Free Essay

Jalan Tol vs Ketahanan Pangan (Toll-Road vs Food Tenacity)

In:

Submitted By adiempe
Words 4393
Pages 18
Jalan Tol vs Ketahanan Pangan

LATAR BELAKANG
Pemerintah merencanakan pembangunan jalan tol Trans Jawa yang akan membentang sekitar 897,7 kilometer. Proyek Jalan Tol Trans Jawa senilai Rp 46,77 triliun ini akan menghubungkan Anyer hingga Banyuwangi. Jalan tol Trans Jawa akan membentang di empat provinsi dan dibagi dalam 15 ruas tol. Proyek itu bakal menyatu dengan ruas-ruas tol yang telah beroperasi saat ini, yaitu Jakarta-Anyer, Tol Dalam Kota Jakarta, Jakarta Outer Ring Road, Jakarta-Cikampek, Cirebon-Kanci, Semarang Ring Road, dan Surabaya-Gempol.
Selain meningkatkan aspek pelayanan publik, fungsi utama jalan tol Trans Jawa adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun disamping optimisme mengenai efek percepatan pertumbuhan ekonomi dari pembangunan tersebut, muncul pula pandangan yang mengkhawatirkan bila pembangunan jalan tol Trans Jawa tersebut akan mengakibatkan berubahnya ribuan hektar lahan pertanian produktif menjadi kawaasan perumahan dan industri. Semakin meluasnya konversi lahan pertanian memiliki resiko berkurangnya produksi pangan nasional yang akan semakin mengancam ketahanan pangan nasional Indonesia. Sementara saat ini produksi pertanian Indonesia sudah tidak mampu memenuhi konsumsi dalam negeri sehingga Pemerintah Indonesia terpaksa melakukan impor pangan.
Pada essay ini akan dibahas mengenai analisa kepentingan dalam kasus pembangunan jalan tol Trans Jawa dari sudut pandang ilmu ekonomi, yang diharapkan dapat memperjelas arah kebijakan yang ditempuh dan alokasi sumberdaya yang proporsional.

DESKRIPSI MASALAH
Pendekatan Infrastruktur
Pembangunan jalan tol Trans Jawa merupakan bagian keseluruhan pembangunan infrastruktur transportasi sebagai penunjang pembangunan ekonomi di Indonesia. Secara umum infrastrukutur transportasi berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung pertumbuhan wilayah, pertumbuhan ekonomi, dan sebagai alat persatuan dan kesatuan. Secara khusus, peranan dari infrastruktur transportasi ini sebagai fungsi perangsang bagi timbul dan tumbuhnya sub sektor-sub sektor perekonomian lainnya.
Fungsi perangsang yang dijalankan meliputi fungsi perangsang secara aktif, fungsi perangsang pasif, dan fungsi pelayanan umum. Fungsi perangsang secara aktif maksudnya bahwa infrastruktur ini hadir sebelum adanya kegiatan produksi yang lain ada (trade follows the ship). Biasanya infrastruktur transportasi diperlukan di daerah-daerah terpencil di mana kegiatan ekonomi atau perdagangan belum ada. Sedangkan fungsi perangsang secara pasif yaitu fungsi penunjang atau melayani kegiatan ekonomi lainnya (ship follows the trade). Biasanya infrastrukutur pada kondisi tersebut diperlukan di daerah-daerah yang sudah established di mana hanya diperlukan tambahan kapasitas dari transportasi sebagai akibat dari perkembangan ekonomi, pertambahan penduduk, kegiatan social politik, dan kegiatankegiatan lainnya.
Fungsi pelayanan umum transportasi adalah melalui penyediaan jasa transportasi guna mendorong pemerataan pembangunan, melayani kebutuhan masyarakat luas dengan harga terjangkau baik di perkotaan maupun perdesaan, mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah pedalaman dan terpencil, serta untuk melancarkan mobilitas distribusi barang dan jasa dan mendorong pertumbuhan sub sektor-sub sektor ekonomi nasional.
Dalam menjalankan perannya bagi perekonomian Indonesia, sub sektor transportasi menyumbang 46,75 triliun rupiah tercatat pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 62,25 triliun rupiah pada tahun 2004. Gambar 1. Kontribusi Sub Sektor Transportasi Terhadap Perekonomian Nasional Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
Sumber: Bank Indonesia dalam berbagi tahun
Meningkatnya kebutuhan akan transportasi terutama transportasi darat tak dapat terelakkan terutama akibat meningkat tajamnya jumlah kepemilikan kendaraan di Indonesia, terutama di Jawa Bali (tercatat sekitar 23 juta unit pada tahun 2002) dengan persentase sekitar 70% dari total kendaraan, dengan tingkat pertumbuhan 8,49% per tahun. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor pendukung, seperti jumlah penduduk, pertumbuhan industri, ketersediaan infrastruktur jalan, dan kondisi geografis medan.
Besarnya kontribusi infrastruktur darat terutama jalan (Gambar 2), termasuk jalan tol, menjadikan pembangunan di sektor infrastruktur darat merupakan salah satu bagian penting pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Kebijakan untuk berpihak kepada pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan membuka lapangan kerja menjadi fokus pemerintah dalam menjalankan tugasnya, dan pembangunan infrastruktur di bidang PU seperti jalan, air bersih, permukiman dan lainnya mempunyai keterkaitan pada ketiga hal tersebut. Karena selain membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak sehingga memberikan sumber penghasilan masyarakat, pembangunan infrastruktur juga menjadi faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan jalan dapat membuka isolasi daerah baru sehingga potensi daerah bisa dikembangkan. Dan untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 24 triliun untuk infrastruktur pada tahun 2007, dan direncanakan terus meningkat pada tahun-tahun setelahnya. Gambar 2. Kontribusi Sub Sektor Transportasi Terhadap PDB Nasional Tahun 2000
Sumber: Ditjen Prasarana Wilayah, Dep. PU, 2002. diolah

Untuk pembangunan infrastruktur jalan tahun anggaran 2008, pemerintah menganggarkan dana penanganan jalan sebesar Rp 18,411 triliun, sekitar 55% dari anggaran digunakan untuk pemeliharaan, sementara untuk perluasan jalan sekitar 31,4%.
Pada awal pemerintahan Presiden SBY, pemerintah merencanakan membangun 1.697 kilometer jalan tol atau 340 kilometer per tahun dalam lima tahun untuk secara khusus melancarkan lalu lintas ekspor dan impor serta secara umum meningkatkan perekonomian masyarakat.
“Kita harus meningkatkan pembangunan infrastruktur, termasuk jalan tol. Jika tidak, kita akan kalah berinvestasi dengan negara lain, seperti Vietnam, Thailand, dan China,” ujar Presiden Yudhoyono. Tercatat dari tahun 1997 sampai 2001, panjang jalan di Indonesia hanya tumbuh 5,9 persen. Pada tahun 2000, pembangunan jalan di Indonesia bahkan sempat terhenti total. Dalam kurun 1997 sampai 2001, panjang jalan tumbuh 12,5 persen di Malaysia dan 12,4 persen di Thailand.
Kurangnya sarana jalan tol di Indonesia menyebabkan terhambatnya lalu lintas ekspor-impor barang produksi di Indonesia. Akibat kurangnya sarana infrastruktur ini, bukan hanya barang pertanian dan industri yang akan diekspor dan diimpor menjadi sering terlambat, akan tetapi juga menyebabkan rusaknya barang ekspor dan impor. Mahalnya biaya transportasi domestik juga akan mengurangi daya saing produk di luar negeri.
Melalui multiplier effect, seluruh sektor perekonomian akan merasakan dampak positif dari pembangunan jalan tol. Menurut kalkulasi Danareksa dengan memanfaatkan tabel input-output, setiap pembangunan 100 kilometer jalan tol (dengan asumsi biaya Rp 40 miliar per km) akan memberikan tambahan 0,20 persen terhadap pertumbuhan PDB riil Indonesia. Juga akan menciptakan 69.000 lapangan kerja baru. Hal ini tentunya amat berguna dalam upaya pemerintah mengatasi pengangguran.
Selama ini, kendala pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan infrastruktur besar, yang tentunya membutuhkan alokasi dana yang sangat besar pula, seperti jalan tol adalah masalah keterbatasan anggaran. Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk menarik investor swasta untuk ikut serta dalam pembangunan jalan tol di Indonesia. Beberapa hal yang kerap kali menjadi kendala dalam pembangunan jalan tol di Indonesia adalah masalah tata ruang dan pembebasan lahan.
Untuk menarik investor, pemerintah perlu untuk menjadikan investasi pembangunan jalan tol sebagai sebuah investasi yang menarik untuk melakukan investasi. Kebijakan yang dilakukan adalah dengan mengedepankan peran swasta dengan dukungan pemerintah (public-private partnerships), dan membuka tender pembangunan ruas-ruas tol secara terbuka kepada investor dalam dan luar negeri
Beberapa kebijakan telah dilakukan pemerintah untuk mempermudah dan meningkatkan daya tarik proyek pembangunan jalan tol, pada kasus ini adalah pembangunan jalan tol Trans Jawa yang terdiri dari 15 ruas tol, diantaranya adalah:
- Pemberian insentif, berupa jaminan memperoleh kredit konstruksi dan pembebasan lahan.
- Menyediakan dana bergulir pembebasan lahan dari APBN sebesar Rp 400 miliar dalam APBN 2007 guna pembebasan lahan di delapan ruas tol yang telah memiliki investor, yang akan dikembalikan oleh investor setelah pembebasan lahan.
- Mengurangi faktor ketidakpastian hukum dengan mengeluarkan beberapa regulasi yang mendukung pembangunan infrastruktur dan keterlibatan investor swasta/asing.
Walaupun demikian, proses pembebasan lahan tetap merupakan hal yang sangat alot, sehingga beberapa investor bahkan memutuskan untuk mundur akibat membengkaknya biaya pembebasan lahan sehingga proyek jalan tol menjadi tidak menguntungkan lagi. Hal tersebut ditambah dengan adanya ketidakpastian mengenai tarif tol yang akan berlaku di masa depan dan relatif panjangnya jangka waktu pengembalian investasi jalan tol (pay back period). Beberapa investor dan analis mengusulkan agar biaya pembebasan lahan dijadikan sunk cost yang dibiayai pemerintah.

Pendekatan Ketahanan Pangan
Tercukupinya kebutuhan dasar manusia terhadap kebutuhan pangan merupakan hak azasi manusia yang sangat mendasar, sehingga pemenuhan kebutuhan pangan merupakan kewajiban negara bagi setiap warganya. Memenuhi kebutuhan pangan juga merupakan bagian dari usaha pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Oleh karena itu masalah ketahanan pangan merupakan isu yang sangat penting dan memerlukan perhatian serta usaha yang besar dari pemerintah.
Ada 2 penyebab utama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi yang mengakibatkan kekurangan pangan yang terjadi tak hanya di Indonesia tapi juga di dunia, yaitu menurunnya kualitas tanah akibat erosi terus-menerus dan perubahan iklim; dan berkurangnya lahan pertanian akibat konversi lahan peruntukkan pertanian menjadi lahan industri dan pemukiman. Masalah tersebut merupakan akibat yang tak dapat dihindari akibat meningkatnya jumlah populasi penduduk dan beralihnya trend perekonomian dunia dari sektor pertanian ke sektor industri. Tingkat pertumbuhan populasi yang lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan produksi pangan menyebabkan makin banyaknya penduduk yang terancam kekurangan pangan.
Secara umum permasalahan pertanian di Indonesia berkaitan dengan semakin berkurangnya lahan pertanian, terutama untuk daerah di Pulau Jawa. Secara khusus berhubungan dengan transformasi perilaku masyarakat yang berubah dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Hal ini menyebabkan keinginan untuk menjadi petani semakin berkurang dan lebih senang sebagai tenaga kerja sektor industri.
Bertambahnya wilayah perkotaan di Pulau Jawa, sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi, makin menciptakan tekanan atas infrastruktur perkotaan baru terutama perumahan. Kurang imbangnya laju pertumbuhan ekonomi antara Jawa bagian utara atau daerah pantura dan Jawa bagian selatan menciptakan pula ketidakseimbangan laju pertumbuhan infrastruktur. Ini berakibat makin habisnya lahan pertanian subur di pantura yang dulu dikenal sebagai lumbung beras Indonesia. Sebagai ilustrasi perbandingan, Pulau Jawa yang luas daratannya hanya 6,5 persen dari daratan Indonesia, saat ini memasok sekitar 53% kebutuhan pangan nasional.
Pada tahun 1999-2002, neraca konversi lahan sawah di Jawa minus 107.482 ha, artinya dalam empat tahun pasca-reformasi terjadi konversi lahan di atas 100.000 ha. Pada periode yang sama, lebih dari 423.000 ha sawah beririgasi teknis maupun non-teknis lenyap. Sawah irigasi tetap merupakan sumberdaya lahan terpenting mendukung produksi padi Indonesia. Pangsa areal sawah irigasi dalam mendukung produksi padi Indonsia diperkirakan sebesar 85% sedangkan sawah tadah hujan sebesar 11%, dan sisanya berasal dari sawah pasang surut dan lahan kering.
Selama kurun waktu lima dasawarsa antara tahun 1950-2000 luas irigasi Indonesia hanya meningkat sekitar 50% dari 3,5 juta ha pada tahun 1950 menjadi 5,2 juta ha pada tahun 2000 sedangkan pada kurun waktu yang sama irigasi di dunia meningkat lebih dari tiga kali lipat yaitu dari 80 juta ha pada tahun 1950 menjadi 270 juta ha pada tahun 2000. Rendahnya perluasan sawah irigasi di Indonesia antara lain disebabkan oleh derasnya konversi lahan sawah beririgasi sejak lebih dari dua dasawarsa terakhir khususnya di pulau Jawa. Antara tahun 1978–1998 misalnya konversi lahan sawah irigasi adalah sebesar satu juta ha.
Areal panen padi di Jawa memberikan kontribusi sebesar 40% dari total areal panen padi. Berdasarkan data BPS dari tahun 1999-2003, luas lahan padi di Jawa mengalami penurunan sebesar 6,5% sedangkan di luar Jawa luas lahan padi masih terus mengalami peningkatan.
Indonesia, yang dikenal memiliki sumberdaya alam yang melimpah, dan pernah berhasil melakukan swasembada pangan ternyata saat ini harus mengimpor beras, demi memenuhi permintaan dalam negerinya. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi ketidaktepatan, apabila tidak dapat dikatakan kesalahan, dalam strategi pembangunan dan pengelolaan sumberdaya. Pada suatu kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui bahwa Indonesia belum memiliki ketahanan pangan yang cukup, terutama untuk komoditas yang sangat diperlukan rakyat, seperti beras, jagung, kedelai, gula.
Tercatat oleh Departemen Pertanian AS (USDA) pada tahun 2002, Indonesia merupakan negara importir beras terbesar di dunia dengan 32,5 juta ton, diatas Nigeria, Iran, Filipina, dan Irak.
Melihat sejarah Indonesia, sebenarnya masalah ketahanan pangan telah mendapat perhatian sejak masa awal kemerdekaan. Presiden Sukarno menyadari betul apabila negara tidak mampu menyediakan pangan yang cukup bagi rakyatnya, maka akan timbul keresahan sosial yang pada akhirnya dapat mengganggu kestabilan ekonomi dan politik. Dan hal tersebut terbukti ketika pemerintahannya harus jatuh dengan salah satu penyebabnya adalah membumbungnya harga bahan pangan. Dan sejarah kembali terulang ketika kepemimpinan Presidan Soeharto berakhir pada tahun 1998 ketika dalam waktu dua bulan harga beras meningkat tiga kali lipat dan masyarakat kota menyerbu toko dan supermarket untuk memborong bahan pangan. Padahal Presiden Soeharto pernah memimpin Indonesia menjadi negara swasembada pangan pada tahun 1984 dengan kebijakan Repelita yang menitikberatkan pada pembangunan sektor pertanian.
Dari pengamatan, terdapat tiga ciri khas karakteristik kebijakan publik di bidang ekonomi Indonesia sejak era Orde Baru sampai era reformasi yang memiliki andil dalam terbitnya kebijakan-kebijakan yang tidak (baca: kurang) pro petani dan ketahanan pangan nasional, yaitu:, bias kota, bias industri, dan bias pemilik modal dan pengusaha besar. Kebijakan ekonomi pemerintah umumnya akan lebih menguntungkan masyarakat kota, sektor industri, dan para pemilik modal besar. Pemerintah lebih suka menekan harga beras domestik agar inflasi bisa dikendalikan dengan risiko merugikan petani. Sebab net benefit secara sosial dari kebijakan yang menyebabkan inflasi, terkendali lebih tinggi dibanding net benefit yang diterima pemerintah dari kebijakan yang menyebabkan harga beras tetap menguntungkan petani. Asumsi ini diperkuat ketika pemerintah ingin mengeluarkan izin impor beras padahal saat itu menurut Departemen Pertanian dan Badan Pusat Statistik, kondisi suplai domestik mencukupi kebutuhan nasional. Hal ini membuktikan bahwa terjadi tarik-menarik antara pemilik kepentingan dalam proses pemgambilan kebijakan mengenai ketahanan pangan dan alokasi sumber daya dan sumber dana.
Kebijakan pangan yang mengacu pada perdangan bebas berakibat pada memburuknya daya saing produk pertanian nasional sehingga produk pertanian lokal akan kalah bersaing dengan produk pangan impor. Kurang kompetitifnya produk pangan lokal akan berdampak terhadap keengganan petani untuk meningkatkan produk pertaniannya. Jika proses ini terus berlangsung maka secara mikro hal ini akan berdampak terhadap kesejahteraan petani dan secara makro ketahanan pangan nasional akan mengalami ancaman yang serius. Kondisi lebih parah lagi jika terjadi embargo terhadap masuknya produk pertanian impor ke Indonesia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia akan menghadapi dua kondisi sulit yaitu: dalam jangka pendek harus mampu menyediakan cadangan pangan bagi rakyatnya, dan dalam jangka panjang harus membangun sektor pertaniannya agar mampu minimal memenuhi kebutuhan permintaan dalam negeri. Konsep sistem pangan global melalui perdagangan telah terbukti bukan cara ampuh untuk menyediakan kebutuhan pangan bagi semua umat manusia.
Pembangunan jalan tol Trans Jawa yang akan menyambungkan Pulau Jawa mulai dari Merak hingga ke Banyuwangi diperkirakan akan menelan 4.264 hektar lahan yang sebagian besar lahan pesawahan. Konversi lahan pertanian menjadi jalan tol, diikuti dengan konversi persawahan di sekitar jalan tol tersebut. Lenyapnya sawah bakal meluas akibat pembangunan pusat perbelanjaan, jasa, perkantoran, perumahan, dan permukiman seiring beroperasinya jalan tol Trans Jawa.
Menurut Emil Salim, mantan Menteri Perhubungan dan mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, pembangunan jalan tol trans-Jawa dalam jangka panjang akan mengancam produksi dan suplai pangan bangsa dan akan membuat isu pangan makin pelik. Pangan juga merupakan komoditas strategis bagi keberlangsungan bangsa. Mengorbankan pangan untuk membangun ekonomi bangsa adalah sangat berisiko. Berdasarkan data Real Estat Indonesia, pertumbuhan properti di Jawa selama tiga tahun terakhir menilap lahan pertanian seluas 4.891 hektar. Emil Salim mengatakan, harus ada strategi pembangunan tol trans-Jawa yang bisa meminimalisasi dampak konversi lahan pertanian.

ANALISA EKONOMI
Dilihat dari ilmu ekonomi, kasus tarik-menarik kepentingan antara pembangunan jalan tol Trans Jawa dan isu ketahanan pangan nasional ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Pada laporan ini analisa akan diberatkan pada sudut pandang alokasi sumberdaya (allocation of resource).
Pertama-tama kita harus menentukan jenis masing-masing produk agar dapat diketahui jenis pasar yang dihadapi.

Rivalry Non-Rivalry
Excludability Private Goods Toll Goods
Non- Excludability Common Goods Public Goods
Dilihat dari sisi persaingan untuk mendapatkan produk, kapasitas jalan tol saat ini masih cukup sehingga manfaatnya relatif mudah untuk diperoleh, sehingga dapat dimasukkan pada kategori non-rivalry. Sementara produk pangan (beras) walaupun secara sekilas mudah didapatkan, namun secara makro produksi beras cukup terkonsentrasi dan memiliki jumlah yang terbatas sehingga terjadi kemungkinan adanya persaingan dalam distribusi, maka pangan (beras) dikategorikan sebagai baran rivalry.
Sementara dari sisi pemisahan pemanfaatan, produk pangan dan jalan tol memiliki persamaan yaitu merupakan barang yang memerlukan effort khusus untuk menikmatinya, dimana pemanfaatan baru dapat dilakukan setelah membayar biayanya. Maka keduanya memiliki sifat excludability.
Dari analisa diatas maka dapat disimpulkan bahwa jalan tol merupakan toll goods sementara produk pangan (beras) merupakan private goods. Di sini terjadi kejanggalan dimana pangan yang merupakan kebutuhan mendasar manusia dan pemenuhannya merupakan salah satu hak azasi manusia ternyata tidak dapat dinikmati secara merata oleh warga negara.
Apabila kita menganalisa produk pangan sebagai private goods lebih mendalam, maka akan ditemukan bahwa dalam pasar global struktur pasar dunia ternyata mengarah pada oligopoli, dimana produksinya dikuasai oleh sedikit pemain. Pasar perdagangan beras dunia sebesar 80% dikuasai oleh hanya 6 negara, yaitu Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, China, dan Myanmar , dan karena prioritas masing-masing produsen adalah pasar domestik sehingga volume beras yang diperdagangkan menjadi semakin terbatas, hanyalah sekitar 5% dari total produksi dunia. Hal ini menunjukkan penerapan perdagangan bebas pada produk pangan tidaklah tepat dan mengalami kegagalan.
Selanjutnya yang perlu dianalisa adalah analisa causalitity pada skenario ekstrim pada isu ini, yaitu jalan tol dibangun dan tidak dibangun.
Pembangunan jalan tol akan mengakibatkan:
- menghidupkan roda perekonomian di daerah yang dilewatinya, lapangan kerja baru terbuka, pengangguran menurun, pendapatan meningkat, subsidi berkurang, PDB naik.
- biaya distribusi menurun, daya saing produk lokal naik, konsumsi naik, ekspor naik, PDB naik.
- Konversi lahan naik, produksi pangan turun, impor pangan naik, PDB turun.
- Konversi lahan naik, produksi pangan turun, supply terbatas, harga pangan domestik naik, kemiskinan meningkat, subsidi naik, PDB turun.
Pembangunan jalan tol tak dibangun, akan mengakibatkan:
- konversi lahan tidak terjadi, produksi pangan meningkat, suppy meningkat, harga pangan turun, impor pangan turun, PDB naik.
- Konversi lahan tetap naik lambat, produksi pangan menurun lambat, demand domestik naik, harga pangan naik, impor naik, PDB turun.

Secara umum ancaman terhadap ketahanan pangan yang disebabkan oleh terjadinya ketidakseimbangan jumlah produksi dan konsumsi pangan akan sulit teratasi akibat jumlah konsumsi beras domestik sulit ditekan karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengandalkan beras sebagai makanan pokok, dimana laju pertumbuhan penduduk memiliki trend yang terus positif. Apabila jumlah produksi beras terus menurun akibat konversi lahan dan degradasi lahan, maka kebutuhan domestik akan sulit dipenuhi. Kekurangan produksi harus dipenuhi oleh impor dari luar negeri.
Untuk mengimpor beras dari luar negeri, pemerintah perlu menyediakan devisa yang besar. Cadangan devisa menjadi menentukan karena beras impor tidak dapat dibeli dengan rupiah. Faktor nilai tukar rupiah yang menurun akan menyebabkan membengkaknya biaya yang dibutuhkan. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pasar internasional yang terfragmen menuju oligopoli, sehingga mempersulit aksesibilitas terhadap pasar. Kelangkaan yang sewaktu-waktu dapat terjadi akibat gagal panen (fuso) dan bencana alam mengakibatkan pemerintah juga harus melakukan intervensi pasar pangan domestik apabila diperlukan.
Untuk mengatasi kegagalan mekanisme pasar domestik yang terjadi maka pemerintah perlu melakukan intervensi pasar. Berdasarkan teori ekonomi, terdapat 5 kategori intervensi yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu:
1. Freeing, Facilitating and Simulating Markets
2. Using Taxes and Subsidies
3. Establishing Rules
4. Supplying Goods through non-market mechanism
5. Providing insurance and cushion
Namun untuk mengintervensi mekanisme pasar internasional sulit dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, karena lemahnya posisi tawar pemerintah dalam peta politik ekonomi internasional, upaya intervensi yang dilakukan harus merupakan usaha bilateral melalui asosiasi dan gabungan antar negara. Sebagai contoh adalah Jepang yang tidak bersedia memasukkan produk pertaniannya dalam perundingan GATT/WTO, dengan tujuan untuk terus melindungi sektor pertaniannya dari ancaman produk asing. Bahkan banyak negara maju yang menerapkan non tariff barrier untuk memproteksi produk pangannya misalnya dengan menerapkan ecolabelling. Dalam konferensi tingkat tinggi akhir-akhir ini juga mencuat isu enggannya negara-negara maju, seperti AS, untuk menghilangkan/mengurangi subsidi bagi pertanian domestiknya yang tentu saja sangat ditentang dan disesalkan oleh negara-negara berkembang yang memiliki jumlah petani yang besar, seperti India, China, Indonesia dan lainnya, namun perundingan berjalan alot karena kuatnya posisi tawar negara-negara yang menolak.
Secara umum, alokasi sumberdaya dan usaha yang dilakukan ditentukan oleh kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah. Percepatan ekonomi nasional dan ketahanan pangan merupakan dua sektor yang berhubungan yang tidak bisa dilakukan pendekatan secara tersendiri. Kedua sektor tersebut saling bekerja sama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Setiap kebijakan akan memberikan implikasi positif dan negatif pada kedua sektor tersebut, sehingga yang perlu diperhatikan adalah pemerintah harus siap dengan langkah-langkah untuk mengantisipasi ekses negatif dari kebijakan tersebut.

ALTERNATIF SOLUSI
Alternatif Kebijakan
Untuk mengatasi masalah ketahanan pangan nasional, perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung peningkatan ketahanan pangan. Namun sudut pandang juga perlu diperlebar tidak hanya melihat dari satu sisi, karena pembangunan infrastruktur juga harus tetap dilakukan karena roda perekonomian nasional dan iklim investasi bergantung pada ketersediaan infrastruktur yang memadai.
Beberapa kebijakan dan kerangka berfikir yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
- Menggencarkan program ekstensifikasi lahan ke luar Pulau Jawa, karena konversi lahan di Pulau Jawa sulit dibendung, dan mendukung terciptanya lumbung padi baru di luar Jawa.
- Mempertahankan lahan pertanian produktif eksisting dan mengurangi laju konversi lahan dengan berpegang pada rencana tata ruang wilayah.
- Memberikan insentif bagi petani berupa subsidi pupuk dan pestisida, perkreditan, penyuluhan, dan penerapan teknologi tepat guna.
- Melakukan program diversifikasi pangan, baik di kalangan produsen maupun di kalangan konsumen dengan program sosialisasi.
- Mendukung usaha peningkatan produktivitas usaha pertanian, terutama melalui peningkatan penggunaan bibit unggul dan mengurangi kehilangan hasil pasca panen.
- Meningkatkan peran BULOG dalam mengontrol harga pangan dan melakukan impor pangan.
- Memperbaiki infrastruktur irigasi yang rusak dan membangun saluran irigasi baru
- Mendorong kebijakan fiskal melalui alokasi anggaran belanja pemerintah dan penetapan pajak yang berpihak kepada ketahanan pangan rakyat;
- Mendorong kebijakan moneter melalui pengelolaan tingkat bunga dan pengembangan sistem pembiayaan yang sesuai.

Kebijakan yang diambil bisa bersifat pro pasar dan non pasar. Kebijakan untuk memberikan subsidi kepada sektor pertanian sudah sulit dilakukan, hal ini mengingat keterbatasan anggaran negara. Sedangkan kebijakan dengan memberikan tarif yang tinggi untuk produk impor pertanian juga tidak mungkin dilakukan dengan leluasa, karena melanggar perjanjian dalam WTO.
Desentralisasi pembangunan dan peran pemerintah daerah di era otonomi ini juga harus lebih digencarkan dengan memerhatikan konstelasi global, di mana jalur pelayaran internasional seperti Selat Malaka, Selat Sunda—Laut China Selatan, serta Selat Lombok—Selat Makassar akan menjadi lokasi calon-calon pusat pertumbuhan baru. Industri pun harus mulai bergeser lebih dekat ke sumber energi, terutama di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Berkembangnya perkebunan tebu di Lampung serta pembukaan lahan tanaman pangan di Merauke mungkin bisa menjawab kekhawatiran menurunnya kontribusi Jawa dalam menghasilkan pangan.

Alternatif Infrastruktur
Untuk mengatasi pro-kontra pembangunan jalan tol Trans Jawa, belakangan muncul wacana untuk menggairahkan kembali sektor perkeretaapian bagi angkutan barang bagi industri di Pulau Jawa.
Kereta api memberikan solusi dari sisi konsumsi bahan bakar yang lebih efisien, konversi lahan yang tidak terlalu luas dibanding dengan jalan tol, biaya transportasi yang lebih murah. Sukses pengembangan kereta api bagi kebutuhan industri telah dilakukan di Amerika Serikat.
Namun ide ini juga bukan tidak memiliki kendala, dimana investasi yang diperlukan sangat besar dan membutuhkan pay back period yang lama.
Perkembangan perkeretaapian masih sangat terbatas hanya di pulau Jawa dan Sumatera saja sedangkan di pulau-pulau lainnya belum ada perkeretaapian. Bahkan tingkat pertumbuhan angkutan ini semakin menurun semenjak tahun 2000, karena terjadinya kejenuhan dalam kapasitas dan sistem jaringan pelayanan, sumberdaya yang terbatas, tingkat pelayanan yang masih rendah terhadap penumpang, serta semakin tajamnya persaingan antarmoda transportasi. Persaingan terjadi khususnya untuk pelayanan rute jarak jauh yang menghubungkan antar propinsi di mana angkutan kereta api mendapat persaingan dari angkutan udara dan angkutan jalan raya.
Perkeretaapian harus didukung oleh berbagai sistem dan fasilitas pendukung lainnya, seperti: keterpaduan jaringan pelayanan transportasi antarmoda dengan “feeder service”-nya, agar pelayanan secara door to door service dapat ditingkatkan, bisnis properti dan fasilitas stasiun yang aman, nyaman dan mudah terjangkau; sistem pelayanan terpadu antarmoda, kondisi struktur kelembagaan dan regulasi pemerintah yang efisien dan kondusif; dukungan industri teknologi perkeretaapian yang murah dan tepat guna; kualitas SDM, serta manajemen yang profesional dan berorientasi pada kepuasan pelanggan. Selain itu, perkeretaapian pada umumnya masih memiliki fungsi untuk pelayanan umum, serta berbagai penugasan dari pemerintah (public service obligation) dengan kompensasi berupa subsidi yang disediakan oleh Pemerintah.
Sesuai dengan fungsi pelayanan transportasi umum yang lebih murah, peran kereta api penumpang lebih dominan dibanding untuk distribusi bahan baku dan hasil industri. Gambar 3. Volume Angkutan Penumpang dan Barang dengan Kereta Api di Pulau Jawa dan Sumatera
Perkembangan infrastruktur dan teknologi perkeretaapian di Indonesia masih belum banyak berkembang. Hal ini terbukti dengan banyaknya rel yang sudah tua dan perlu segera di ganti. Berdasarkan data yang dikeluarkan PT. KAI yang dikutip oleh Bappenas (2003) sebanyak 45% rel kereta api di Indonesia dengan kategorikan rel tipe kecil dan sudah tua (lebih dari 80 tahun). Sementara dari berbagai jenis kereta yang dimiliki Indonesia antara lain lokomotif, kereta penumpang dan barang, kereta rel listrik, dan kereta rel diesel, jenis kereta yang berumur lebih dari 20 tahun sebesar 56,62% sedangkan yang berumur kurang dari 20 tahun sebesar 43,38%.
Pembangunan infrastruktur kereta api memerlukan biaya yang besar, dan ongkos pemeliharaan serta pengadaan infrastruktur pun tinggi. Hal ini disebabkan Indonesia belum bisa membuat sendiri infrastruktur yang diperlukan, rel dan gerbong pun harus didatangkan dari luar negeri. Harga satu gerbong bekas dapat mencapai 750 juta, sedangkan yang baru mencapai miliaran rupiah. Pengaktifan kembali jalur mati yang sudah ada juga memerlukan biaya yang cukup besar. Di negara-negara maju, biaya untuk membangun rel kereta api membutuhkan sekitar 15 juta USD/km. Bila dikonversikan dari panjang rencana jalan tol Trans Jawa, maka rehabilitasi infrastruktur sekitar 800 km dengan asumsi biaya adalah 5 juta USD/km karena sebagian infrastruktur telah tersedia, maka akan dibutuhkan investasi sebesar 4 milyar USD atau sebesar 40 triliun rupiah (1 USD = Rp 10.000).
Sehingga pembangunan dan pengaktifan kembali infrastruktur kereta api sebagai alternatif transportasi Trans Jawa juga perlu dikaji lebih lanjut karena membutuhkan investasi yang sangat besar, dan opsi melibatkan investor swasta juga kurang prospektif karena sifatnya yang merupakan investasi jangka panjang, belum lagi masalah klasik seperti pembebasan lahan dan kepastian hukum akan menjadi kendala.

Daftar Pustaka

1. Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar, Bab 2: Kondisi Eksisting Infrastruktur Indonesia.
2. Purbaya Y Sadewa & Edwin Syahruzad (Analis Danareksa Research Institute), Urgensi Membangun Jalan Tol Guna Mempercepat Pemulihan Ekonomi, 2004, http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/29/finansial.
3. PH/Antara/Jawapos/Kompas: Lahan Pertanian Menyusut, Krisis Pangan Mengancam, 17 November 2008, http://indonesian.irib.ir
4. Supadi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian-Departemen Pertanian), Ketahanan Pangan dan Impor Beras Berkelanjutan, Maret 2004.
5. Pasandara, Effendi (Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian), Pengelolaan Infrastruktur Irigasi Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, 2007.
6. Forum Infrastruktur EU-Indonesia, Laporan Triwulan Maret 2007, 2007.
7. Andi Irawan, Ekonomi Politik Impor Beras, Republika-6 Januari 2006, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=229920&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2.
8. Joko Waluyo (Direktur Eksekutif LPES Yogyakarta), Globalisasi Ekonomi, Otonomi Daerah Dan Ketahanan Pangan Di Indonesia, 2006. http://mrwaluyo.blogspot.com/2007/07/globalisasi-ekonomi-otonomi-daerah-dan.html.
9. Pusat Komunikasi Publik, Infrastruktur PU Guna Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, www.pu.go.id, 2008.
10. Achmad Suryana dan Sudi Mardianto, Ketahanan Pangan, Mati-Hidupnya Suatu Bangsa, 2002.
11. Brodjonegoro, Bambang PS., Analisa Ekonomi: Kurangi Beban Ekonomi Pulau Jawa, http://cetak.kompas.com/beritautama, 17 November 2008.
12. -, Pembangunan tol trans-Jawa makin rumit, http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/sup-properti/1id88802.html
13. Anton Aprianto, Presiden: Ketahanan Pangan dan Energi Jadi Jangkar Ekonomi, Tempo Interaktif – Bisnis, Selasa 04 November 2008.

Similar Documents