Free Essay

Para Pemimpin Perubahan vs Para Pemimpi Perubahan

In: Other Topics

Submitted By lusiadewi
Words 4814
Pages 20
“Manajemen Perubahan
Para Pemimpin Perubahan vs Para Pemimpi Perubahan”

Disusun Oleh :
Lusia Dewi Kristanti
15413/EM

Fakultas Ekonomi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
2007
”Manajemen Perubahan
Para Pemimpin Perubahan vs Para Pemimpi perubahan”

Perubahan merupakan hal yang selalu menjadi kontroversi, dimana ada saja masyarakat yang selalu menganggap bahwa esensi dari perubahan itu buruk akhirnya tidak dapat diterima. Ada beberapa karakteristik perubahan : Pertama, ia begitu misterius karena tak mudah dipegang. Perubahan bagai boomerang yang suatu saat dapat mengenai pemiliknya bila si pemilik tidak dapat mengendalikannya. Seperti air yang dibutuhkan manusia dalam volume tertentu, dan memusnahkan manusia pada volume tertentu juga, tak dapat diduga, seperti api yang digunakan untuk memasak, dan dapat membunuh bila terjadi kebakaran, ataupun seperti barang-barang lainnya yang suatu saat dapat bermanfaat, di saat lain dapat menjadi senjata mematikan, suatu saat perubahan dapat menjadi teman, di saat lain bisa menjadi lawan, tidak ada yang tahu kapan perubahan menjadi teman, kapan perubahan menjadi lawan.
Kedua, change memerlukan change makers. Change tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya change makers. Jelas, masyarakat Indonesia kebanyakan bersikap apriori, dan konservatif, sulit menerapkan perubahan di negara ini, Soekarno-Hatta merupakan tokoh-tokoh dari change makers setelah sumpah pemuda 28 Oktober 1928, tanpa keberadaan beliau-beliau, Indonesia akan tetap terjajah bukan hanya 350 tahun, bahkan bisa jadi hingga 10 abad lamanya, seorang change makers membutuhkan keberanian yang besar, karena seorang change makers harus siap menerima konsekuensi atas perbuatannya, selalu ada pihak-pihak lain yang tidak sejalan, dalam perjuangan Soekarno-Hatta misalnya, PKI merupakan salah satu kelompok yang tidak menyetujui tindakan dan memberontak. Tokoh lain yang menjadi change maker adalah Tuhan Yesus, dimana Tuhan Yesus harus mati di salib karena melakukan perombakan besar atas pemikiran umat manusia akan kerajaan Allah, namun selalu saja ada pihak yang menentang perubahan-perubahan yang dilakukan seperti kaum farisi yang akhirnya berhasil menyalibkan Tuhan Yesus. Memang akhirnya pemikiran umat manusia akan kerajaan Allah berubah menjadi lebih baik, namun itu membutuhkan pengorbanan.
Ketiga, tak semua orang bisa diajak melihat perubahan. Hal ini dialami langsung oleh penulis. Kebetulan penulis adalah orang yang mengikuti kegiatan di lembaga mahasiswa, penulis mencoba sesuatu yang lain dengan mencoba mengadakan program kerja di luar kampus UAJY, tujuan penulis adalah mencoba membawa nama UAJY keluar dari lingkup kampus, karena menurut penulis, program-program yang diadakan selama ini selalu menggunakan Auditorium kampus 3 UAJY, sehingga mungkin karena terlalu sering digunakan, mahasiswa ”bosan” untuk mengikuti acara tersebut walau dengan kemasan berbeda, maka penulis ingin mencoba melangkah keluar untuk mencari sesuatu yang baru, namun ternyata tindakan ini banyak ditentang oleh teman-teman yang ada di lembaga lain, namun pada saat penulis berkonsultasi dengan lembaga yang lain lagi, lembaga tersebut menyetujui tindakan ini karena menurut lembaga itu ini hal baru yang perlu dicoba, namun tetap saja pihak yang tidak menyetujui takut akan resiko yang terlalu tinggi, yakni nama UAJY tenggelam, dari sini dapat dilihat bahwa tidak semua orang dapat diajak untuk melihat perubahan, perubahan seperti melihat sebuah gambar abstrak, seperti jika dua orang ditanyai maukah anda berubah menjadi seperti ini? Satu orang menjawab mau karena dalam gambar abstrak itu yang terlihat adalah seorang gadis cantik dan akhirnya menerima perubahan itu, namun yang lain tidak mau karena yang dilihatnya adalah gambar nenek sihir yang jelek dan akhirnya tidak mau menerima perubahan itu.
Keempat, perubahan terjadi setiap saat, karena perubahan harus diciptakan setiap saat pula, bukan sekali-sekali. Ini ibarat seseorang yang melakukan inovasi terhadap produknya, misalnya Nokia melakukan inovasi baru dengan membuat fitur baru di produknya, misalnya 3G, jika saat itu juga ia berhenti, ia akan mati, mengapa? Karena adanya persaingan disini, pada saat Nokia berhasil menarik pasar dengan inovasinya yang baru dan berhenti disitu, pesaing akan berfikir untuk membuat yang lebih dan lebih, misalnya Sony Ericsson menerbitkan 4G, maka Sony akan lebih unggul, tapi bila Nokia siap dengan inovasinya yang lain dengan menciptakan perubahan lagi terhadap produknya, Nokia akan tetap bertahan, maka perubahan harus diciptakan setiap saat, bukan hanya sekali-sekali.
Kelima, ada sisi keras dan sisi lembut dari perubahan. Sisi keras termasuk uang dan teknologi, sisi lembut menyangkut manusia dan organisasi. Contohnya adalah perubahan pada lembaga pendidikan, universitas misalnya, ada beberapa orang yang ingin mengarahkan perubahan berupa pengembangan universitas hanya kearah menciptakan suasana pendidikan yang kondusif, ada juga yang mengarahkannya kearah bisnis dan politik. Perubahan memang akan terjadi, selalu terjadi seiring berjalannya waktu perubahan dapat saja membuat salah satu dari dua kelompok yang memiliki pemikiran berbeda ini merasa kurang nyaman karena tidak sesuai dengan visi dan misi mereka. Contoh lainnya adalah tindakan yang dilakukan oleh Paul Otellini, perubahan besar-besaran terhadap Intel memberikan dua dampak, buruk pada orang-orang lama yang tidak paham akan tindakan Otellini dan akhirnya memutuskan keluar, dan baik pada orang-orang baru yang direkrut oleh Ottelini. Dua dampak ini merupakan dampak dari satu jenis perubahan, ini bagai sisi lembut dan sisi keras dari perubahan itu sendiri.
Keenam, perubahan membutuhkan waktu, biaya, dan kekuatan. Seperti tahap pertumbuhan manusia, perubahanpun tidak bisa instant. Seorang bayi tidak akan langsung makan nasi atau berjalan dengan menggunakan sepatu, akan ada tahapannya sendiri, tahapan ini membutuhkan waktu, dimulai dari belajar tengkurap, merangkak, berjalan lalu dapat berlari, membutuhkan biaya, dimulai dari minim hanya susu, lalu harus mulai membeli bubur tapi tetap memberi susu, lalu memberi nasi dan lauk tapi tetap minum susu, sampai akhirnya membutuhkan biaya tambahan untuk bermacam-macam makanan. Memerlukan kekuatan, kekuatan untuk belajar tengkurap, kekuatan untuk belajar merangkak, berjalan dan akhirnya kekuatan untuk bisa berlari. Bahkan kekuatan yang dibutuhkan tidak hanya kekuatan sang anak, tapi juga kekuatan pendukung, yakni orang tua, untuk membantu sang anak melalui tahap-tahap pertumbuhannya. Begitupun perubahan, untuk melakukan perubahan diperlukan cara berfikir yang matang, kepribadian yang pantang mundur dan teguh, konsep yang tersusun dan jelas, bertahap dan dukungan yang luas.
Ketujuh, dibutuhkan upaya-upaya khusus untuk menyentuh nilai-nilai dasar organisasi. Dalam suatu organisasi dibutuhkan sebuah proses, seseorang yang baru memasuki sebuah organisasi tidak akan langsung menjadi pimpinan dalam organisasi tersebut, ia harus mengenal dasar-dasar organisasi tersebut dan seluk beluknya, untuk ini dilakukan upaya-upaya khusus, dalam lembaga mahasiswa misalnya dimulai dengan langkah pembekalan, yakni langkah awal yang dilakukan agar anggota baru mengenal struktur lembaga dan kebiasaan yang ada di dalamnya. Dalam perusahaan misalnya adalah promosi, pada saat orang tersebut sudah siap untuk maju selangkah karena telah mampu menyesuaikan diri dan telah menguasai lingkungannya, orang tersebut akan dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi masalah fatal yang dapat ditimbulkan seseorang ketika ia asing terhadap lingkungannya dan tidak berkomunikasi dengan baik terhadap orang-orang yang ada di lingkungannya. Apakah seorang pemimpin bisa menjadi seorang pemimpin yang baik ketika ia tidak mengenal lingkungan dan budaya organisasi dalam organisasi yang dipimpinnya? Jawabannya tentu saja tidak.
Kedelapan, Perubahan banyak diwarnai oleh mitos-mitos. Ada beberapa mitos yang mempengaruhi cara berpikir para bawahan, yakni : · Mitos kesatu : Perubahan selalu ditandai dengan kehidupan yang lebih baik. Pernyataan ini memang benar, namun perubahan tidak selalu memberi suasana nyaman, perubahan selalu membutuhkan pengorbanan, dan pengorbanan yang dilakukan kadang sangat besar, pengorbanan inilah yang kadang membuat banyak orang enggan untuk berubah. · Mitos kedua : Perubahan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang muda. Hal ini dapat dilihat dari iklan yang sering kita lihat di televisi, dimana orang yang lebih muda tidak dipercaya,sehingga ia harus tampak tua untuk bisa dipercaya. Hal yang bisa ditangkap oleh penulis dalam iklan ini adalah orang-orang tua tetap mempertahankan pemikirannya untuk lebih mempercayai yang tua karena sudah memiliki banyak pengalaman, sehingga dapat ditarik kesimpulan disini bahwa orang-orang tua tidak mau belajar mempercayai orang-orang muda, orang-orang tua ini terpaku pada pemikirannya dan tidak mau mengubahnya, karena orang-orang tua memiliki pemikiran yang lebih tertutup, sehingga orang-orang muda yang harus melakukan perubahan. Namun sebenarnya ini juga tidak sepenuhnya benar, karena penulis saat ini melihat pihak rektorat UAJY yang isinya bukan orang-orang muda, yang mengadakan perombakan besar-besaran, merencanakan perubahan, ini membuktikan mitos ini tidak selamanya benar. · Mitos ketiga : Perubahan hanya dilakukan jika ada ”masalah” serius. Untuk menanggapi mitos ketiga ini, penulis mancoba mengambil contoh ringan, seseorang akan mengubah gayanya memang karena suatu alasan, misalnya jika seseorang berambut panjang, disuatu musim, yakni musim panas, ia akan memotong rambutnya karena gerah, atau mungkin ia akan mengubah gaya rambutnya karena ingin mengganti suasana aja, ini menandakan hal itu bukan hal yang serius, dalam suatu perusahaan, biasanya perubahan tidak banyak dilakukan, apalagi perubahan yang sifatnya radikal, perubahan dalam perusahaan terjadi begitu saja, kadang sampai para pemiliknya tidak sadar bahwa mereka sedang melakukan perubahan secara perlahan-lahan. Perubahan itu dilakukan bukan karena adanya ”masalah” yang serius, melainkan karena pemilik berusaha mempertahankan kelangsungan hidup perusahaannya denga perubahan-perubahan kecil namun sering dilakukan. Suatu perusahaan tidak akan melakukan perubahan pada saat ia akan mati, tapi untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sebuah organisasi harus melompat ke kurva kedua pada saat kondisi turn around, bukan pada saat terjadi manajemen krisis. Pepatah yang tepat disini adalah mencegah lebih baik daripada mengobati, sehingga sebelum suatu perusahaan bangkrut, ia harus segera sadar dan melakukan lompatan ke kurva kedua. Artis-artis sering melakukan hal ini, mereka selalu melakukan perawatan wajah sebelum wajah mereka rusak dan akhirnya tidak memiliki nilai jual lagi. Selebritis adalah orang yang menjual penampilan mereka, menurut penulis, mereka adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan lompat ke kurva kedua, seberapapun tenarnya seorang artis, akan mengeluarkan uang dalam jumlah yang banyak untuk kecantikan mereka, padahal mereka belum jelek ataupun tua, namun mereka selalu melakukan perawatan terhadap diri mereka, dari sini penulis menganggap bahwa artis melakukan lompatan ke kurva kedua pada saat turn around (perawatan diri) sebelum manajemen krisis terjadi( kerusakan atau penuaan), tak heran walau sudah tua artis-artis masih memiliki nilai jual yang cukup tinggi. · Mitos keempat : Saya diangkat untuk melanjutkan hal-hal yang dirintis oleh pendahulu saya. Banyak orang yang menganggap bahwa membuat perubahan itu sulit, dan akhirnya yang dilakukannya adalah mengikuti langkah pendahulunya, faktor ini mungkin juga disebabkan oleh orang-orang yang enggan mengubah budaya organisasi yang tercipta sejak pendahulunya masih ada, budaya toleransi misalnya, untuk mengubah hal ini sangat sulit, karena semua orang yang berada dalam organisasi itu telah memiliki pola pikir yang sama, yakni akan selalu ada toleransi, maka mereka tidak takut untuk melakukan kesalahan, karena berfikir akan ada toleransi dan kesempatan kedua, untuk seorang pemimpin, bila membiarkan hal ini, akan menimbulkan hal yang fatal, yakni menurunkan produktivitas dari perusahaan. · Mitos kelima : Perubahan berarti PHK. Perubahan akan selalu membawa dampak, dampak baik dan dampak buruk, ada beberapa orang yang meyakini perubahan berarti PHK, perubahan yang terjadi akan membutuhkan keahlian baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh perusahaan. Ini berarti akan terjadi pergantian keahlian dan akan terjadi seleksi alam, ontoh sederhanannya adalah dalam perusahaan rokok, sebelum adanya mesin, rokok diproduksi oleh orang-orang, mulai dari pengolahan tembakau sampai pelintingan rokok, namun dengan alasan efisiensi dan efektivitas, mesin masuk ke industri rokok dan mengerjakan segala yang tadinya dikerjakan oleh tangan-tangan manusia, dalam proses pelintingan misalnya, yang tadinya membutuhkan 300 tenaga kerja, karena adanya mesin hanya tinggal membutuhkan 2 orang yang menggerakkan mesin, bayangkan, dengan perubahan ini apa yang akan dilakukan oleh 228 orang lainnya? Tidak ada! Maka terjadilah PHK besar-besaran.
Kesembilan, perubahan menimbulkan ekspetasi, dan karenanya ekspetasi dapat menimbulkan getaran-getaran emosi dan harapan-harapan yang bisa menimbulkan kekecewaan-kekecewaan. Manajemen perubahan harus diimbangi oleh manajemen harapan. Dalam suatu organisasi keduanya penting. Disaat seorang pemimpin mampu melaksanakan manajemen perubahan dengan baik, namun tidak dapat mengimbanginya dengan manajemen harapan, maka perubahan itu akan tampak kurang memiliki jiwa, karena perubahan hanya sekedar perubahan, tidak ada yang berharap perubahan itu akan memberikan sesuatu yang baik. Penulis akan sedikit bercerita mengenai pengalaman penulis, penulis mencoba membuat suasana baru di HMPSM, penulis mengembangkan program kerja sama dengan universitas lain, mengenal budaya-budaya berbeda di tiap-tiap organisasi, penulis mengajak teman-teman di HMPSM untuk bekerja bersama penulis, karena kebetulan penulis pemimpin di sini, jadi lebih mudah bagi penulis untuk menata dan mengubah organisasi ini sesuai dengan yang penulis mau. Awalnya, teman-teman di HMPSM merasa takut, takut kalau budaya organisasinya berbeda dan akhirnya tidak bisa bekerja sama, namun penulis menanamkan satu hal pada partner kerja penulis, ” besok setelah kita lulus dari Atma, kita kerjanya ngga sama orang-orang Atma doang e, kita mungkin aja jadi partnernya orang UGM ato YKPN ato SADHAR...... kita latihan dari sini, aku ngga mau temen-temen masuk HM percuma, Cuma tau satu budaya, kita bisa kok ngimbangin mereka” ternyata tanpa penulis sadari kata-kata penulis merupakan awal dari keinginan teman-teman untuk menerima perubahan itu dan menjadi bagian dari perubahan tersebut, pengetahuan dan pengalaman serta janji akan perubahan itu kemudian membentuk ekspetasi bagi teman-teman HMPSM, ekspetasi itu kemudian membentuk hasrat harapan dan akhirnya membuat teman-teman HMPSM mau ambil bagian dalam proses perubahan itu.
Kesepuluh, perubahan selalu menakutkan dan menimbulkan kepanikan-kepanikan. Tidak bisa dipungkiri, perubahan selalu menakutkan dan menimbulkan kepanikan-kepanikan, bagaimana kalau perubahan itu gagal? Bagaimana kalau hasil yang didapat setelah perubahan tidak sebanding dengan pengorbanan pada saat proses perubahan itu berlangsung? Belum lagi jika kondisi organisasi sebelum perubahan adalah tidak bermasalah atau biasa saja, orang cenderung enggan untuk melakukan perubahan karena resiko yang ditanggung cukup tinggi.
Dari karakteristik di atas penulis ingin menarik beberapa hal, masyarakat yang maju dan saintifik adalah cita-cita semua negara. Masyarakat yang maju dan saintifik senantiasa bersedia menerima perubahan untuk menjadi lebih baik. Kemajuan berarti pula sebagai berubah dari keadaan awal kearah keadaan yang lebih baik. Inilah yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat altruistik. Agen perubahan utama ialah pendidikan. Pendidikan dan latihan merupakan bagian terpenting di dalam pembangunan sumber manusia ke arah perubahan yang positif. Masalah yang pasti akan menjadi kontroversi dalam setiap organisasi adalah perubahan. Perubahan adalah suatu kebutuhan dan mau ataupun tidak, setiap organisasi pasti akan menghadapinya.
Semua pihak yang akan membuat perubahan secara langsung akan berhadapan dengan banyak rintangan. Perubahan yang ingin dilakukan akan melibatkan berbagai implikasi positif dan implikasi negatif yang tidak dapat diramalkan. Selalu ada saja ketakutan dan penolakan dari berbagai pihak. Oleh karena itu para pemimpin perubahan perlu memahami setiap fungsi organisasi dan melihat bagaimana ia akan mengubah organisasi tersebut dan paham betul akan efek samping dari perubahan tersebut.
Lalu siapakah pemimpin kita saat ini? Apakah benar-benar seorang pemimpin perubahan ataukah hanya sekedar pemimpi perubahan? Sapakah anda? Apakah anda pemimpin perubahan? Atau hanya seorang pemimpi perubahan yang menganggap diri anda seorang pemimpin perubahan? Mari kita coba telusuri.
Perubahan sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak diikrarkannya sumpah pemuda pada 28 oktober 1928, sumpah pemuda merupakan salah satu hal yang menyatakan bahwa pemuda adalah pemimpin perubahan. Memang, kaum muda menjadi pelopor adanya persatuan Visi untuk membangun Indonesia, tercantum dalam isi sumpah pemuda, bersatunya pemuda dalam kepentingan yang sama yakni untuk mempersatukan Indonesia tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang kecil. Tidak ada yang mampu menghalangi perubahan yang dilakukan oleh kekuatan pemuda, contoh riilnya adalah pada saat penggulingan Soeharto, persatuan mahasiswa mampu menggulingkan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Namun untuk mencapai satu misi dan visi itu tidaklah mudah, harus terbebas dari kepentingan pribadi dan golongan, dan dalam perjuangan bersama harus lepas dari unsur-unsur primodialisme. Lalu apakah ini dapat dikatakan bahwa pemuda adalah pemimpin perubahan? Seperti yang penulis telah tuliskan diatas, tidak selamanya pemimpin perubahan adalah pemuda, menurut penulis pemimpin perubahan adalah mereka yang dapat melihat, bergerak dan menyelesaikan perubahan tersebut, dan itu tidak berarti kaum mudalah pemimpin perubahan.
Pemimpin perubahan adalah mereka yang memiliki motto ”to learn is to change, to change is to create” ( Handy C. 1989). Penulis setuju dengan kata-kata A.B Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Grou yang mengatakan bahwa “pemimpin perubahan ibarat nakhoda kapal yang sedang menempuh perjalanan di lautan luas, dengan berbagai tantangan dan cobaan”. Dalam perjalanannya, sang nahkoda tidak sendiri, ia memiliki kru-kru di dalam kapal tersebut, dan sang nahkoda selalu dihadapkan pada pilihan yang membutuhkan keputusan-keputusan strategis, baik itu dalam kondisi normal, kondisi kritis karena diserang badai, atau dalam kondisi stagnan. Dalam perjalanannya, sang nahkoda berada dalam posisi yang tidak pasti tetapi sebaliknya justru membutuhkan ketepatan dan "kepastian" dalam setiap keputusan atau setiap langkah agar kapalnya selamat dan dapat mencapai tempat tujuan. Sang nahkoda harus dapat membentuk rasa "kebersamaan" dan rasa memiliki terhadap kapal, maupun keterlibatan dalam untuk mencapai goals bagi orang-orang kru di kapalnya. Kebersamaan ini hanya dapat dimunculkan jika ia memiliki sikap sebagai pemimpin dan memahami betul eksistensinya bukan hanya sebagai pimpinan kapal tapi juga bagian dari anggota kapal tersebut. Seorang pemimpin perubahan akan memiliki kerendahan hati untuk menyatakan bahwa proses yang sedang dilaksanakan merupakan "milik bersama". Konsekuensinya, para pemimpin perubahan harus dapat menempatkan diri sebagai "pelayan perubahan", dan secara aktif menunjukkan partisipasi langsung dalam proses pelaksanaan perubahan yang dilakukannya serta membangun kepercayaan dari anggota yang dipimpinnya Seorang pemimpin perubahan harus memiliki kewaspadaan yang tinggi dan memiliki keberanian untuk mendobrak, dimana ia berani berdiri dibarisan paling depan pada saat peraturan yang ada telah dirasa tidak sesuai untuk dijalankan lagi.
Banyak cerita mengenai pemimpin besar, Mahatma Gandhi menjadi pemimpin besar India walau beliau tidak pernah menduduki jabatan apa pun di jajaran pemerintahan. Beliau merumuskan nilai-nilai sosial bangsa India sambil menyelaraskan penampilan dengan filosofi ajaran-ajaran itu. Pakaian beliau hanya dua helai, dan kaki beliau menggunakan sendal jepit. Hitler tokoh berdarah dingin dari Jerman, Hitler sadar Jerman membutuhkan kebanggaan setelah martabatnya direndahkan bangsa Romawi. Lalu keluarlah doktrin totalitasnya: "disiplin, pantang menyerah, dan berani berkorban" yang menjadi kunci sukses bangsa Jerman. Churchill dari Inggris, menggelorakan sikap optimistis bagi bangsa Inggris. Tantangan adalah kesempatan, bukan hambatan. Nasib Inggris ada di tangan orang Inggris. Dia tunjukkan komitmennya dengan tidak menggunakan barang-barang buatan luar negeri. Semuanya harus made in England.
Napoleon Bonaparte yang menjadi pemimpin besar bangsa Prancis. Bukan hanya karena idenya tentang prinsip demokrasi. Dia memimpin langsung pasukan ketika menyerang bangsa-bangsa Eropa lain. Lewat penaklukan itu dia menebarkan ajaran-ajarannya.
Indonesia juga telah melahirkan banyak pemimpin besar. Soekarno yang akrab dipanggil Bung Karno hadir dengan ajaran populis, kekeluargaan, karena itulah kenyataan hidup bangsanya. Beliau mengenakan peci hitam yang banyak digunakan orang Indonesia. Di atas meja makannya ada lukisan pengemis, agar beliau ingat pada rakyat saat menyantap sayur lodeh, tahu, dan tempe yang telah menjadi makanan kesukaannya
Saat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, H. Agus Salim memakai sarung, peci hitam, dan merokok kretek. Saat diprotes karena bau menyengat dari rokoknya, dia berujar, "Tuan-Tuan, benda inilah yang membuat Tuan-Tuan datang dan menjajah negeri kami."
Bung Hatta yang hadir dengan kesederhanaan tak tertandingi. Saat gajinya sebagai Wapres akan dinaikkan, dia menolak. Katanya, "Keuangan negara tidak cukup kuat, sementara banyak rakyat melarat yang memerlukan uang itu”. Inilah yang membuat mereka menjadi besar, mereka mampu membawa perubahan, mereka mampu mengendalikan diri untuk tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi mereka saja, namun kepentingan orang banyak.
Ironis jika saat ini, kita membaca kisah para pemimpin besar itu. Nilai kebersamaan, kejujuran, dan kesederhanaan yang mematangkan mereka sebagai pemimpin besar, seolah sirna. Padahal, situasi yang berkembang saat ini sangat memungkinkan lahirnya pemimpin besar namun sayang itu tidak dapat terjadi karena pola pikirpun berubah bersamaan dengan jaman yang semakin berubah.
Para pemimpin saat ini justru menganut nilai kebalikannya. Mereka adalah pemimpi perubahan yang semakin melebarkan jarak antara kaya dan miskin, penuh tipu-daya, dan hidup dibalut kemewahan yang sangat ditonjolkan. Mereka seolah hidup di alam berbeda dari rakyat yang dipimpinnya. Alhasil mereka hanya mampu jadi pemimpi, yakni pemimpin yang bermimpi tentang kebersamaan, tapi terus saja menebalkan garis pembatas antara "siapa kamu dan siapa saya". Menyeleksi siapa yang layak berbicara atau didengar pendapatnya, jika itu menguntungkan bagi mereka akan diterima tapi bila merugikan akan ditolak
Jarak antara kaya dan miskin dilebarkan kembali melalui kebijakan monopoli ala Soeharto. Ironisnya kebijakan itu diramu dengan janji yang membuat rakyat ikut bermimpi. Misalnya janji bantuan untuk korban bencana alam di Jogja, Rp 30 juta untuk rumah rusak berat dan Rp 10 juta rusak ringan, namun apa hasilnya?? tidak terealisasi. Jangankan jumlah jutaan rupiah, yang jumlahnya ribuan rupiah— uang jatah hidup— saja realisasinya tidak becus. Untuk alasan uang administrasi terjadi pemotongan-pemotongan uang rakyat. Hal ini betul terjadi, penulis pernah mendengar tentang alasan administrasi dan tetek bengeknya, misalnya dari pusat diturukan Rp 300 juta, di daerah dipotong 30 juta untuk alasan pembayaran administrasi dan dikecamatan dipotong lagi, di kelurahan masih dipotong lagi, hingga pada saat sampai ketangan rakyat hanya tinggal sisa-sisanya saja, penulis seperti melihat proses penyaringan air kotor menjadi air bersih, pada saat di masukkan air memiliki banyak kotoran, lalu melewati batu-batu besar, kotoran mulai tersaring, melewati kerikil kecil, kotoran tersaring lagi, pada saat melewati pasir, kotoran lebih tersaring lagi dan akhirnya yang keluar di akhir adalah air bersih, mari ibaratkan kotoran itu sebagai uang rakyat dari atas, hingga pada saat sampai kebawah, tidak ada kotoran yang tersisa.
Akankah anda-anda menjadi pemimpin yang seperti ini?? Pemimpin yang tidak mau berkorban, pemimpin yang ingin berubah, namun akhirnya tak mampu mengendalikan perubahan itu, Jika anda memilih menjadi pemimpin yang seperti ini, anda memilih untuk menjadi pemimpi perubahan, anda hanya menjadi orang yang mampu melihat perubahan namun tidak mau bergerak atau menyelesaikannya saja.......
Jika anda menjadi seorang pemimpi perubahan, jangan pernah berharap anda adalah orang yang dapat membuat perubahan. Karena seorang pemimpi tidak memiliki visi maupun misi yang jelas. Disini penulis ingin memperlihatkan pada pembaca, perbedaan antara pemimpin perubahan dan pemimpi perubahan.
Pemimpin perubahan|Pemimpi perubahan|
Beranggapan pemimpin bukan hanya bos, tapi juga bagian dari tim.|Beranggapan bahwa pemimpin adalah bos, yang kerjanya hanya menyuruh-nyuruh anak buahnya.|
Memiliki Visi dan misi yang jelas.|Tidak memiliki Visi dan misi yang jelas|
Berani membuat dobrakan baru, tidak hanya mengikuti pendahulunya.|Tidak berfikir untuk mengubah organisasinya.|
Memiliki pandangan ke masa depan, hingga ia sadar untuk terus melakukan perubahan.|Memiliki orientasi dimasa lalu, hingga tidak mau berubah, hanya berharap seseorang datang dan mengubah segalanya.|
Mementingkan kepentingan orang banyak.|Mementingkan kepentingan diri sendiri.|
Kreatif, antusias dan optimis.|Stagnan, dan selalu bersikap pesimis.|
Punya pendirian.|Mudah terbawa arus.|
Mau menerima kritikan|Tidak mau menerima kritikan, merasa ialah yang paling benar.|

Jika setelah melihat ciri-ciri anda adalah seorang pemimpi, cobalah bangun, anda membutuhkan manajemen perubahan sebagai peta jalan anda. Tapi jika anda telah memiliki ciri-ciri dari pemimpin perubahan, ingat, perubahan harus terus dilakukan, karena perubahan itu tidak stagnan, disaat anda berhenti melakukan perubahan, anda akan menjadi pemimpi perubahan.
Dalam paper ini, penulis juga akan melampirkan sebuah cerita dari Leo Juliawan yang bersikap jujur untuk berhenti menulis pada saat ia tidakbisa merealisasi apa yang ditulisnya, mudah-mudahan ini dapat menjadi motivasi bagi pembaca untuk bersikap jujur.

Motivasi kata-kata
Jaman dahulu kala… ciiee… maksudnya… beberapa tahun yang lampau, di tahun 90-an Om mulai berkenalan cukup intens dengan sesuatu yang bernama motivasi. Bermula dari program-program training yang diberikan perusahaan buat Om, seperti Achivement Motivation Training, Basic Leadership, sampai Om sendiri berkesempatan jadi seorang pembicara di beberapa training, kemudian entah bagaimana ceritanya, Om menjadi seorang penulis motivasi.
Sebagai seorang trainee, Om pernah mencicipi beberapa macam training. Mulai dari pelatihan di dalam kelas, mengerjakan beberapa quiz dan permainan. Lalu training outbond, menyusuri sungai, hutan, naik turun tebing, berkemah ala anak Pramuka, juga main tembak-tembakan pakai peluru cat yang sekarang ngetop dengan nama war game. Om juga pernah ikutan training ala militer ringan yang dibentak-bentak, dipendeliki sampai belajar baris-berbaris. Om juga pernah mendapat training meditatif yang hening dan syahdu oleh seorang trainer yang lembut, sampai training tari poco-poco nan meriah oleh pelatih yang duh sexy banggeet. Bagaimana pun Om mendapat banyak manfaat dari beragam training tadi.
Sangking seringnya di training (ini pertanda bahwa mental Om sebagai karyawan kurang afdhal, makanya perlu digembleng terus-menerus) muncul ketertarikan Om pada dunia motivasi. Om pikir setiap karyawan perlu diberi pelajaran motivasi agar mereka mempunyai pola pikir yang positif, optimis, proaktif dan menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas nama dirinya sendiri. Lantas sedikit demi sedikit Om belajar untuk menjadi seorang trainer. Awalnya Om mulai belajar pidato di depan staf perusahaan tempat Om bekerja, lalu memberikan training kepada khalayak yang lebih luas. Berapa tarif sekali ngoceh? Lumayan, bisa buat nambah dua lembar kemeja keren. Om menemukan kenikmatan dalam berpidato dan ngoceh atas nama memberikan motivasi. Om pikir, Om bisa juga membangkitkan motivasi orang lain.
Karena menulis adalah sesuatu yang Om sukai sejak kecil, maka Om mulai belajar menuangkan materi-materi motivasi dalam bentuk tulisan. Dengan bantuan internet dan email, Om sebarkan tulisan-tulisan motivasi kepada beberapa rekan. Lalu Om membuat mailing list dan electronic newsletter. E-newsletter itu memuat satu dua paragraf tulisan motivasi ala Om, dan beberapa artikel menarik yang Om anggap cocok dibaca oleh para karyawan kantoran. Dalam beberapa bulan Om sadari ternyata peminat milis dan e-newsletter ini cukup banyak. Ada lebih dari delapan ribu pelanggan milis. Om tambah semangat menulis artikel motivasi.
Tiba-tiba menulis secarik motivasi menjadi hal yang tidak lagi rumit buat Om. Kalau Om bicara begini bukan berarti Om mau nyombong. Enggak lho. Ini khan wajar saja. Maksud Om, kalau Om setiap hari menulis satu secarik motivasi, maka lama-kelamaan ketrampilan Om dalam menulis semakin terasah.
Om bisa menulis secarik motivasi berdasarkan dari kalimat bijak, peribahasa, ajaran agama, petuah cerdik pandai dan lain-lain. Di rumah Om punya setumpuk buku kebajikan, kumpulan pepatah, kumpulan quotation terkenal, cerita-cerita sufi, zen sampai ala Anthony De Mello. Om cukup ambil satu idea lalu Om kemas dalam sebuah tulisan yang cantik, motivatif dan menggugah pembaca. Cukup mudah.
Proses mengemas idea motivasi dan menuliskannya menjadi secarik motivasi cukup menarik. Ada sebuah idea yang begitu mudah dituliskan. Ada yang cukup sulit karena harus melalui proses perenungan. Karena sering merenung, Om mulai belajar membaca diri sendiri. Ditambah Om mulai berkenalan dengan Mbah Ud, pensiunan pegawai negeri yang kini aktif mengajar meditasi. Melalui Mbah Ud, Om belajar mengenali proses pergerakan perasaan, emosi, dan pikiran diri sendiri. Mbah Ud bilang bahwa itulah proses meditasi. Sedangkan Om hanya menganggap ini proses untuk mencari idea menulis secarik motivasi. Mengawasi gerak emosi, perasaan, motif, dan pikiran diri sendiri adalah hal yang sangat menarik. Dari kegiatan seperti ini Om banyak mendapat idea untuk dituliskan menjadi secarik motivasi. Namun lama-kelamaan, dari kegiatan seperti inilah Om berhenti menulis secarik motivasi. Lho kok?
Ya, di pertengahan tahun 2001-an Om mulai seret dalam menulis motivasi. Hingga kemudian berhenti total. Newsletter yang berisikan secarik motivasi tidak lagi terbit seperti sedia kala. Stop total! Meski kadang kala Om melihat tulisan Om masih diforward kesana-kemari tanpa nama penulis (karena nama penulisnya rahasiaaaa). Bahkan Om sering menerima kiriman tulisan Om sendiri dari orang lain. Namun Om putuskan, Om berhenti. Beberapa rekan menanyakan hal ini: mengapa Om berhenti menulis secarik motivasi?
Perkenankan hari ini Om menjawab bahwa Om menemukan Om banyak melakukan kepalsuan saat menulis artikel-artikel motivasi. Memang tidak semuanya palsu, juga tidak semuanya hasil mencontek, masih ada beberapa yang “asli” dan “otentik”. Yang Om maksud “palsu” adalah tidak ada integritas; yaitu kesatuan antara tulisan dan tindakan Om sehari-hari.
Misal: bagaimana mungkin Om bisa menulis seruan motivatif agar setiap dari kita mempunyai sebuah tujuan hidup, sedangkan hidup Om sendiri mengalir tanpa tujuan pasti? Misal lain, bagaimana mungkin Om bisa menulis kata-kata indah agar kita menjadi bahagia, seolah-olah Om sudah mencapai kebahagiaan sepenuhnya, padahal hidup Om sendiri masih penuh dengan polemik dan konflik? Bukankah ini ada kesenjangan antara kata-kata yang tertuang dalam tulisan Om dengan apa yang Om lakukan. Selama masih ada kesenjangan antara kata-kata yang ditulis oleh seorang motivator dengan perilakunya sendiri, selama itu pula ada ketidakintegeritasan, dan anggap saja itu adalah sebuah kepalsuan. Dengan kesadaran ini, Om berhenti menulis motivasi.
Menurut Om, tugas terutama seorang motivator bukanlah membangkitkan ketertarikan dan motivasi pemirsanya melalui tutur kata dan kalimat yang menggugah, atau gerak-gerik di depan ruang seminar. Kalau hanya itu yang dilakukan oleh seorang motivator, maka tak ubahnya ia menjual sensasi, meski harus diakui motivasi sebagian besar orang tumbuh melalui sensasi.
Tugas motivasi tertinggi dari seorang motivator adalah membimbing agar pemirsanya mampu menemukan motivasi itu dari dalam diri mereka sendiri, bukan melalui kata-kata indah, buku-buku cantik, gerak-gerik memikat, atau lagu-lagu nan mendayu. Tugas memotivasi dari seorang motivator usai saat ia mampu membuat orang yang dibimbingnya tidak lagi tertarik mendengar kata-katanya, buku-bukunya, gerak-geriknya, melainkan lebih tertarik untuk mendengar dan membaca dirinya sendiri. Tugas memotivasi dari seorang motivator usai saat pemirsanya menutup buku karya sang motivator, melepaskan diri dari keterikatan kata-kata sang motivator dan mulai melakukan perjalanan ke dalam diri mereka sendiri. Tentu saja, hanya seorang motivator yang otentik, yang integritas, yang antara ide, kata dan tindakannya satu, yang asli sajalah yang mampu melakukan hal ini. Karenanya ia Om sebut sebagai guru, bukan sekedar trainer apalagi pedagang sensasi melalui kata-kata.
***
Yah, itu tadi adalah obrolan panjang yang disampaikan oleh seorang penulis secarik motivasi kepada Om. Kalau Om tuliskan di sini, itu bukan berarti Om mau melecehkan profesi motivator. Om hanya tertarik dengan pendapat si penulis secarik motivasi tentang tujuan motivasi adalah membuat orang lain menemukan motivasi itu dari dirinya sendiri, bukan dari kata-kata orang lain. Kalau ada rekan yang berprofesi sebagai motivator kebetulan membaca freak blog ini, Om mohon maaf. Silakan memberikan pendapat jika tidak setuju dengan pendapat teman Om si penulis secarik motivasi.
Kalau buat Om sendiri, hmm… rasanya Om masih perlu diberi training motivasi, apalagi kalau ada acara outbondnya… lumayan buat refreshing.
Om Ale
03 Juli 2007

Similar Documents