Free Essay

Pkn Makalah

In: Computers and Technology

Submitted By cindyevelin
Words 4329
Pages 18
Makalah
Otonomi Daerah

Anggota :
1. Steven
2. Raden Roro Melissa Asri
3. Nadira Harahap
4. Cindi Evelin wijayanti
5. Felicia

Dosen :
Pak Rolib Sitorus,S.H,M.H

Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Pelita Harapan Medan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami berharap makalah kami tentang otonomi daerah, suatu topik yang sering menimbulkan kebingungan dalam kalangan masyarakat, Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai otonomi daerah yang sangat perlu dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, Februari 2016 Penyusun

DAFTAR ISI

Bab I : PENDAHULUAN
1.1 latar belakang………………………………………………………………..1 1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………...1

Bab II : ISI 2.1 Pengertian Otonomi Daerah…………………………………………………..2 2.2 Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia………………………………………3 2.3 Pembagian Daerah…………………………………………………………….4 2.4 Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah……………………………………4 2.5 Kekuasaan Pemerintahan Daerah……………………………………………4 2.6 Hubungan Legislatif dan Eksekutif di Daerah………………………………5 2.7 Visi Otonomi Daerah…………………………………………………………..8 2.8 Konsep Otonomi Daerah………………………………………………………8 2.9 Misi Otonomi Daerah…………………………………………………………..9 2.10 Prinsip-prinsip Otonomi Daerah…………………………………………….9 2.11 Asas-asas Otonomi Daerah…………………………………………………..10 2.12 Dasar Hukum Otonomi Daerah……………………………………………..11 2.13 Permasalahan otonomi daerah………………………………………………12 2.14 Upaya Pemerintah dalam Memajukan Otonomi Daerah………………….15
Bab III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………..17 3.2 Saran…………………………………………………………………………..17
Daftar Pustaka

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otonomi daerah di Indonesia lahir di tengah gejolak sosial yang sangat massif pada tahun1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia disekitar tahun 1997. Gejolak sosial yang melanda Negara Indonesia di sekitar tahun 1997kemudian melahirkan gejolak politik yang puncaknya ditandai dengan berakhirnya pemerintahan orde baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun di Indonesia

.Setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, mencuat sejumlah permasalahanterkait dengan sistem ketatanegaraan dan tuntutan daerah-daerah yang selama ini telahmemberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang dimilikinya. Wacana otonomidaerah kemudian bergulir sebagai konsepsi alternatif untuk menjawab permasalahan sosialdan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap telah usang dan perlu diganti. Inilah yangmenjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia.Di balik itu semua ternyata ada banyak faktor yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia. Latar belakang otonomi daerah tersebut dapat dilihat secara internal daneksternal.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dan Sejarah Otonomi Daerah 2. Jelaskan struktur dan hal yang mendasari terbentuknya otonomi daerah? 3. Apa saja permasalahan yang dihadapi dalm otonomi daerah?

1
1

Bab II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani ‘autos’ yang berarti ‘sendiri’ dan ‘nomos’ yang berarti aturan. Berdasarkan asal-usul istilah tersebut, para ahli memberikan pengertian otonomi sebagai ‘pengundangan sendiri’, ‘mengatur’ atau ‘memerintah sendiri’. Kata otonomi dapat diartikan sebagai ‘kemerdekaan’ dan ‘kebebasan menyelenggarakan pemerintahan’.Sesuai pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik. Negara kesatuan adalah suatu negara dimana hanya ada satu negara dan satu pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.

Negara kita adalah negara kesatuan yang menggunakan prinsip desentralisasi pemerintahan.
Otonomi daerah merupakan wujud dari penerapan prinsip desentralisasi. Pasal 1 Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah maka mengubah tatanan ketatanegaraan yang bersifat sentralistik, otoriter menjadi desentralisasi dan demokratis.
Otonomi daerah yang mandiri dan demokratis diharapkan dapat mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat berlangsung dengan lebih baik.

2
2

2.2 Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Awal terbentuknya otonomi daerah tidak terbentuk begitu saja. Sebelumnya Indonesia merupakan Negara Kesatuan. Lalu, pada tahun 1950-an Indonesia dibentuk dengan sistem RIS (Republik Indonesia Serikat) tetapi ternyata sitem RIS tidak sesuai dengan Indonesia karena yang timbul bukanlah persatuan tetapi justru perpecahan. Setelah menganut sistem RIS, Indonesia kembali ke awal yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia atau biasa disebut dengan NKRI.

Seiring dengan berjalannya waktu, muncul suatu gerakan pada tahun 1998. Gerakan tersebut dikenal dengan Gerakan Reformasi. Gerakan Reformasi ternyata tidak hanya menimbulkan KKN, tetapi juga menimbulkan tuntutan-tuntutan diberbagai daerah agar setiap daerah diberikan kewenangan masing-masing.

Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreatifitas daerah. Kebijakan ini telah mematikan kemampuan perkasa dan daya kreatifitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Akibatnya adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa hanya ada satu jawaban untuk mengatasi persoalan sentralisasi ini, yaitu otonomi daerah.

Pada awal era reformasi, tuntutan otonomi daerah sudah pada puncaknya. Karena setiap daerah beranggapan bahwa otonomi daerah dapat melahirkan semangat kemandirian diri. Selain itu, setiap daerah juga merasa tidak puas dan tidak adanya keadilan dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya. Sebagian daerah merasa ditipu oleh pemerintah pusat yang tidak juga memberdayakan daerah.

Pada masa pemerintahan BJ Habibie, BJ Habibie mengakomodasikan kepentingan daerah dan tuntutan otonomi daerah dengan dibentuknya Tim Tujuh untuk merumuskan konsep otonomi daerah.

Pada tanggal 15 Oktober 2004 setelah Tim Tujuh selesai merumuskan konsep otonomi daerah, Presiden Megawati Soekarno Putri mengesahkan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dengan adanya undang-undang tentang pemerintahan daerah dan kewenangan dipemerintahan daerah diharapkan dapat membuat proses pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan yang signifikan.

3
3

2.3 Pembagian Daerah
UU No. 18 Tahun 1965 Pasal 2 Ayat 1, menetapkan bahwa seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbagi habis dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam 3 tingkatan, yaitu: * Propinsi dan/atau kotaraya sebagai derah tingkat I * Kabupaten dan/atau kotamadya sebagai daerah tingkat II * Kecamatan dan/atau kotapraya sebagai daerah tingkat III

2.4 Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah merupakan cerminan dari konfigurasi politik nasional dan lokal yang berkembang pada masa itu. Di dalam undang-undang kita dapat melihat bahwa keinginan untuk melibatkan semua komponen di dalam masyarakat dengan semangat “Gotong Royong” mendapat perhatian yang cukup penting. Hal ini dapat dilihat dan bentuk dan susunan pemerintah daerah di dalam UU No. 18 Tahun 1965 yang diatur sebagai berikut: * Pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. (Pasal 5 Ayat 1) * Kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintahan Harian. (Pasal 6) * DPRD memiliki pimpinan yang terdiri dari seorang ketua dan beberapa orang wakil ketua yang jumlahnya menjamin poros Naskom. (Pasal 7) * Penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas pemerintahan daerah dilakukan oleh sekretariat daerah yang dikepalai oleh sekertaris daerah.

2.5 Kekuasaan Pemerintahan Daerah
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, hal yang menonjol dari undang-undang ini adalah kehendak untuk menjaga hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan daerah yang menjadikan negara kesatuan sebagai salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam pemerintahan daerah. * Pasal 39 UU No. 18 Tahun 1965 menetapkan bahwa pemerintah daerah berhak dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. * 4
4
Penyerahan urusan kepada daerah diatur dalam pasal 40, yaitu urusan-urusan pemerintah pusat yang menurut pertimbangannya dapat dipisahkan dari tangan pemerintah pusat dengan peraturan pemerintah dapat diserahkan menjadi urusan rumah tangga suatu daerah.

Untuk memelihara hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dengan daerah dalam undang-undang ini juga ditentukan beberapa pasal (Pasal 50,78, dan 80) yang memberikan batasan-batasan untuk suatu peraturan daerah, yaitu: * Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan kepentingan umum. * Perda tidak boleh mengandung ketentuan yang mengatur tentang soal-soal pokok yang telah diatur dalam perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. * Perda tidak boleh mengatur hal-hal yang termasuk dalam urusan rumah tangga daerah tingkat bawahan dan wilayahnya. * Ketentuan dalam suatu perda dengan sendirinya tidak berlaku, bilamana hal-hal yang diatur dalam perda itu kemudia diatur oleh peraturan perundangan tingkat atasnya. * Perda mengenai pokok-pokok tertentu, dengan PP atau UU dapat ditetapkan. Tidak berlaku sebelum disahkan lebih dahulu oleh instansi atasan (pengawasan preventif). * Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum, UU, PP atau perda yang lebih tinggi tingkatannya ditunda berlakunya atau dibatalkan oleh instansi atasan (pengawasan preventif).

2.6 Hubungan Legislatif dan Eksekutif di Daerah Sejak diberlakukannya UU mengenai otonomi daerah yang baru, lembaga legislatif memiliki kekuasaan serta hak yang lebih luas dibandingkan pada masa orde baru sehingga lembaga legislative sekarang memiliki posisi yang sama dengan lembaga eksekutif. Hal tersebut dibuktikan melalui Undang-Undang Otonomi Daerah No 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa”Di daerah dibentuk DPRD sebagai badanlegislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.” Hal tersebut terbukti melaui pasal 16 ayat2 yang menyatakan bahwa”DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah.”. Selain itu, tertulis secara jelas di dalam UU no 22 tahun 1999 mengenai tugas dan wewenang dari DPRD, yakni * Bersama Gubernur, Bupati atau walikota dalam membentuk peraturan daerah. * Melaksanakan pengawasan terhadap:
1. Pelakasanaan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya
2. Pelaksanaan kerjas sama Internasional
3. Pelaksanaan keputusan gubernur, bupati dan walikota. * Bersama Gubernur, Bupati atau walikota dalam menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. * Menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan masayrakat.
5
5

Walaupun menurut UU no 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa terdapat kesetaraan antara badan legislative dan eksekutif, namun pada hakikatnya kedua lembaga ini memiliki tanggung jawab yang berbeda. Berikut merupakan beberapa perbedaan tanggung jawab antara kedua lembaga tersebut. * Lembaga legislating hanya bertugas untuk membuat suatu kebijaksanaan public namun tidak mengimplementasikan kebijaksanaan tersebut sedangkan lembaga eksekutif tidak hanya bertugas untuk membuat tetapi juga bertugas untuk sekaligus mengimplementasikan kebijaksanaan tersebut. * Tugas dari lembaga mempunyai tanggung jawab dalam bidang politik, sosial , ekonomi, dan keuangan. Dalam bidang social, lembaga eksekutif berkewajiban untuk memikirkan bagaimana mengembangkan daerahnya masing masing menuju arah perkembangan yang lebih baik dengan memanfaatkan seperangkat kebijakan dimana DPRD hanya bertugas untuk menyediakan legislasi yang kondusif. * DPRD bertugas untuk menyediakan suatu situasi politik kondusif bagi daerah sedangkan lembaga eksekutif bertugas untuk memikirkan bagaimana memobilisasi sumber daya yang ada didaerah. Selain memiliki kesetaraan wewenang, dalam UU otonomi daerah yang baru memiliki berbagai hal yang menonjol menyangkut kedudukan dan kewenangan badan lesgislatif. menurut (Syaukani 194:2005) terdapat 5 ciri pembaharuan dalam UU Otonomi daerah. Ciri dari pemnahuruan yang pertama adalah menurut UU no 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah pasal 17 ayat 3, Fraksi bukan lagi merupakan alat kelengkapan lembaga legislative sehingga yang termasuk kedalam alat kelengkapan adalah Pimpinan, komisi, dan panitia. Hal tersebut berpengaruh pada biaya dan anggaran yang dialokasikan untuk fraksi berkurang . Ciri yang kedua adalah Contempt of Parliament suatu jenis hukuman yang dikenakan apabila seseorang menolak untuk memberikan keterangan kepada DPRD. DPRD memiliki hak untuk memaksa seorang pejabat negara atau bahkan warga negara untuk memberikan keterangan di hadapan DPRD apabila DPRD merasa perlu mendapat informasi dari pihak yang bersangkutan. Hal tersebut tertulis dalam undang Undang no 22 tahun 1999 yakni 1.DPRD dala menjalankan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintahan maupun warga negara untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negera, bangsa, pemerintahan, dan pembanguna. Selain itu pada pasal 2 terdapat pula sanksi bagi mereka yang menolak untuk memberikan keterangan terkait dengan ayat 1.
6
6

Ciri yang ketiga adalah DPRD memiliki kewenangan untuk menolak pertanggungajawaban daripada badan eksekutif. Hal ini dapat menjelaskan bahwa kewenangan legislatif lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya. Pertanggungjawaban yang dimaksudkan adalah pertanggungjawaban atas permintaan DPRD yang menyangkut hal tertentu yang dilaporkan setiap tahunnya.

7
7

2.7 Visi Otonomi Daerah
Visi otonomi daerah itu dapat diruuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya, yang utama: politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. * Dibidang Politik
Otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Adapun demokratis pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan, artinya untuk setiap kebijakan yang diambil harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu, apa tujuannya, berapa biaya yang harus ditanggung, siapa yang diuntungkan, apa resikonya, siapa yang harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan suatu daerah. * Dibidang Ekonomi
Otonomi daerah di suatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Sehingga dengan seperti itu otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. * Dibidang Sosial dan Budaya
Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang bersamaan memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.

2.8 Konsep Otonomi Daerah
Berdasarkan dari visi-visinya, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, merangkum hal berikut ini: * Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah, kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang yang lain dapat disentralisasikan. * Pungutan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atal kegagalan kepala daerah harus dipertegas. * 8
8
Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur setempat demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptbilitas yang tinggi pula. * Peningkatan fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah disentralisasikan setara dengan beban tugas yang dipikul. * Penigkatan efisiensi administrasi keuagan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapata negara dan daerah. * Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat block grant, pengaturan pembagian sumber dan pendapatan daerah. * Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap upaya memelihara harmoni sosial suatu bangsa.

2.9 Misi Otonomi Daerah * Mengupayakan terselenggaranya tata-kelola pemerintahan daerah sesuai prinsip otonomi daerah secara baik dan benar, demokratis, profesional dan akuntabel. * Memberdayakan kelompok sosial/masyarakat yang tertinggal di daerah otonom. * Memajukan daerah otonom melalui aktivitas pebangunan yang berwawasanlingkungan dan berbasis potensi/keunggulan lokal dengan melibatkan partisipasi pada pemangku kepentingan.

2.10 Prinsip-prinsip Otonomi Daerah
Prinsip otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999, yaitu: * Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.Otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. * Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. * Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas. * Pelaksanaan otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antardaerah. * Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom. * 9
9
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaaraan Pemerintahan Daerah. * Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. * Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

2.11 Asas-asas Otonomi Daerah * Asas Desentralisasi
Desentralisasi adalah pemberian wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus urusan daerahnya sendiri. * Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada alat-alat kelengkapan pemerintah pusat yang berada di daerah untuk menyelenggarakan urusan tertentu. * Asas Tugas Pembantuan
Tugas Pembantuan adalah penugasan pusat atau pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Sebagai negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Penerapan otonomi daerah bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masya-rakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

10
10

2.12 Dasar Hukum Otonomi Daerah * Undang-undang dasar tahun 1945. * Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998
Mengenai penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, serta pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan dan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. * Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000
Mengenai rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. * Undang-undang No. 31 Tahun 2004
Mengenai pemerintahan daerah * Undang-undang No. 33 Tahun 2004
Mengenai pembangunan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

11
11

2.13 Permasalahan otonomi daerah
Ada beberapa permasalahan yang timbul di dalam otonomi daerah yaitu
1. Fungsi Legislatif Seperti yang diketahui, fungsi dari badan legislatif di semua negara adalah representasi, legislasi dan pengawasan. Fungsi dari badan legislatif ini juga tercantum dalam UU Nomor 22 tahu 1999 yakni DPRD memiliki fungsi spesifik, yaitu: pengawasan, legislasi dan budgeting. Hal yang menjadi permasalahan adalah bahwa badan legislatif yang selama ini berfungsi sebagai badan perwakilan rakyat mengalami pergeseran fungsi. Dalam hal ini, Karim(2003:154) mengatakan, “Penyebutan anggota DPRD dengan istilah ‘elit politik lokal’ dan bukan ‘pemimpin poltik lokal’, menegaskan adanya jarak antara DPRD dan rakyatnya. ”. Hal ini menyebabkan perubahan pandangan dalam masyarakat bahwa badan legislatif bukan merupakan bagian integral dari masyarakat.
Selain itu, fungsi dominan yang dijalankan oleh badan legislatif hanya mencakup fungsi pengawasan. Kedua fungsi lainnya yakni budgeting dan representasi didominasi oleh badan eksekutif. Hal ini dikarenakan peraturan daerah yang seyogyanya berasal dari badan legislatif selalu mendapat inisiatif dari lembaga eksekutif sehingga badan legislatif hanya berfungsi untuk mengesahkan peraturan yang diajukan badan eksekutif. Hal yang sama juga terjadi pada fungsi budgeting dimana inisiatif dalam hal budgeting kebanyakan berasal dari inisiatif kepala daerah.
2.Pemilihan Kepala Daerah Upaya untuk mencapai pemilihan kepala daerah melalui prosedur pilkada DPRD pada prakteknya sering menimbulkan beberapa indikasi kecurangan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal dimana salah satunya adalah lemahnya peraturan yang mengatur tentang pilkada. Salah satu masalah yang sering terjadi mengenai pilkada adalah politik uang. Berkaitan dengan kecurangan yang terjadi selama berlangsungnya pilkad diatur dalam pasal 28 PP nomor 151 tahun 2000 yang menyebutkan bahwa” Pengaduan masyarakat terbukti apabila panitia pemilihan menerima pengakuan tertulis perihal tertulis tersebut dari anggota DPRD. Pengakuan tersebut dinyatakan sah apabila ditulis pada lembar bersegel atau kertas bermaterai cukup. Ketentuan tersebut sulit untuk dipatuhi dikarenakan adanya hal lain dikarenakan anggota yang bersangkutan yakni anggota DPRD harus menanggung kemungkinan terburuk yakni diberhentikan yang tercantum dalam pasal 32.
3.Lemahnya Pegawasan
Lemahnya fungsi pengawasan melalui Penentuan Standar Mutu/ Pedoman Standar Pelayanan Mutu (PSPM) yang dilakukan oleh pemerintah pusat berdampak pada diversifikasi standar dalam berbagai aspek didaerah. Salah satu hal yang dapat diamati secara langsung akibat lemahnya fungsi pengawasan dapat dilihat secara langsung dalam bidang pendidikan dimana standar pendidikan yang terdapat di berbagai provinsi di Indonesia tidak memiliki suatu standar yang jelas.
12
12 Hal yang meyebabkan lemahnya pengawasan di daerah disebabkan oleh adanya kelemahan peraturan dalam UU. Karim(2003:97) menyebutkan “ Pegawasan oleh propinsi terhadap kabupaten/kota juga sangat lemah karena menurut UU Nomor 22 tahun 1999 bahwa gubernur bukan lagi atasan Bupati/ walikota. “ .
Otonomi daerah terlaksana dengan baik bukan hanya dengan tersediannya undang-undang dan peraturan, tetapi sangat tergantung pada sumber daya manusia yang melaksanakannya berupa pemahamannya, kemauannya dan kemampuannya.

4.Hubungan kekuasan dan pembagian kewenangan Salah satu contoh dari masalah otonomi daerah yang sering menyebabkan masalah adalah UU Nomor 22 tahun 1999 tepatnya pada pasal 11 ayat 2 yang membagikan 11 kewenangan wajib kabupaten dan kota. Namun dengan adanya keppres tahun 2001 pada bulan januari bahwa segala pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan masih diatur oleh pemerintah pusat melalui BPN. Dengan demikian, pelayanan public menjadi terganggu dan seringkali menimbulkan ambiguitas bagi masyarakay mengenai siapa yang mempunyai kewenangan terhadap hal tertentu.

5.Kerjasama dan Perselisihan Antar Daerah Di era otnomi daerah, terjadi banyak perselisihan daripada kerjasama antar daerah, Hal ini dikarenakan pemerintah mengijinkan pemekaran terhadap berbagai kabupaten dan kota. Akibatnya banyak kabupaten dan kota yang baru berusaha untuk melakukan pemekaran dengan alasan historis padahal tujuan utama daripada pemekaran daerah adalah untuk memperebutkan Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat. Akibat dari terjadinya pemekaran di berbagai daerah adalah terjadinya ketidakharmonisan antar daerah. Hal ini diakibatkan karena setiap daerah berusaha untuk mendapatkan wilayah yang lebih luas dan dana alokasi umu yang menyebabkan DAU yang diperoleh daerah lainnya menjadi berkurang. Beberapa contoh kasus mengenai perselesihan antar daerah yakni masalah tempat pembuangan akhir antara Pemda DKI dengan kabupaten Bekasi; masalah sumber air dan bagi hasil antar daerah yang terkait hingga perselisihan mengenai batas wilayah daerah yang terjadi di kawasan Pantura pada bulan November tahun 2000.

6. Akuntabilitas Pemerintahan Daerah Setelah era otonomi daerah, terjadi banyak penyelewengan yang dilakukan oleh lembaga lembaga pemerintahan yang menyebabkan bukan hanya hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan yang bersih tetapi juga menunda pelayanan public yang seharusnya menjadi kewajiban dan tanggung jawab dari pemerintah.
13
13 Salah satu kasus yang belum terselesaikan dari zaman orde lama hingga sekarang yang diakibatkan penyelewengan kekuasan yang dimiliki adalah kasus korupsi. Beberapa contoh kasus yang dapat diamati yakni adalah kasus korupsi dana bansos yang menyeret para petinggi di Sumatera Utara akhir akhir ini. Hal ini membuktikan bahwa lemahnya system pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah serta lemahnya kesadaran moral yang dimiliki para oknum pemerintah di tanah air.

14
14

2.14 Upaya Pemerintah dalam Memajukan Otonomi Daerah
I. Aparatur pemerintah daerah
Untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah maka suatu langkah sistematis perlu di ambil. Upaya-upaya peningkatan syarat pendidikan dan pengelaman berorganisasi ataupun peningkatan frekuensi latihan,kursus dan sebagainya yang berkaitan dengan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab masing-masing perlu di tingkatkan.
Pola rekrutmen telah membaik khusus perencanaan pengadaan dan seleksi. Namun masih diperlukan penyempurnaan tentang perencanaan yang diarahkan kepada kebutuhan (jumlah dan kualitas) jangka panjang. * Diperlukan pembinaan aparatur yang profesional tidak hanya melalui pendidikan atau latihan, tetapi memberi kesempatan utama mendapat jabatan atau pekerjaan kepada aparat yang telah memiliki profesi dibidang tugas tertentu. * Dalam menempatkan seseorang pada jabatan harus dipertimbangkan betul tentang profesinya dan melalui suatu seleksi (psiko, kesehatan dan kompetensi). Tes kompetensi tersebut, jika dimungkinkan oleh lembaga yang ahli dan independen. * Harus ada ketentuan yang tegas, bahwa politik tidak mencampuri penentuan penempatan untuk jabatan-jabatan struktural. * Pola Reward and Punishment ditegakkan secara adil dan profesional, sehingga tidak terkesan sama rata atau diskriminatif. * Pola pembinaan karir para aparatur hendaknya ditetapkan secara jelas dengan suatu peraturan perundangan sehingga akan menjadi pedoman dalam pembinaan aparatur di daerah.
II .Masyarakat
Bagaimana mungkin masyarakat dapat berperan-serta aktif dalam proses kebijakan Otonomi Daerah, sementara ia tidak mengerti mengenai apa yang dikehendaki melalui pembentukan kebijakan tersebut. Dampaknya adalah, antara lain, bongkar-pasang Peraturan Daerah sepertinya sudah menjadi hal yang biasa.
1. Belum dipahami oleh masyarakat atau pun pemuka masyarakat bahwa otonomi daerah itu adalah juga merupakan kewajiban dan tanggung jawab masyarakat.
2. Masih sedikit diberikan/diserahkan kepada masyarakat untuk mengelola kebutuhannya, masih diciptakan seolah-olah masyarakat tergantung kepada pemerintah.
3. Belum dilakukannya perkuatan terhadap lembaga-lembaga masyarakat yang berorientasi kepada ekonomi dan kesejahteraan, yang diperkuat adalah yang berorientasi kepada politik dan kekuasaan.
15
15

Beberapa cara agar masyarakat dapat berperan-serta secara aktif dalam menyumbangkan pikiran dan tenaganya berkaitan dengan implementasi Otonomi Daerah:
1. Pemberian pemahaman yang terus menerus mengenai hakikat dan tujuan Otonomi daerah kepada pemuka masyarakat, tidak hanya berbentuk penyuluhan yang formil tetapi juga non formil, termasuk membuat kebijakan yang lebih memberi pemahaman implementatif tentang otonomi daerah di tingkat masyarakat.
2. Memperbesar keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan kebijakan maupun usaha-usaha peningkatan kesejahteraan (ekonomi dan sosial).
3. Memperkuat lembaga-lembaga masyarakat dari segi manajemen dan keuangan diikuti dengan pembinaan serta pengawasan yang terus menerus.
4. Mempermudah dan memfasilitasi masyarakat untuk menjalankan kegiatan dan usaha-usaha yang produktif –ekonomis.
5. Menggiatkan pendidikan keterampilan dan alih teknologi untuk masyarakat.

16
16

Bab III PENUTUP

* Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya otonomi daerah memungkin daerah-daerah untuk dapat mengaktualisasikan potensi yang ada dengan optimal. Dalam otonomi terdapat wewenang agar suatu daerah dapat mengatur daerahnya sendiri kecuali untuk hal-hal yang tidak mungkin diselesaikan sendiri oleh daerah tersebut. Selain itu, dengan adanya otonomi daerah dapat juga memudahkan pengaturan dan penataan pemerintahan negara.

Namun ada juga beberapa dampak negatif dari otonomi daerah seperti adanya perbedaan pendapat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, juga kesempatan suatu oknum untuk melakukan pelanggaran. Tentu permasalahan seperti itu harus dicari jalan keluarnya demi persatuan negara.

3.2 Saran
Berdasarkan dari kesimpulan diatas mengenai otonomi daerah, pemerintah daerah harus mengoptimallan penerimaan dari potensi pendapatan yang telah ada. Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi ditingkat provinsi dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.

Untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan cara pemerintah harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga Sumber Daya Manusia (SDM) yang berada di pusat terdistribusi ke daerah. Selain itu pejabat harus bisa bertanggung jawab dan jujur. Yang paling penting adalah pejabat harus tau prinsip-prinsip otonomi daerah.

17
17

DAFTAR PUSTAKA

Gaffar, dkk. 2010. Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gaffar, dkk. 2006. Permasalahan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

^(http://intheworldperfectfull.blogspot.co.id/2014/03/hakikat-otonomi-daerah.html). Diakses pada tanggal 5 Februari 2016 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi DaerahBeserta Penjelasannya. 2003. Bandung: Citra Umbara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Otonomi DaerahBeserta Penjelasannya. 2003. Bandung: Citra Umbara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965 tentang Otonomi DaerahBeserta Penjelasannya. 2003. Bandung: Citra Umbara.

Similar Documents

Free Essay

Makalah Pkn

...TUGAS PKN MARAKNYA NARKOBA PADA KALANGAN REMAJA Untuk Memenuhi Tugas PKN Semester I Disusun oleh : 1. Bachrul Arief F ( 10 ) 2. Ilham Nur Latif ( 13 ) 3. Rendi Arsilah ( 23 ) 4. M Rizki Febrianto ( 26 ) 5. Axel Tegar S ( 16 ) SMPN 1 JOMBANG 2009/2010 Maaf apabila ada salah penulisan jabatan KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah dengan judul ”Maraknya Narkoba Pada Kalangan Remaja” tanpa suatu hambatan yang berarti. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas PKN SEMESTER I.Dalam penyusunan makalah ini penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Drs. Suhariyanto.M.si, selaku Kepala SMPN 1 Jombang. 2. H.Yun Inthobah, selaku Guru Pembimbing mataPelajaran PKN Kelas IX. 3. Semua pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berifat membangun guna kesempurnaan makalah ini selanjutnya. Atas kritik dan saran yang diberikan penulis mengucapkan banyak terima kasih. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya dan Para siswa-siswi SMPN1 Jombang pada khususnya. ...

Words: 1024 - Pages: 5