Free Essay

Redenominasi

In:

Submitted By rezagung
Words 4188
Pages 17
| Kelompok 3Oleh :Agatha Raharjo (01)Bara Aji Anggara (09)Doni Iwan Prasetyo (14)Moch Reza Agung Yudhalaksana (22)Muhammad Yusuf (23) |

Redenominasi Rupiah

-----------------------------------------------------------------

Semester VIII D-IV Akuntansi Kelas BPKP Angkatan II
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Tangerang Selatan

Abstrak: Akhir-akhir ini istilah redenominasi sangat populer di masyarakat. Kesimpulan yang diambil bisa berbeda-beda, apalagi bila ada yang mengartikan redenominasi sama dengan sanering. Kedua istilah tersebut adalah hal yang berbeda, dimana redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang, sedangkan sanering adalah pemotongan nilai mata uang tanpa diikuti dengan penyederhanaan nilai barang. Redenominasi adalah hal yang wajar dilakukan oleh suatu negara. Bahkan terdapat negara yang telah beberapa kali melakukan redenominasi, diantaranya ada yang gagal, namun ada juga yang berhasil. Saat ini, Bank Indonesia selaku pihak yang berwenang dalam mengatur dan menjaga keselarasan sistem pembayaran di Indonesia, merasa perlu melakukan redenominasi, salah satu alasannya karena rupiah termasuk dalam kategori worst currency. Namun dalam redenominasi harus memperkiran dampak-dampak yang akan terjadi, baik itu dampak positif maupun dampak negatif.

Kata Kunci: redenominasi, sanering, inflasi, ekonomi, mata uang

1. Pendahuluan a. Pengertian Redenominasi
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi mata uang adalah suatu proses dimana suatu unit baru dari uang menggantikan unit yang lama dengan suatu rasio tertentu. Hal ini dapat dicapai dengan mengeluarkan angka nol atau memindahkan beberapa desimal poin dari mata uang ke sebelah kiri, dengan tujuan untuk mengoreksi mata uang dan struktur harga serta meningkatkan kredibilitas dari mata uang local (CBN, 2007). Konsep redenominasi ini sendiri adalah mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Redenominasi tidak mengakibatkan penurunan nilai relatif uang terhadap barang dan jasa karena harga barang juga di sesuaikan dengan redominasi yang baru tersebut. Namun redenominasi tidak bisa serta merta di lakukan pemerintahan di dunia. Ada beberapa pertimbangan pemerintah di dunia dalam melaksanakan redenominasi.
Redenominasi merupakan penyederhanaan nominal uang tanpa mengurangi nilai tukarnya, karena penyederhanaan nominal tersebut disertai dengan penyesuaian harga barang.
Redenominasi merupakan tindakan rekalibrasi mata uang. Langkah ini dilakukan karena dua alasan, yaitu (1) inflasi atau (2) devaluasi. Atau, bukan karena keduanya, melainkan dengan alasan geopolitik tertentu. Hal ini pernah terjadi ketika berbagai negara di Eropa bersepakat untuk memiliki mata uang regional Euro, yang mengharuskan tiap negara pesertanya mengkalibrasi mata uang nasional masing-masing. Jika karena inflasi ada dua variasi, yaitu hiperinflasi (inflasi sangat tinggi dalam tempo singkat), atau inflasi kronis (inflasi terus menerus terjadi dalam waktu panjang).
Redenominasi akan efektif dilakukan jika: 1) Kondisi ekonomi yang stabil 2) Inflasi yang terjaga 3) Adanya jaminan stabilitas harga
Ketahanan ekonomi terhadap inflasi dan investasi modal asing yang berdampak pada peningkatan cadangan devisa negara menjadi faktor penting keberhasilan redenominasi. b. Perbedaan Redenominasi dengan Sanering
Seringkali masyarakat menganggap bahwa redenominasi sama dengan sanering. Tapi sesungguhnya Redenominasi berbeda dengan Sanering. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel perbedaan Redenominasi dengan Sanering Perbedaan | Redenominasi | Sanering | Pengertian | Penataan nominal mata uang, menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih kecil dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut | Pemotongan nilai mata uang tanpa disertai penyesuaian harga, sehingga menurunkan daya beli | Tujuan | Penyederhanaan angka agar transaksi lebih efisien dan nyaman | Mengurangi jumlah uang beredar | Dampak thd masyarakat | Daya beli masyarakat “cenderung”tetap | Dirugikan karena daya beli uang turun | Daya Beli Uang | Tetap | Turun | Syarat kondisi | Kondisi makroekonomi stabil, ekonomi tumbuh, dan inflasi terkendali | Instabilitas makroekonomi, hiperinflasi | Waktu pergantian | Perlu masa transisi yang terukur dan terkendali | dilakukan secara mendesak tanpa masa transisi dan dilakukan mendadak | c. Tujuan Redenominasi
Terdapat banyak alasan mengapa sebuah negara melakukan redenominasi mata uang mereka, mulai dari tujuan kredibilitas serta identitas terhadap politik dalam negeri dan internasional (International Monetary Fund, 2003; Mosley, 2005; Martinez, 2007). Secara spesifik, walaupun bukan penyebab utama, tekanan inflasi, efek psikologis, pengendalian terhadap mata uang dan kondisi politik dalam negeri juga dinyatakan sebagai alasan utama terjadinya redenominasi (Cohen, 2004; Mosley, 2005; Tarhan, 2006; Lead Capital Limited, 2007). Tujuan redenominasi secara keseluruhan dalam hal ini adalah untuk memastikan kredibilitas (Mosley, 2003). Kepastian kredibilitas menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi di masyarakat dan peningkatan dibidang makro ekonomi (Stokes, 2002 in Mosley, 2005); serta kinerja pemerintah sebagai debitur, sebagai tempat untuk investasi swasta dan dapat mempertahankan nilai tukar di pasar modal dunia (Leblang, 2002; Jensen, 2005). Redenominasi menyebabkan mata uang lokal menjadi lebih efisien dengan cara membuang beberapa angka nol, memfasilitasi transaksi bisnis karena menggunakan uang dengan unit yang lebih kecil, mata uang menjadi lebih mudah dan lebih ringan untuk dibawa kemana-mana dan mengurangi risiko kejahatan, menyebabkan kepercayaan yang lebih besar terhadap mata uang, dapat mengurangi kecenderungan terjadinya inflasi; mempermudah pembukuan dan mengurangi kerepotan dalam melakukan transaksi, pencatatan dan aktivitas perbankan. d. Sejarah Penerapan Redenominasi
Secara teori, menghapus angka nol mata uang hanya sebuah numerik belaka. Redenominasi tidak akan bekerja jika perekonomian tidak dapat mempertahankan nilai baru. Sejarah mencatat bahwa Negara pertama yang melakukan redenominasi adalah Jerman pada tahun 1923, Jerman memotong angka nol mata uangnya sebanyak dua belas digit karena terjadi hiperinflasi. Studi yang dilakukan Mosley (2005) mencatat sekitar 60 negara yang melakukan redenominasi dalam periode 1960-1994. Di antara beberapa negara itu ada yang mengalami kegagalan dan sukses dalam menjalankan redenominasi.
Dalam perjalanan sejarah, Pemerintah Indonesia tercatat pernah melakukan kebijakan sanering pada tanggal 19 Maret 1950 (dikenal dengan istilah “Gunting Syafrudin”), 25 Agustus 1959 dan 13 Desember 1965. Kondisi perekonomian nasional pada saat itu sangat buruk, tercermin dari Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) yang sangat rendah, inflasi sangat tinggi dan investasi merosot tajam. Salah satu mekanisme kebijakan sanering yang berlaku mulai tanggal 25 Agustus 1959 adalah: 1) Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100. 2) Pembekuan sebagian simpanan pada Bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan di atas Rp 25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959).
Kebijakan sanering tersebut memberikan beberapa dampak di bidang moneter, seperti menurunkan jumlah uang beredar, meningkatkan keuntungan pemerintah yang kemudian digunakan untuk mengurangi kerugian kas negara, dan mengurangi likuiditas bank-bank. Namun, likuiditas bank yang berkurang membuat pemberian kredit bank terhadap perusahan produksi, distribusi dan ekspor-impor menjadi berkurang, sehingga berimplikasi pada kenaikan harga barang dan biaya hidup. Dengan demikian kebijakan sanering pada tahun 1959 tersebut dianggap gagal karena justru memperburuk keadaan ekonomi, yakni terjadinya hyper-inflasi.
Berbeda dengan sanering,kebijakan redenominasi dapat pula meningkatkan martabat bangsa dengan meringkas digit uang tanpa mengurangi nilai mata uang. Saat ini di Asia Tenggara hanya Indonesia dan Vietnam saja yang memiliki pecahan mata uang hingga 5 digit. Dengan redenominasi berupa menghilangkan tiga angka nol (3 digit), maka nilai kurs baru rupiah terhadap mata uang negara lain akan mengalami penyesuaian nominal, meskipun daya belinya tidak berubah. Sebagai contoh nilai tukar baru rupiah terhadap US$ akan dapat menjadi Rp.9,69/ US$ (saat ini Rp.9699/US$) dan terhadap Ringgit menjadi Rp.3,17/Ringgit (saat ini Rp.3174/Ringgit).
Negara yang mengalami kegagalan penerapan redenominasi a. Rusia
Rusia membutuhkan 6 kali redenominasi untuk stabil. Redenominasi pertama sampai ke tiga terturut-turut dilakukan pada tahun 1922, 1923, dan 1924. Redenominasi yang dilakukan setiap tahun ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menjaga inflasi sehingga nilai rubel turun begitu jauh. Hal ini terjadi juga dapat disebabkan karena masyarakat Rusia lebih memilih mengunakan mata uang asing karena mata uang Rusia dianggap tidak efisien mengingat Rusia hanya menerbitkan beberapa jenis uang yang tentunya tidak dapat mendukung aktifitas perdagangan. Hal ini diperparah pada 1923 Soviet melakukuan monetary union (penyatuan mata uang) sehingga fokus masyarakat Rusia beralih ke mata uang tunggal tersebut. Yang ke empat dilakukan tahun 1947. Redenominasi ke lima tahun 1961 dilakukan karena telah terjadi PerangDunia II yang membuat kondisi negara Soviet terpuruk, Yang terakhir tahun 1998. Perbankan Rusia yang pada tahun 1998 mengalami collapse sebelum redenominasi memiliki tingkat inflasi 14,6% kemudian meningkat 27,6% dan setelah redenominasi meningkat tajam ke 85,7%. b. Zimbabwe
Zimbabwe sudah melaksanakan redenominasi mata uang mulai 1 Agustus 2010. Tak tanggung-tanggung, Bank Sentral Zimbabwe meredenominasi dengan mengubah uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10 angka nol. Gubernur Bank Sentral Zimbabwe Gideon Gono mengatakan kebijakan redenominasi ini dilakukan untuk membantu masyarakat keluar dari hiper inflasi yang terjadi di negara tersebut. Namun para analis merasa pesimistis dengan rencana ini. Mereka menilai kebijakan redenominasi ini tidak akan bisa mengakhiri kehancuran ekonomi negara tersebut yang disebabkan inflasi maha tinggi yaitu sebesar 2,2 juta persen. Ini merupakan inflasi tertinggi di dunia karena keterbatasan suplai makanan dan uang valas. Kegagalan negara Zimbabwe dalam melakukan redenominasi beberapa waktu yang lalu disebabkan oleh tidak terkendalinya tingkat inflasi. Hal itu terjadi karena tingkat inflasi di Zimbabwe naik dan tidak kredibel sewaktu dilakukannya proses redenominasi. Jadi itu dianggap gagal redenominasi di Zimbabwe karena disaat redenominasi inflasi terus membumbung tinggi. c. Korea Utara
Korea Utara pada akhir tahun 2009 melakukan redenominasi dengan menjadi 100 won menjadi 1 won. Namun, saat warga hendak menggantikan uang lama won ke uang baru, stok uang baru tidak ada.
Negara yang berhasil menerapkan redenominasi a. Turki
Turki meredenominasi mata uang Lira secara bertahap selama 7 tahun yang dimulai sejak 2005. Setelah redenominasi, semua uang lama Turki (yang diberi kode TL) dikonversi menjadi Lira baru (dengan kode YTL, di mana Y bermakna 'Yeni' atau baru). Kurs konversi adalah 1 YTL untuk 1.000.000 TL, atau menghilangkan enam angka nol (6 digit). Turki meredenominasi mata uang secara bertahap dengan memperhatikan sta bilitas perekonomian dalam negerinya.
Pada tahap awal, mata uang TL dan YTL beredar secara simultan selama setahun. Kemudian mata uang lama ditarik secara bertahap digantikan dengan YTL. Pada tahap selanjutnya, sebutan 'Yeni' pada uang baru dihilangkan sehingga mata uang YTL kembali menjadi TL dengan nilai redenominasi. Selama tahap redenominasi, keadaan perekonomian tetap terjaga. Inflasi Turki pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 juga tetap stabil di kisaran 8-9 persen. b. Romania
Setelah rezim komunis jatuh pada tahun 1989, negara ini mengalami ketidakstabilan ekonomi. Tahun 2000 Rumania mampu menstabilkan ekonomi makronya dengan ciri-ciri: pertumbuhan ekonomi tinggi, tingkat pengangguran rendah. Namun inflasi terus melambung mengakibatkan turunnya nilai uang Lei. Tuntutan ekonomi sehat semakin besar setelah negara ini bergabung dengan Uni Eropa di tahun 2002. Terinspirasi kesuksesan Redenominasi Turki, Gubernur Bank Nasional Rumania, Mugur Isarescu merancang program yang sama.
1 Juli 2005, bank sentral Rumania memperkenalkan lembaran uang baru, 100 Lei. Uang ini dibuat persis uang lembaran tertinggi Rumania, 1 juta Lei. Hanya angka dan keterangan nominal yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi efek psikologis dalam penggunaan uang. Sama halnya dengan kekhawatiran banyak pihak di Indonesia, bahwa redenominasi tetap akan menimbulkan inflasi karena adanya efek psikologis tersebut. Selain nominal, penyebutan mata uang juga diubah dengan kode RON untuk mata uang yang baru, dan ROL untuk mata uang yang lama. Dalam redenominasi Lei, semua uang lama Rumania (ROL) dikonversi menjadi RON. Redenominasi Rumania, menetapkan penghapusan 4 digit nol. Jadi, kurs konversi 1 RON= 1.0.000 ROL. 2. Alasan Perlunya Indonesia Melakukan Redenominasi
Redenominasi mata uang rupiah menentukan salah satu kewenangan Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga keselarasan sistem pembayaran di Indonesia. Adapun alasan yang melatarbelakangi Bank Indonesia melakukan redenominasi mata uang rupiah adalah karena : a) Rupiah termasuk ke dalam kategori the worst currency (mata uang sampah) pada urutan ketiga setelah Zimbabwe dan Vietnam.
Uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini adalah Rp100.000 yang merupakan pecahan terbesar kedua di dunia setelah mata uang Dong Vietnam yang pernah mencetak 500.000 Dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe yang pernah mencetak 100 trilyun dolar Zimbabwe dalam 1 lembar mata uang. b) Munculnya keresahan atas status rupiah yang terlalu rendah ketimbang mata uang lainnya, misalnya terhadap dolar, euro, dan uang global lainnya, bukan soal substansi, tapi soal identitas karena kekuatan mata uang kita relatif stabil, cadangan devisa juga aman, inflasi terjaga (1 digit), investasi juga tidak ada persoalan, kinerja ekonomi kita baik. c) Pecahan uang Indonesia yang selalu besar akan menimbulkan ketidakefisienan dan ketidaknyamanan dalam melakukan transaksi, karena diperlukan waktu yang banyak untuk mencatat, menghitung dan membawa uang untuk melakukan transaksi sehingga terjadi ketidakefisienan dalam transaksi ekonomi. d) Untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan kawasan ASEAN dalam memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015. e) Untuk menghilangkan kesan bahwa nilai nominal uang yang terlalu besar seolah-olah mencerminkan bahwa di masa lalu, suatu negara pernah mengalami inflasi yang tinggi atau pernah mengalami kondisi fundamental ekonomi yang kurang baik.

Kriteria utama yang harus tercipta ketika suatu negara hendak melakukan redenominasi mata uang adalah makro ekonomi stabil, ekonomi bertumbuh, dan inflasi terkontrol. Bagaimana dengan Indonesia?
Dilansir dari laman resmi BPS, berikut data pertumbuhan ekonomi Indonesia Triwulan 1 2014

Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2014 dibandingkan triwulan IV-2013, yang diukur dari kenaikan PDB atas dasar harga konstan meningkat sebesar 0,95 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, pertumbuhan ini terutama didukung oleh Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan yang meningkat sebesar 22,70 persen karena mulainya musim panen tanaman padi pada triwulan I-2014.

Sedangkan laju inflasi ditunjukkan oleh table berikut:

Tabel Inflasi dan IHK INDONESIA Tahun 2011 - 2014 Menurut Bulan Bulan | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 20142) | | IHK | Inflasi | IHK | Inflasi | IHK | Inflasi | IHK | Inflasi | IHK | Inflasi | Januari | 118,01 | 0,84 | 126,29 | 0,89 | 130,90 | 0,76 | 136,88 | 1,03 | 110.992) | 1,07 | Februari | 118,36 | 0,30 | 126,46 | 0,13 | 130,96 | 0,05 | 137,91 | 0,75 | 111,28 | 0,26 | Maret | 118,19 | -0,14 | 126,05 | -0,32 | 131,05 | 0,07 | 138,78 | 0,63 | 111,37 | 0,08 | April | 118,37 | 0,15 | 125,66 | -0,31 | 131,32 | 0,21 | 138,64 | -0,10 | 111,35 | -0,02 | Mei | 118,71 | 0,29 | 125,81 | 0,12 | 131,41 | 0,07 | 138,60 | -0,03 | 111,53 | 0,16 | Juni | 119,86 | 0,97 | 126,50 | 0,55 | 132,23 | 0,62 | 140,03 | 1,03 | | | Juli | 121,74 | 1,57 | 127,35 | 0,67 | 133,16 | 0,70 | 144,63 | 3,29 | | | Agustus | 122,67 | 0,76 | 128,54 | 0,93 | 134,43 | 0,95 | 146,25 | 1,12 | | | September | 123,21 | 0,44 | 128,89 | 0,27 | 134,45 | 0,01 | 145,74 | -0,35 | | | Oktober | 123,29 | 0,06 | 128,74 | -0,12 | 134,67 | 0,16 | 145,87 | 0,09 | | | November | 124,03 | 0,60 | 129,18 | 0,34 | 134,76 | 0,07 | 146,04 | 0,12 | | | Desember | 125,17 | 0,92 | 129,91 | 0,57 | 135,49 | 0,54 | 146,84 | 0,55 | | | Tingkat Inflasi | | 6,96 | | 3,79 | | 4,30 | | 8,38 | | 1,39 |

Dari table terlihat bahwa laju inflasi masih fluktuatif selama triwulan 1 2014, namun secara keseluruhan laju inflasi masih bisa dikendalikan di bawah 1% tiap bulannya. Dari segi inflasi, redenominasi sebenarnya sudah siap dilaksanakan, namun apabila kita melihat nilai rupiah terhadap USD, maka tentu redenominasi belum bisa dilakukan. Kurs rupiah terhadap USD kian lemah dan tanggal 24 Juni 2014 kurs rupiah ditutup pada level Rp12.000,-/USD. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu indicator kunci makroekonomi sehingga dapat disimpulkan bahwa saat ini makroekonomi Indonesia masih fluktuatif. 3. Efek Redenominasi
Berdasarkan data dari usd.exchangerates24.com Indonesia merupakan 10 besar daftar mata uang yang tak laku dibandingkan dengan Dollar AS. Rupiah Indonesia berdampingan dengan Dong Vietnam, Dobra Sao Tome and Principe, Manat Turkmenistan, Rial iran, Kip Laos, Franc Guinea, Guarani Paraguay, Kwacha Zambia dan Riel Kamboja. Selain itu rupiah Indonesia juga merupakan 10 besar mata uang dengan angka nol paling banyak di dunia bersama dengan Rial Iran, Dong Vietnam, Dobra Sao Tome and Principe, Ruble Belarusia, Kip Laos, Franch Guinea, Guarani Paraguay, Leone Sierra Leone dan Shiling Tanzania. Sebuah fakta yang tentu saja diperlukan jalan keluar untuk meningkatkan harga diri bangsa indonesia. Oleh karena itu Bank Indonesia menyiapkan rencana redenominasi mata uang rupiah dengan tahapan sebagai berikut : 1. 2011 – 2012 : Sosialisasi 2. 2013 – 2015 : Masa Transisi 3. 2016 – 2018 : Penarikan Rupiah Lama 4. 2019 – 2022 : Tulisan “Baru” pada Rupiah Baru Dihapus
Secara umum, redenominasi mata uang tidak memiliki dampak langsung pada perekonomian karena nilai mata uang tetap sama dan daya beli masyarakat juga sama. Dampak yang terjadi pada ekonomi mikro dan makro adalah tidak ada. Hal ini mengingat permintaan dan penawaran baik barang ataupun jasa tidak berubah, nilai investasi bersih, belanja negara, neraca pembayaran dan nilai ekspor bersih juga tidak akan terkena dampak dari redenominasi.Efek yang mungkin terjadi di tingkat konsumsi rumah tangga adalah munculnya kebiasaan belanja yang sebenarnya merupakan masalah psikologis. Tidak ada perbedaan kondisi ekonomi antara sebelum dan sesudah redenominasi mata uang karena yang sebenarnya terjadi hanyalah redenominasi dari semua nilai ekonomi yang berupa harga dari barang dan jasa, aset dan kewajiban keuangan, gaji dan manfaat sosial. Namun situasi dibidang moneter sedikit berbeda, redenominasi mata uang akan mengurangi mata uang yang beredar walaupun nilai sesungguhnya akan tetap sama.
Di sisi lain, redenominasi dapat meningkatkan penanaman modal apabila diterapkan dan diatur dengan baik. Investor asing akan mulai menaruh kepercayaan terhadap iklim investasi dalam negeri dan akan lebih berani untuk menaruh uangnya di pasar modal. Hal ini tentu saja dengan asumsi rendahnya tingkat inflasi dan adanya peningkatan kinerja dibidang kebijakan makro ekonomi. Hal ini merupakan efek jangka panjang dan tergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengkonsolidasikan efek dari strategi reformasi dan kebijakan yang berlaku.
Di bidang akuntansi, redenominasi akan mempersingkat waktu dalam menginput data keuangan dan mereviewnya. Dari sudut pandang efektifitas, proses konversi akan menjadi suatu tantangan bagi perusahaan yang memiliki volume transaksi yang signifikan dan memiliki banyak akun. Walaupun begitu karena redenominasi hanya merupakan proses pengurangan angka nol, maka metode, prinsip, kebijakan dan standar akuntansi yang telah digunakan oleh organisasi tidak akan dilanggar. a. Dampak positif dari redenominasi adalah: 1) Redenominasi menyederhanakan pengolahan data di lembaga keuangan termasuk pasar modal. Redenominasi memperkecil ukuran data yang diolah tiap hari. Di pasar modal, ada miliaran transaksi keuangan yang terjadi tiap hari. Kalau dihemat tiga digit, pengolahan data yang besar bisa diperkecil.Dengan dipotong tiga nol di belakang, saham yang tadinya Rp500 akan menjadi 50 sen, sementara Rp50 akan menjadi 5 sen.Dengan demikian, kalau dari sisi bursa saham, rencana redominasi ini justru dapat memberikan keuntungan karena dapat membuat kinerja transaksi maupun pencatatan data nantinya menjadi lebih efisien. 2) Meningkatkan produktivitas, misalnya seorang pegawai yang tugasnya memasukan data (data entry) menggunakan MS Excel. Hilangnya tiga nol disetiap pencatatan transaksi, akan menghemat waktu 1 detik untuk setiap transaksi, dapat dihitung jika pegawai tersebut sehari menginput 500 transaksi, maka ada 500 detik waktu yang dihemat, itu sama saja dengan 8,33 menit penghematan waktu perhari dan jika dikalikan 1 tahun kerja (dengan asumsi hari kerja 300 hari), maka itu sama dengan menghemat waktu 41,65 jam kerja atau sekitar 5 hari kerja. Ini hanya untuk satu orang, bagaimana jika ada 1 juta orang indonesia yang melakukan pencatatan transaksi tiap harinya? Berapa banyak penghematan waktu yang terjadi? 3) Efisiensi sistem pembayaran akan tercapai dimana harga barang yang tercantum menjadi lebih sederhana, proses pencatatan, penyimpanan, pengelolaan, dan pelaporan data dalam laporan keuangan/statistik menjadi lebih pendek, cepat serta dapat disajikan dalam angka penuh. 4) Dalam teknologi informasi, redenominasi akan mengurangi penyesuaian software dan hardware tersebut dalam mengakomodir digit angka yang semakin besar. Saat ini, kemampuan komputer hanya dapat mengakomodir 15 digit angka saja. Padahal nilai APBN Indonesia telah mencapai 16 digit. 5) Redenominasi juga dapat mengurangi hambatan dan kendala teknis berupa kemungkinan kesalahan manusia dalam proses pembukuan transaksi atau kegiatan statistik lainnya. b. Dampak Negatif dari redenominasi adalah: 1) Dari sisi moneter, redenominasi dapat memicu inflasi apabila terjadi efek psikologi masyarakat yang terserang kepanikan dan perilaku moral hazard yang memanfaatkan asymmetric information untuk spekulasi menyimpan barang dan menaikkan harga. Hal ini terjadi apabila tidak dilakukan sosialisi secara menyeluruh. Kepanikan masyarakat tersebut akan mendorong masyarakat untuk tidak memegang Rupiah dan lebih memilih untuk membelanjakan uang mereka menjadi aset. Dengan demikian akan berlaku hukum supply-demand yang mendorong terjadinya kenaikan harga aset-aset tersebut. 2) Selain itu kepanikan tersebut bisa mendorong masyarakat untuk lebih memilih memegang mata uang asing yang lebih terpercaya. Keadaan ini tentu akan membuat nilai rupiah terdepresiasi. Rupiah yang terdepresiasi bermakna bahwa nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing menjadi lebih rendah dan mengindikasikan daya saing dalam negeri menurun dibandingkan asing. 3) Terkait dengan poin pertama, inflasi juga terjadi dikarenakan adanya pembulatan ke atas apabila tidak terdapat pecahan kecil untuk mata uang baru. Dengan demikian pemberlakuan redenominasi perlu diikuti dengan kewaspadaan tinggi terhadap timbulnya hyper-inflasi. Sosialisasi perlu digencarkan dan operasi pasar perlu dilaksanakan untuk mencegah adanya spekulan yang memanfaatkan kepanikan masyarakat.
Dengan menyajikan data perbandingan harga emas, dalam rupiah dan dolar, dalam grafik logaritmik dimana jarak satu gridline yang satu dengan gridline dibawahnya adalah kelipatan 10 – atau merepresentasikan satu angka nol, menurutnya pada grafik US$ yang hanya melewati satu gridline sepanjang 40 tahun terakhir. Hal ini karena dalam US$ harga emas ‘hanya’ mengalami kenaikan 33 kali selama 40 tahun terakhir. Sebaliknya Rupiah menerobos 3 gridlines selama 40 tahun terakhir yaitu tahun 1973, 1980 dan 1998. Hal ini terjadi karena dalam rentang waktu 40 tahun yang sama harga emas dalam Rupiah mengalami kenaikan sampai 790 kalinya.
Maka negara-negara yang berhasil menekan inflasinya pada angka yang relatif rendah dalam waktu yang panjang akan semakin jarang menabrak gridline tersebut – negara semacam ini memang tidak memerlukan redenominasi pada mata uangnya. Tidak demikian halnya bagi negara yang rata-rata inflasinya tinggi, jumlah angka nol dalam mata uangnya (yang direpresentasikan dengan banyaknya gridlines yang ditabrak) akan terus bertambah sehingga apa bila dibiarkan terus akan menjadi tidak wajar. Mata uang dari negara semacam ini – termasuk diantaranya Rupiah kita – perlu diredenominasi dari waktu ke waktu.
Sebagai ilustrasi, redenominasi jika dilakukan pada tahun 1983, yang mana harga emas pada saat itu per gram dalam Rupiah adalah Rp 12.242/gram dan dalam Dollar adalah US$ 13.64. Bila tiga angka nol dalam uang Rupiah dihilangkan saat itu, maka harga emas dalam Rupiah akan menjadi Rp 12.24/gram, sedangkan dalam Dollar akan tetap US$ 13.64. Artinya bila Rupiah diredominasi pada tahun 1983 dengan membuang tiga angka nol, maka nilai tukar Rupiah saat itu menjadi 1 US$ = Rp 0.90 ,-
Redenominasi membutuhkan biaya yang besar untuk mencetak uang baru, untuk sosialisasi sampai pelosok negeri dan untuk penyediaan infrastruktur yang diperlukan. Kebijakan redenominasi lebih mementingkan minoritas masyarakat dibandingkan mayoritas masyarakat. Masyarakat menengah ke atas yang terbiasa bertransaksi dengan nominal besar dan seringkali tidak tunai akan terbantu dengan redenominasi ini. Namun bagi mereka yang miskin dan bertaraf pendidikan rendah yang sangat terbiasa dengan transaksi uang yang kecil, mereka tidak hanya kebingungan dengan nilai yang semakin kecil, tetapi juga akan semakin memiskinkan mereka.
Biaya pembangunan yang besar akan dipergunakan untuk biaya mencetak uang yang tidak memiliki keuntungan bagi sistem ekonomi Indonesia. Lalu jika pemerintah berusaha menerbitkan surat utang untuk menutupi biaya redenominasi, berarti rakyat juga yang akan menderita.
Redenominasi juga berpotensi mendorong inflasi jika tidak ada kemudahan bertransaksi pada pecahan kecil.Sebab, pecahan yang kecil dan tanggung akan mendorong pembulatan angka untuk memudahkan pembayaran, yang justeru tanpa disadari akan memacu kenaikan harga barang.
Redenominasi juga akan memicu banjirnya barang-barang impor.Apalagi pada era pasar bebas ini, mengimpor barang menjadi tidak terkendali. Asalkan dianggap murah barang impor akan menerobos masuk. Hal ini disebabkan nilai konversi mata uang rupiah yang dianggap menguat terhadap mata uang lain semisal USD.
Apabila redenominasi gagal dilaksanakan maka memungkinkan untuk berubah menjadi sanering. Indonesia pernah melakukan redenominasi pada tahun 1966. Namun karena pada saat yang bersamaan inflasi di Indonesia sangat tinggi, maka redenominasi yang diberlakukan pemerintah justru gagal mengamankan perekonomian.
Saat itu, uang Rp1.000 menjadi Rp1. Karena gagal, tahun itu juga BI sekaligus melakukan sanering, yakni melakukan pemotongan uang dimana yang dipotong hanya nilai uangnya saja.

Faktor penyebab inflasi bisa disebabkan oleh banyak hal yakni depresiasi rupiah, jumlah uang beredar, defisitnya APBN, maupun pemberian kredit perbankan yang konsumtif. c. Kondisi Terburuk Dampak Sistemik Redenominasi Terhadap Perekonomian
Terkait dengan redenominasi maka akan berhubungan erat dengan peredaran uang, transaksi luar negeri, dan daya beli masyarakat yang pada akhirnya mempercepat laju inlfasi.
Seperti dijelaskan dalam uraian di atas, bahwa ada beberapa gejala yang mungkin terjadi jika redenominasi dilakukan: 1) Rush
Ketidakpercayaan pemilik tabungan/investor terhadap rupiah, sehingga mengalihkan ke mata uang yang stabil seperti USD atau dibelikan emas atau aset tetap lainnya karena takut rupiah terdepresiasi. Dalam hal ini berlaku hukum permintaan-penawaran, sehingga rupiah yang baru di redenominasi pun mengalami pelemahan atas USD, sedangkan emas dan harga aset meningkat.
Untuk menghindari hal ini terjadi, maka Bank Indonesia akan meningkatkan suku bunga, sehingga masyarakat tertarik tetap menyimpan uangnya dalam bentuk rupiah di dalam negeri. Hal ini memicu inflasi. 2) Biaya Tinggi
Besarnya biaya investasi yang diperlukan dalam rangka redenominasi. BI perlu dana untuk mencetak uang, sektor bisnis perlu dana untuk mengubah sistem informasi teknologi dan akuntansinya.
Dengan demikian Volume transaksi bertambah, jika volume uang tetap, dan produksi tetap, maka kecepatan transaksi bertambah sehingga price level bertambah. Hal ini menyebabkan inflasi.
Seperti yang diungkapkan Irving Fisher dalam teorinya yang mengemukakan bahwa besar kecilnya permintaan uang yang terjadi di masyarakat ditentukan oleh besar pendapatan nasional dan volume transaksi. Jadi, sudah jelas bahwa apapun kebijakan yang diambil, pengendalian jumlah permintaan uang, volume transaksi dan laju inflasi tetap menjadi perhatian utama bagi para pengambil kebijakan. 3) Money Illusion
Efek psikologis masyarakat dan produsen, membiaskan nilai uang, sehingga dengan mudah menaikkan harga secara drastis karena persepsi barang terlihat murah dengan nominal baru. Hal ini mempercepat laju inflasi.

Similar Documents