essay

Vivekananda

...| 5 | Does God exist?- Engagement with the Brahmo Samaj | 5-7 | Association with Shri Ramakrishna | 7-8 | Developing eminence and emergence of leadership | Early development of leadership traits | 8 | Dasasya | 9 | Vivekananda at Chicago | 10 | Vivekananda’s take on Vedanta | 10-11 | Vivekananda’s Works  | 11 | Vivekananda on his Last Days | 11-12 | Major contributions and demonstrated leadership capability | 12-13 | Swami Vivekananda’s leadership concepts, as applicable in organizations of today | 13-15 | Comments on the person’s leadership styles and attributes | 16-17 | Motivation behind this writing this paper and choosing Swami Vivekananda Leadership is seen in the board room and in the kindergarten classroom. It is needed to guide nations as well as a scout troop. Leadership is exercised all over the world. Perhaps the fact that leadership is “omnipresent” is why it is often ignored, neglected and taken for granted. It’s like air; we don’t even think about it unless it’s lacking. The fact that leadership is so pervasive should make it a required subject in business school. While some topics are electives, everyone needs to learn the essence of leadership. In recent years leadership has become a hot topic. Though leadership is a hot topic, it is not a new topic. Wren says, “Leadership is not a “fad” but a concept that is both current and timeless. The leader chosen by me is Swami Vivekananada. Swami Vivekananda is a must mention among...

Words: 6433 - Pages: 26

Premium Essay

30 Books in 30 Days Summary

...[pic] What Does It Take to be a Great Leader My Journey Begins When I took the“30 Books in 30 Days Challenge”; I told myself to maximize this opportunity to learn something significant. Broadening one’s knowledge and learning from the best leadership books ever published is like a gift that landed on my lap. 1st day of my 30 day reading journey, I made a strategy with 1 end goal - to enter the minds of all the authors and get the best learnings and most importantly practice it. It wasn’t an easy task - the first few attempts on reading the summaries, I started to doze off at page 2. But I needed to finish not because of the challenge, but because it is an opportunity that should not pass me by. I decided to do it in a way which I will enjoy and love doing it. Since I liked formulas so much and doing it in excel I decided to come up with a “leadership matrix” based on the different books and from there have a formula for being a great leader. I made my summary of the summaries and counted how many times a particular quality or trait will be written by different authors. By this time I started to look forward to reading each summary. Before book # 1, I sat and looked back at the 17 years of my work life and started to ask myself what kind of a leader I am, to accept the brutal facts of how far am I from being a great leader. On the 26th book, finally came up with an equation which I felt and believed is the formula for being a great...

Words: 1551 - Pages: 7

Free Essay

8th Habit

...The 8th Habit By Stephen Covey A Summary The Whole-Person paradigm says that people are whole people - body, mind, heart and spirit - and they have four related capacities: (1) Physical Intelligence, (2) Mental Intelligence, (3) Emotional Intelligence, and (4) Spiritual Intelligence. People also have four related needs: (1) To Live - Survival, (2) To Love - Relationships, (3) To Learn - Growth and Development, and (4) To Leave a Legacy - Meaning and Contribution. People have choices - in fact, there are six choices that we have in any situation (1) rebel or quit, (2) malicious obedience, (3) willing compliance, (4) cheerful cooperation, (5) heartfelt commitment and (6) creative excitement. People want to be paid fairly, used creatively, treated kindly and given an opportunity to serve human needs in principled ways. So, whole people (body, mind, heart and spirit) with four basic needs (1) to live, (2) to learn, (3) to love, and (4) to leave a legacy) and four intelligences or capacities (physical, mental, emotional and spiritual) and their highest manifestations (discipline, vision, passion and conscience) all of which represent the four dimensions of voice (need, talent, passion and conscience). Our voice lies at the intersection of talent (your natural gifts and strengths), passion (things that naturally energise, excite, motivate and inspire you), need (including what he world needs enough to pay you for), and conscience (that still voice within that assures...

Words: 3607 - Pages: 15

Premium Essay

Entrepreneurial Leadership

...economy. He used the three P’s to explain why the merger was a failure: People- people began to focus on their own issues rather than innovation; Passion-that AOL lost its original drive and that the innovating, pioneering people started to become more corporate; and Perseverance- they assumed that the Internet was a fleeting phenomenon and preceded to back away from it. Case then concludes with a quote by Thomas Edison, although the P’s are necessary that “vision without execution is hallucination” (Case, 2010). James Kouzes’ theory consisted of five characteristics of an effective leader and how to achieve exemplary leadership. Like Case, Kouzes had specific characteristics to explain what a leader should possess. Kouzes five points were model the way, inspire a shared vision, challenge the process, practice of enabling others to act, and encourage the heart. He then described a way to achieve all of his points. “Model the way” is achieved by establishing a clear set of values and expectations...

Words: 1305 - Pages: 6

Premium Essay

A Tale of Two Coaches

...Gkornean Grand Canyon University: LRD 600-0500: Leadership Styles and Development Dr. Terri Trent September 2, 2015 “Coach K: A Matter of the Heart” & "Coach Knight: A Will to Win” Overview This paper provides a leadership styles and skills analysis of two cases that separately discussed the professional careers of two leaders involved in similar kinds of activities. It presents two coaches – Coach K and Coach Knight - as achievers but distinguishes them in terms of the methodology used. This paper recognizes similar leadership attributes of these two leaders and distinguishes one from another in terms of their leadership style. It identifies Coach K more as a leader than Coach Knight whose attributes were more managerial. Leadership Skills Coach K was an efficient and successful leader who demonstrated excellent leadership skills as he led the Duke Basketball Team to becoming one of the most successful college basketball teams in America’s history (DeLacey, Perlow & Snook, 2005). His success can be attributed to the following leadership skills: competencies, individual attributes, and leadership outcomes, technical, human and conceptual skills. Similarly, Coach Knight was a very successful basketball coach at Indiana University and Texas Tech. According to DeLacey, Perlow & Snook (2005), he earned for himself one of the most enviable records in college basketball history and his success can be attributed to his leadership or managerial skills such as technical, conceptual...

Words: 633 - Pages: 3

Premium Essay

Critical Thinking Essay

...Intelligence of Leaders”, Goleman (1998), believes that emotional intelligence is leadership of the heart, which is essential to the success of a team or organization. Most leaders who show emotions and connect with others emotionally tend to lead high performance groups and are more to be ahead of their competitors. Goleman also talked about the anatomy of emotions and believe they are the very structure on which our brain is built. Emotions are what give us the ability to think and react rationally. In other words, without emotions, leaders could make decisions that could be detrimental to their teams’ performance. A decision that leads to a positive outcome, is one made when we control our feelings and not let them get in the way of our thinking process. Goleman’s believes were based on several researches. One study done by Stanford University, showed that kids who exhibited patience and were less impulsive, were betting at controlling their emotions as they got older. These kids had a greater advantage to succeed than those who were impatient and could not handle stress well. Goleman pointed out that this was also evident in the study done by The Center for Creative Leadership. Leaders who failed at their jobs did so, because they failed to effectively manage stress. They were unable to help their teams navigate changes. According to Goleman, emotional intelligence is measured through five main leadership characteristics. First there is self-awareness. This allows leaders to...

Words: 1546 - Pages: 7

Free Essay

Seven Habit of Highly Effective People

... that can be described as our "Circle of Influence". When  we  focus  our  time  and  energy  in  our  Circle  of  Concern,  but  outside  our  Circle  of  Influence,  we  are  not  being  effective.  However,  we  find  that  being  proactive  helps  us  expand our Circle of Influence. (Work on things you can do something about.)  Reactive  people  focus  their  efforts  on  the  Circle  of  Concern,  over  things  they  can't  control. Their negative energy causes their Circle of Influence to shrink.  Sometimes  we  make  choices  with  negative  consequences,  called  mistakes.  We  can't  recall  or  undo  past  mistakes.  The  proactive  approach  to  a  mistake  is  to  acknowledge  it  instantly, correct and learn from it. Success is the far side of failure.  At the heart of our Circle of Influence is our ability to make and keep commitments and  promises.  Our  integrity  in  keeping  commitments  and  the  ability  to  make  commitments  are the clearest manifestations of proactivity.  Begin...

Words: 2766 - Pages: 12

Premium Essay

Core Values in Leadership

...Abstract An essential component of leadership is to articulate and exemplify the organization's core values. These values must be clear, compelling, and repeated. The leader must both "walk the talk" and inspire his/her colleagues within the organization to also live these values. Values are at the core of individual, group or organizational identity. Values are relatively enduring conceptions or judgments about what is considered to be important to an organization. Agreement between personal and organizational values result in shared values which constitute the benchmarking of a successful business practice. Thinking We, Not I Leadership today is a full contact sport and as people’s plates are overflowing, leaders are doing more with less daily. To create a healthy, sustainable organization, there is a need to create a culture where others are motivated to give their discretionary energy. Productivity and success depend on healthy leaders and employees who are not caught up in disruptive behaviors such as blame, victim thinking, excessive control, silo mentality, and internal competition. When such behaviors surface it is necessary to take proactive steps to pinpoint the cause and what must be done to turn the culture around. Re-visiting the organizations mission statement is a good place start. Leaders of healthy, sustainable organizations excel in three activities: 1) clarify goals and expectations; 2) help employees to see how their responsibilities align...

Words: 1321 - Pages: 6

Premium Essay

Daring Hospital

...patients are wheeled from one examination to another with little personal interaction received from their healthcare provider. Patients are hooked up to monitors alarming endlessly due to staff being either unavailable to silence them or not having the compassion to comfort. Technology has become so dominant in hospital settings that we have lost sight of providing the loving care aspect of our profession. Dehumanizing our patients will not heal them; our current practices could actually cause more harm. Healing Hospitals are now surfacing around the country with the concept supporting a culture of caring. This does not mean that technology has been pushed aside; a Healing Hospital incorporates technology as well as the whole patient, body, mind and spirit. To understand the concepts of a Healing Hospital, we can examine the work of Erie Chapman, founding president and chief executive officer of the Baptist Healing Trust in Nashville, Tennessee. On October 1, 1998, Chapman took the reins of The Baptist Hospital System and unbeknownst to him, many financial and emotional challenges would be awaiting. He defines them as tornados, one being an actual tornado causing structural damage to the hospital earlier that year and the other being an inside (corporation) financial tornado. The latter would be more challenging for him, leading a company that is $83 million dollars worse off than what he was told (Chapman, 2007). His first step was to develop a mission and value statement...

Words: 1406 - Pages: 6

Premium Essay

Organisational Change

...organisation to thrive. Most organisations operating today are successful because of change. This essay will examine the theories and concepts needed in for successful change. Reflective learning means improving performance by using the outcome of reflection to inform the future practice. Portfolio 1 Question  1) Does leadership have a role to play in change management? 2) Discuss the concept of servant leadership for initiating and implementing change in organisations.  Leadership plays an essential part in the change management process. Therefore, leaders have got to pay attention to leveraging. Getting the right people to inspire, encourage, motivate as well as having the ability to understand peoples emotional mind state. The Leaders is the key figure in the organisation for defining the need to change from internal and external drivers Carnell, (2003) says the people leading change can come from various different models. Models from top down or models starting from the middle. Quite often change is driven from the middle class. They create an atmosphere of change. Literature review Greenleaf in 1970 founded the concept of servant leadership. Greenleaf emphasizes that good leaders must first become good servants by serving both the employees and the organisation....

Words: 2372 - Pages: 10

Premium Essay

Papers

...CHAPTER – IV LEADERSHIP LEADERS ARE BORN & MADE…. Leadership is the ability to articulate a vision, embrace the values of the vision and nurture an environment where everyone can reach the organizations goal and their own personal needs. Leadership is an indescribable ability based on concrete principles and a tool that anyone can learn that helps guides an organization or group of people in a beneficial direction or to a valuable destination. The ability to get work done with and through others, while at the same time winning their confidence respect, loyalty and willing cooperation. Before we get started, let’s define leadership. Leadership is a complex process by which a person influences others to accomplish a mission, task, or objective and directs the organization in a way that makes it more cohesive and coherent. A person carries out this process by applying her leadership attributes (belief, values, ethics, character, knowledge, and skills). The complete definition highlights the difference between simply managing and being a leader. Good leaders are made not born. If you have the desire and will power, you can become an effective leader; Good leaders develop through a never-ending process of self-study, education, training and experience. There is very little evidence that the so-called “naturally born’ leader really exists. Continuing and ongoing studies are showing that the concept of a “natural born” leader has little merit. One reason for...

Words: 5301 - Pages: 22