Free Essay

Analisis Kasus Industri Rokok Ditinjau Dari Teori Etika Egoisme

In:

Submitted By bim4wahyu
Words 4531
Pages 19
HUKUM DAN ETIKA BISNIS
Analisis Kasus Industri Rokok Ditinjau dari Teori Etika Egoisme

Oleh:
Kelompok 1
Alfian Nur Ubay P056132101.51
Andhi Reza Atmadiputra P056132111.51
Awisal Fasyni P056132141.51
Bima Wahyu Widodo P056132151.51
Bimahri Qaulan Tsaqiela P056132161.51
Cindy Puspita P056132171.51
Rizki Putri Nurdiati P056132361.51
Vania Pramatatya P056132411.51

R 51

Dosen:
Prof. Dr. Ir. Aida Vitalaya S. Hubeis

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN
PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah mampu menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Analisis Kasus Industri Rokok Ditinjau dari Teori Etika Egoisme”. Tugas makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum dan Etika Bisnis.
Kami menyadari bahwa selama penulisan banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Aida Vitalaya S. Hubeis selaku dosen mata kuliah Hukum dan Etika Bisnis. 2. Pihak lain yang turut membantu dalam proses penyusunan makalah ini, baik secara langsung maupun tidak.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun dalam penyempurnaan karya tulis ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penyusun umumnya bagi pembaca. Amin.

Bogor, Juli 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI i
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 1
2. TINJAUAN PUSTAKA 1
Definisi Etika 1
Etimologi Etika 1
Definisi Etika Menurut KBBI 1
Definisi Etika Menurut Para Ahli 1
Teori Etika 1
Teori Deontologi 1
Teori Teleologi 1
Teori Egoisme 1
Teori Etika Egoisme 1
Definisi Egoisme 1
Perspektif Egoisme 1
3. PEMBAHASAN 1
Kasus Etika Bisnis yang Terkait dengan Teori Egoisme 1
Analisis Kasus 1
4. KESIMPULAN 1
DAFTAR PUSTAKA 1

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan alam melimpah. Salah satu kekayaan alam tersebut adalah melimpahnya keragaman tanaman tembakau dan cengkeh dengan kualitas yang sudah mendunia. Dengan adanya kekayaan alam tersebut mendorong Indonesia menjadi salah satu negara produsen rokok terbesar di dunia. Hal tersebut didukung oleh fakta bahwa Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara pengkonsumsi rokok terbesar di dunia setelah China dan India.
Menjanjikannya rokok sebagai suatu bisnis yang menguntungkan mendorong berbagai kalangan mendirikan pabrik rokok di berbagai daerah di Indonesia. Data pada tahun 2009 mencatat bahwa di Indonesia terdapat setidaknya 3000 pabrik rokok yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbagai skala produksi. Cerahnya industri rokok di Indonesia ini juga ditandai dengan diterbitkannya daftar 50 orang terkaya di Indonesia dimana pada daftar tersebut menempatkan nama pemilik bisnis rokok di urutan teratas. Beberapa nama pengusaha rokok yang masuk dalam 50 besar oang terkaya di Indonesia di antaranya adalah R. Budi dan M. Hartono yang merupakan pemilik Djarum dengan harta kekayaan senilai 15 Milyar Dollar dan menduduki posisi pertama dalam daftar tersebut. Kemudian ada nama Susilo Wonowidjojo yang merupakan pemilik PT. Gudang Garam dengan harta kekayaan senilai 5,3 Milyar Dollar atau menempati urutan keempat dalam daftar orang terkaya di Indonesia.
Kegemilangan industri rokok yang menempatkan pemiliknya dalam daftar orang terkaya di Indonesia ternyata tidak sejalan dengan norma kesehatan. Berdasarkan data dari organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) rokok telah menyebabkan kematian bagi 400.000 orang dimana 250.000nya merupakan perokok pasif. Berdasarkan data tersebut maka WHO mewajibkan setiap produsen rokok untuk menyertakan bahaya merokok dalam setiap iklan dan kemasannya. Hal ini diperparah dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh kementrian kesehatan Indonesia yang menyatakan bahwa rokok memang memberi sumbangan terhadap APBN sebesar 60 Triliun Rupiah, namun di sisi lain konsumsi rokok, biaya kesehatan, dan kehilangan nilai ekonomi tenaga kerja produktif akibat rokok dalam setahun mencapai empat kali lipatnya, sehingga pada dasarnya rorkok lebih banyak merugikannya.
Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa sejatinya bisnis rokok merupakan bisnis yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi beberapa pihak, namun adanya egoisme dari para pebisnis yang bergerak dalam sektor rokok menyebabkan usaha ini terus berkembang dan tetap lestari sampai dengan saat ini. Etika egoisme yang dimiliki oleh pebisnis tersebut perlu dikaji lebih dalam sehingga dapat diketahui dampak-dampak yang ditimbulkan dari adanya egoisme tersebut.

Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi teori etika egoisme yang terjadi pada isu bisnis rokok. 2. Menganalisis dampak adanya egoisme yang terjadi pada bisnis rokok. 2. TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Etika
Etimologi Etika
Kata Etika yang dalam bahasa latin Etic berarti falsafah moral sebagai pedoman cara hidup yang benar dilihat dari sisi pandang agama, norma sosial dan budaya. Dalam Bahasa Yunani etika disebut Ethos yang mengindikasi: 1) Suatu adat kebiasaan/watak kesusilaan. 2) Semangat khas kelompok tertentu: etos kerja, kode etik kelompok profesi. 3) Norma yang dianut kelompok, golongan dan masyarakat tertentu mengenai perbuatan yg baik-benar. 4) Studi tentang prinsip-prinsip perilaku yang baik dan benar sebagai falsafat moral.

Definisi Etika Menurut KBBI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etika berarti menyangkut pemahaman nilai benar-salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat, sehingga Etika sebagai rambu-rambu bertindak suatu masyarakat berfungsi untuk mengarahkan, membimbing dan mengingatkan anggota masyarakat untuk selalu melakukan tindakan yang baik.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.

Definisi Etika Menurut Para Ahli
Menurut K. Bertens dalam buku pengantar etika bisnis, definisi etika dapat terbagi menurut tiga sudut pandang, yaitu etika sebagai praksis, etika sebagai refleksi, dan etika sebagai ilmu.
Etika sebagai praktis adalah nilai nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekan atau justru tidak dipraktekan, walaupun seharusnya dipraktekan. Sehingga etika dalam sebagai praksis dapat dikatakan sebagai apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral yang dengan kata lain etika dalam sudut pandang praksis berarti moral atau moralitas.
Etika sebagai refleksi berarti pemikiran moral. Dengan demikian maka dalam sudut pandan refleksi, kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku seseorang. Etika dalam sudut pandang ini dapat dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah.
Etika Sebagai Ilmu Mempunyai tradisi yang sudah lama. Tradisi ini sama panjangnya dengan sejarah seluruh filsafat. Karena etika dalam cabang ini merupakan suatu cabang filsafat. Karena itu etika sebagai ilmu sering disebut sebagai filsafat moral atau etika filosofis. Pada permulaan filsafat pada zaman Yunani kuno etika filosofis sudah mencapai mutu yang mengagumkan pada Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Tradisi tersebut berlangsung terus selama 25 abad lebih, sampai pada hari ini.
Menurut Suseno 1987, etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.
Menurut Katsoff, etika sebenarnya lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan tingkah laku manusia. Pengertian etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), menurut beliau etika berasal dati istilah Yunani ethos yang mempunyai arti adapt-istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut, etika berkembang menjadi study tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi, etika dapat dibedakan antara etika perangai dan etika moral. 1. Etika Perangai
Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambaran perangai manusia dalam kehidupan bermasyarakat di aderah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku. Contoh etika perangai: a. Berbusana adat b. Pergaulan muda-mudi c. Perkawinan semenda d. Upacara adat 2. Etika Moral
Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku yang baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral. Contoh etika moral: a. Berkata dan berbuat jujur b. Menghargai hak orang lain c. Menghormati orangtua dan guru d. Membela kebenaran dan keadilan e. Menyantuni anak yatim/piatu.
Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran, dan kesadaran adalah suara hati nurani. Dalam kehidupan, manusia selalu dikehendaki dengan baik dan tidak baik, antara benar dan tidak benar. Dengan demikian ia mempertanggung jawabkan pilihan yang telah dipilihnya itu. Kebebasan kehendak mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan benar. Apabila manusia melakukan pelanggaran etika moral, berarti dia berkehendak melakukan kejahatan, dengan sendirinya berkehandak untuk di hukum. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, nilai moral dijadikan dasar hukum positif yang dibuat oleh penguasa.

Teori Etika
Teori Deontologi
Etika deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban dan ‘logos’ berarti ilmu atau teori. Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai keburukan, deontologi menjawab, ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’.
Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Karena bagi etika deontology yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.
Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi: 1. Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban. 2. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik. 3. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan. Bersikap adil adalah tindakan yang baik, dan sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian. Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak orang lain atau mencurangi orang lain adalah tindakan yang buruk pada dirinya sendiri sehingga wajib dihindari.
Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat.
Perintah Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak.
Dengan demikian, etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu tindakan. Hal ini akan membuka peluang bagi subyektivitas dari rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar akan kewajiban-kewajiban moral.

Teori Teleologi
Teori Teleologi adalah mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan “kebijaksanaan” objektif di luar manusia.
Contoh dari etika teleologi: Setiap agama mempunyai Tuhan dan kepercayaan yang berbeda beda dan karena itu aturan yg ada di setiap agama pun perbeda beda. Dua aliran etika teleologi : 1. Egoisme Etis Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Seseorang tidak mempunyai kewajiban moral selain untuk menjalankan apa yang paling baik bagi kita sendiri. Jadi, menurut egoisme etis, seseorang tidak mempunyai kewajiban alami terhadap orang lain. Meski mementingkan diri sendiri, bukan berarti egoisme etis menafikan tindakan menolong. Mereka yang egoisme etis tetap saja menolong orang lain, asal kepentingan diri itu bertautan dengan kepentingan orang lain. Atau menolong yang lain merupakan tindakan efektif untuk menciptrakan keuntungan bagi diri sendiri. Menolong di sini adalah tindakan berpengharapan, bukan tindakan yang ikhlas tanpa berharap pamrih tertentu. 2. Utilitarianisme Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.

Teori Egoisme
Teori egoisme merupakan kritik terhadap utilitarianisme yang menyatakan kemoralan sosial berasaskan pada tradisi dan peraturan masyarakat. Teori Egoisme diartikan sebagai teori yang menganggap suatu nilai adalah baik jika menguntungkan dan bernilai buruk jika tidak menguntungkan (merugikan). Dengan demikian, setiap orang semestinya menyandang sifat keakuan, yaitu melakukan sesuatu yang memberi kemanfaatan kepada diri.

Teori Etika Egoisme
Definisi Egoisme
Teori yang menganut pengajaran kepentingan diri sebagai sasaran yang paling tinggi dari tindakan moral dinamakan egoisme. Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat.
Egoisme adalah tingkah laku yg didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain. Biasanya teori egoism mengemukakan tentang segala perbuatan atau tindakan yang disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri.

Perspektif Egoisme
Teori Egoisme mencakup pemahaman tentang: 1. Egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self service). Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya (Rachels, 2004 dalam Yushita, 2012). 2. Egoisme kelompok (in group egoism) adalah egoisme yang hanya melihat kepentingan/kenikmatan atau kebahagiaan kelompok. Sedangkan kelompok adalah kumpulan individu yang saling memiliki hubungan dan saling berinteraksi sehingga mengakibatkan tumbuhnya rasa kebersamaan dan dan rasa memiliki. Menurut Soerjono Soekarto adanya kesadaran sebagi anggota kelompok yang bersangkutan, adanya hubungan timbal balik antara anggota dengan anggota yang lainnya dalam kelompok tersebut. Adanya faktor pengikat yang dimiliki bersama misalnya kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dll. Memiliki struktur, kaidah, dan pola prilaku yang sama dalam bersistem dan berproses. 3. Egoisme dicerahi (enlightened egoism) adalah egoisme yang mengikuti standar moral yang didasarkan pada pengejaran kepentingan diri sendiri dan kepentingan pihak lain melalui negosiasi untuk kepentingan bersama. Selangkah lebih maju dari egoisme dicerahi adalah universalisme etis atau utilitarianisme (utilis: berguna; utility: kegunaan) yaitu "the greatest happiness of the greatest number of the people". Disebut universalisme karena yang menjadi norma moral bukanlah hasil atau akibat baik bagi si pelaku sendiri, melainkan juga bagi semua atau sebagian besar orang. Utilitarianisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa manfaat terbesar untuk paling banyak orang haruslah menjadi tujuan utama tindakan manusia. Utilitarianisme itu sendiri dibedakan menjadi utilitarianisme hedonistik (mengukur tingkat kesenangan dan ketidaksenangan) dan utilitarianisme eudaimonistik (jumlah kebahagiaan tertinggi di antara pihak yang terlibat).

3. PEMBAHASAN
Kasus Etika Bisnis yang Terkait dengan Teori Egoisme
Pro-Kontra Regulasi Rokok di Indonesia
Banjir besar yang melanda Jakarta, pekan lalu, menimbulkan kerugian triliunan rupiah harta milik pribadi dan dunia usaha. Setidaknya ada 20 nyawa melayang. Yang pasti untuk penyelamatan Jakarta agar tak dilanda banjir besar lagi dibutuhkan dana sekitar Rp 60 triliun. Namun, tak banyak orang menyadari, besarnya kerugian dan dana penyelamatan Jakarta masih kalah dibanding besarnya penghamburan dana dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh rokok yang mencapai Rp 225 triliun per tahun.
Hiruk pikuk pemberitaan banjir besar di Jakarta jauh lebih gaduh dibandingkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang dikeluarkan pemerintah, akhir Desember lalu. Rabu (23/1) lalu, PP ini disosialisasikan di Kementerian Kesehatan. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan, cukai rokok setahun sekitar Rp 55 triliun, tetapi konsumsi rokok, biaya kesehatan, dan kehilangan nilai ekonomi tenaga kerja produktif akibat rokok dalam setahun mencapai empat kali lipatnya.
Pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat kerap silau dengan pembangunan fisik di Jakarta yang mengejar pertumbuhan ekonomi makro dengan mengorbankan hutan konservasi, rawa, dan situ. Mereka baru terkaget-kaget dengan amuk banjir dahsyat.
Analogi ini berlaku juga untuk rokok di Indonesia yang telah membuat para pemilik industri rokok besar menjadi orang-orang terkaya di Indonesia. Karena menyumbang cukai puluhan triliun rupiah setiap tahun, membuat banyak pihak terlena dan menganggap industri rokok lebih banyak manfaat ketimbang mudaratnya.
Padahal rokok telah menyebabkan kematian sekitar 400.000 orang (25.000 orang di antaranya perokok pasif) setiap tahun dan jutaan orang sakit serta menjadi tidak produktif. Ini mengingatkan kita pada Joseph Stalin, pemimpin Uni Soviet, yang pernah menyatakan, ”Kematian satu dua orang boleh jadi adalah sebuah tragedi, tetapi kematian ribuan apalagi jutaan orang telah menjadi statistik.”
Kematian ratusan ribu warga Indonesia akibat rokok setiap tahun cuma menjadi statistik dan masalah rokok tetap akan menjadi wabah bisu yang sama sekali tidak sedramatis tragedi kecelakaan pesawat Sukhoi pada 9 Mei 2012 di Gunung Salak yang membawa 45 orang, letusan Gunung Merapi yang menewaskan Mbah Marijan, atau banjir besar Jakarta yang menenggelamkan dua karyawan Plaza UOB.
Hasil kompromi
Indonesia adalah negara peringkat ketiga perokok terbanyak di dunia setelah China dan India. Di Indonesia, saat ini ada sekitar 70 juta perokok aktif dan 60-70 persennya adalah pria dewasa.
Ada tiga penyebab utama mengapa rokok merajalela di Indonesia. Pertama, keserakahan industri rokok (multinasional dan nasional). Kedua, iklan dan promosi rokok yang (dibiarkan) masif. Ketiga, lemahnya komitmen politik.
Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2003. FCTC di antaranya mengatur promosi atau iklan rokok, melarang perokok merokok di tempat umum, dan membatasi konsumsi rokok dengan menaikkan cukai rokok.
Lahirnya PP No 109/2012 tentang Tembakau adalah hasil kompromi pemerintah dengan aspirasi kubu pro rokok dan kubu yang menginginkan agar rokok diregulasi dengan ketat. Meski kubu pendukung regulasi rokok tak kelewat puas dengan PP Tembakau yang dinilai relatif lunak, paling tidak regulasi ini sedikit menjawab keprihatinan mengapa negara, masyarakat, dan media seolah membiarkan industri rokok merajalela dengan iklan dan promosi yang begitu masif sehingga banyak anak dan remaja menjadi perokok.
Walaupun tembakau dalam rokok sudah dinyatakan oleh UU Kesehatan Tahun 2009 mengandung zat adiktif dan dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), lemahnya kemauan politik membuat industri rokok di Indonesia merajalela dan tetap saja berpromosi secara agresif sekaligus persuasif. Karena itu, tak berlebihan jika dikatakan Indonesia adalah surga bagi industri rokok dan perokok.
Di Indonesia, iklan dan promosi rokok amat leluasa dan masif. Masyarakat dan pemerintah amat permisif terhadap para perokok sehingga meski di sejumlah daerah merokok di tempat dan angkutan umum dilarang oleh peraturan daerah, tetap saja para perokok leluasa menyemburkan racun asap rokoknya di mana pun.
Televisi, radio, dan media cetak di Indonesia umumnya juga amat haus akan iklan rokok. Ini belum termasuk media luar ruang yang masih tetap diizinkan oleh PP No 109/2012.
Pergulatan 20 tahun lebih
Pergulatan untuk mulai meregulasi rokok di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Dari dokumen-dokumen rahasia industri rokok BAT Indonesia dengan kantor pusat di Amerika Serikat, seperti ditulis Mardiyah Chamim dkk dalam buku A Giant Pack of Lies; Bongkah Raksasa Kebohongan–Menyorot Kedigdayaan Industri Rokok di Indonesia (2011), legislasi UU Kesehatan Tahun 1992 berhasil dilobi dan digagalkan agar tak menyebut tembakau zat adiktif.
Menkes Nafsiah Mboi kepada Kompas, akhir tahun lalu, membenarkan hal ini. Ia menuturkan pengalamannya ketika menjadi anggota DPR tahun 1992 di komisi yang membidangi kesehatan. Saat itu ia mendapat segepok uang dalam amplop. ”Uang suap itu saya tolak,” tuturnya.
Mardiyah Chamim, dalam edisi buku sebelumnya, Kemunafikan dan Mitos di Balik Kedigdayaan-Penelusuran Dokumen Industri Rokok (2007), mengungkapkan adanya memo internal PT BAT Indonesia tentang upaya melobi pejabat, legislator, ilmuwan, hingga wartawan.
Kompas pun pernah dicoba di ”cuci otak” ketika diundang mengikuti acara Media Briefing on Smoking Issues, September 1992, di Nusa Dua, Bali, yang dihadiri wartawan Asia Pasifik. Isu yang coba diyakinkan adalah rokok tidak terlalu berbahaya seperti yang digembar-gemborkan media AS.
Regulasi pengendalian tembakau pertama di Indonesia adalah PP Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. PP ini membatasi iklan rokok hanya boleh di media cetak dan media luar ruang serta mewajibkan adanya peringatan bahaya merokok di bungkus rokok. Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa nikotin dapat memicu penyakit jantung dan tar dapat memicu penyakit kanker sehingga kadar maksimum keduanya dalam rokok diatur.
Sayangnya, PP No 81/1999 tak berumur lama. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, PP tersebut diamandemen dengan keluarnya PP Nomor 38 Tahun 2000 tak lama setelah Muktamar Nahdlatul Ulama di Kota Kediri, kota pusat industri rokok Gudang Garam. Iklan rokok di televisi lalu diizinkan muncul malam hari.
Lobi-lobi kuat
Amat banyak kisah yang menunjukkan kuatnya lobi industri rokok, baik multinasional maupun nasional, yang memengaruhi kebijakan politik dan regulasi rokok. Misalnya laporan wartawan di istana presiden yang mengungkapkan adanya mobil Rolls- Royce milik bos sebuah perusahaan rokok nasional di istana presiden.
Achmad Sujudi, mantan Menkes, misalnya, ikut aktif merancang FCTC. Namun, pada 2003 dia dilarang berangkat ke markas WHO di Geneva, Swiss, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri karena desakan petani tembakau di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Akibatnya, kini Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC.
Upaya memengaruhi proses legislasi kembali dilakukan pada UU Kesehatan Tahun 2009. Ayat yang menyatakan bahwa tembakau adiktif sempat dihilangkan. Sayangnya, skandal konstitusi ini tetap menjadi peristiwa yang dikaburkan meski diduga kuat telah terjadi kolusi antara industri rokok dan pejabat pemerintah serta parlemen.
Setelah gagal menghilangkan ayat yang menyatakan tembakau sebagai zat adiktif pada UU Kesehatan Tahun 2009, industri rokok mengajukan uji materi UU tersebut ke MK. Namun, pada April 2012, MK memutuskan mengukuhkan isi ayat dalam UU tersebut.
Kini, pergulatan pro-kontra regulasi tembakau/rokok di Indonesia belum usai. Di DPR, sebuah rancangan RUU Tembakau dicoba dimasukkan oleh kubu prorokok yang disponsori sebuah perusahaan rokok multinasional yang telah membeli industrirokok nasional, organisasi masyarakat tembakau, dan seorang dosen ekonomi universitas negeri.
”Jika RUU itu sampai lolos dan dibahas DPR, tidak mustahil UU Kesehatan No 36/2009 dan PP No 109/2012 akan dimentahkan,” kata Kartono Mohamad, Ketua Tobacco Control Support Centre–Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Rabu (23/1), di Jakarta.
Sumber: Kompas.com

Analisis Kasus
Adanya pertentangan antara norma keseatan dan keuntungan individu para pebisnis rokok mendorong munculnya etika egoisme yang dilakukan oleh para pebisnis rokok. Egoisme yang mereka lakukan adalah dengan tetap mendirikan dan menjalankan usaha pabrik rokok ditengah sebuah realita bahwa rokok merupakan komoditi yang tidak hanya merugikan, tetapi juga mematikan. Bila ditinjau dari sisi teori etika egoisme yang merupakan kritik terhadap teori utilitarianisme dimana nilai baik atau buruknya suatu hal ditentukan oleh kebermanfaatan hal tersebut terhadap pelakunya, jika hal tersebut memberi keuntungan maka hal tersebut akan bernilai baik dan jika memberikan kerugian maka hal tersebut akan bernilai buruk. Berdasarkan pada teori tersebut maka teori egoisme memiliki suatu karakteristik yang khas yaitu keakuan atau melakukan sesuatu yang hanya memberi manfaat pada diri sendiri. Dalam kasus rokok ini karakteristik keakuan jelas terlihat dari pilihan yang diambil untuk tetap melanjutkan bisnis rokok tersebut dengan manfaat mampu mendorong mereka menjadi 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes tanpa memikirkan bahaya dampak dari bisnis yang mereka lakukan.
Bila ditinjau lebih dalam, keakuan yang terjadi pada kasus ini tidak sejalan dengan makna awal yaitu memberi keuntungan kepada individu saja, faktanya dalam bisnis rokok skala besar, keakuan dalam ranah egoisme sudah tidak lagi mengacu pada keuntungan individu saja, melainkan sudah masuk dalam ranah kelompok. Sampai dengan saat ini tercatat setidaknya terdapat 40 Juta jiwa penduduk Indonesia yang menggantungkan nasibnya dalam bisnis rokok tersebut baik sebagai buruh pabrik, produsen, ataupun distributor. Mereka yang terlibat dan menggantungkan nasibnya pada bisnis rokok ini juga cenderung memiliki egoisme untuk mempertahankan bisnis ini, namun jelas keuntungan dari keakuan yang mereka anut bukanlah untuk menjadi orang terkaya di Indonesia seperti para pemiliknya melainkan hanya sebatas sebagai lahan mencari nafkah untuk meyambung hidup. Dengan demikian maka bila merujuk pada teori egoisme, maka egoisme dalam bisnis rokok ini sudah masuk dalam taraf egoisme kelompok. Egoisme kelompok sendiri dimaknai sebagai egoisme yang hanya melihat dan mementingkan kepentingan suatu kelompok.
Secara kasat mata, egoisme yang terjadi pada bisnis rokok ini merupakan hal yang bersifat buruk dan merugikan, namun bila ditinjau lebih dalam, maka akan ada pembenaran terhadap etika egoisme yang dianut oleh para pebisnis rokok. Adanya pandangan bahwa paham altruisme dimana paham tersebut lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan individu yang dianggap tindakan yang menghancurkan diri dan dapat merendahkan dirinya sendiri, selain itu kepentingan individu juga dianggap sebagai hal yang paling sesuai dengan moralitas dan akal sehat. Dengan mempertimbangkan dua pandangan tersebutlah maka terdapat pembenaran pada teori egoisme yang dianut. Secara kongkrit, pembenaran dari teori egoisme yang dianut oleh pengusaha rokok terutama dengan skala bisnis besar adalah kemampuan mereka sebagai penyerap tenaga kerja dengan skala yang besar di Indonesia yang mayoritas penduduknya kesulitan mendapatkan pekerjaan yang umumnya dsebabkan oleh latar belakang pendidikan yang rendah.
Jika mengacu pada nilai manfaat, maka dampak positif dari egoisme pada bisnis rokok ini meliputi: 1. Memberikan keuntungan finansial bagi kelompok pelakunya (Produsen, pekerja, distributor). 2. Sumber devisa bagi negara. 3. Penyerap tenaga kerja massal. 4. Pemanfaatan sumber daya alam berupa tembakau dan cengkeh. 5. Salah satu produk unggulan Indonesia dalam menghadapi perdagangan dunia.
Bila ditinjau lebih dalam, maka serangkaian manfaat dari egoisme bisnis rokok tersebut memang lebih banyak memberikan keuntungan kepada pelaku pada kelompok tersebut, dan bila dibandingkan dengan dmpak negatifnya maka dapat disimpulkan pula bahwa dampak positif dari dari egoisme bisnis rokok ini lebih banyak dirasakan kelompok pelaku bisnis rokok tersebut sedangkan dampak negatifnya lebih banyak dirasakan oleh orang-orang diluar pelaku bisnis tersebut.
Egoisme yang terjadi dalam bisnis rokok ini sebenarnya masih wajar dan diperlukan. Jika etika egoisme tidak dilakukan oleh pebisnis dan semua pebisnis menganut etika altruisme yang lebih banyak memihak pada kepentingan bersama maka tidak akan ada orang yang berbisnis rokok, dan bukan hanya bisnis rokok saja namun sektor lain seperti bisnis kembang api, petasan, ataupun senjata api tidak akan ada karena melihat dampak buruknya bagi orang banyak. Dampaknya adalah tidak optimalnya pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki dan lapangan pekerjaaan yang akan semakin sempit, selain itu arus ekonomi juga akan semakin lambat. selain pada bisnis yang telah disebutkan, masih banyak dan bahkan hampir setiap bisnis memerlukan etika egoisme dalam menggapai keuntungan. Hal tersebut terjadi karena dalam menggapai keuntungan individu maka memang dibutuhkan etika egoisme.

4. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
A, Dhita. 2014. Masa Depan Rokok Indonesia. http://ekonomi.kompasiana. com/bisnis/2014/04/09/masa-depan-rokok-indonesia-646292.html. Diakses pada tanggal 15 Juli 2014.
Julianto, Irwan. 2013. Pro-Kontra Regulasi Rokok di Indonesia. http://megapolitan.kompas.com/read/2013/02/01/03030160/Pro-Kontra.Regulasi.Rokok.di.Indonesia. Diakses pada tanggal 16 Juli 2014.
Kurniawati, Wiwik Dyah. Pengertian Etika, Prinsip-Prinsip Etika, Basis Teori Etika, Egoisme. http://wiwiedyah.blogspot.com/2013/09/pengertian-etika-prinsip-prinsip-etika.html. Diakses pada tanggal 15 Juli 2014.
W, Yuniastuti, dkk. 2012. Analisis Kasus Pemutusan Hubungan Kerja PT. Dirgantara Indonesia Ditinjau dari Teori Egoisme Kelompok. http://yuniastuti40e.blogstudent.mb.ipb.ac.id/2012/06/07/egoisme-kelompok/. Diakses pada tanggal 15 Juli 2014.
Yushita. 2012. Teori Etika. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/ Amanita%20Novi%20Yushita,%20S.E./TEORI%20ETIKA.pdf. Diakses pada tanggal 15 Juli 2014.

Similar Documents